NovelToon NovelToon
MAS BERONDONG, I LOVE YOU

MAS BERONDONG, I LOVE YOU

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen / Berondong / Beda Usia / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Persahabatan / Enemy to Lovers
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: Nanadoongies

Orang bilang Abel yang jatuh cinta duluan dengan gombalan-gombalan itu, tapi Abi juga tahu kalau yang rela melakukan apa saja demi membuat Abel senang itu Laksa.
.
Berawal dari gombalan-gombalan asbun yang dilontarkan Abel, Laksa jadi sedikit tertarik kepadanya. Tapi anehnya, giliran dikejar balik kok Abel malah kabur-kaburan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nanadoongies, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 5

Terik matahari benar-benar menyengat, meskipun mereka tidak pingsan karena parfum milik Abel, tapi hampir mati karena kegerahan. Bahkan manusia jangkung sejenis Laksa juga tetap butuh kipas-kipas meskipun tinggi badannya bisa menyentuh angin.

“Lak?”

“Hm.”

“Laksaa?” Abi menyenggol lengan sahabatnya lebih kencang lagi.

“Apaan?” Dia menoleh sembari menggerakkan seragamnya agar tidak begitu gerah.

“Ini perasaan gue doang atau itu orang emang sengaja lihatin lo?” Ketika menoleh, Laksa langsung menemukan Bian. Si ketos itu menatapnya cukup sengit, seolah diam-diam tengah mengibarkan bendera peperangan.

“Bian?”

“Ho'oh.”

“Biarin aja.”

“Kayaknya keberadaan lo cukup mengganggu keamanan hubungan dia sama Abel deh, Lak.”

“Kenapa jadi nyalahin gue?”

“Setelah jadi anak gugusnya Abel, 'kan, dia jadi perhatiin lo terus. Denger-denger mereka malah sempat berantem karena Abel belain kita soal insiden kemarin. Hayoloh, belum apa-apa udah saingan sama ketos aja.”

Laksa kembali memandangi Bian. Kali ini disertai wajah datar yang kelewat ngajak senggol bacok. Kalau itu orang lain, mungkin Laksa sudah diajak baku hantam.

“Kekanakan kalau dia campurin urusan pribadi sama urusan organisasi.”

“Bener juga sih. Tapi namanya juga lagi cemburu, emang sejak kapan cemburu bisa pandang bulu?”

“Halo-halo, peleton Extraordinary-kuuuuh. Masih sanggup latihan sampai sesi PBB-nya selesai, ‘kan?” Abel datang dengan senyum mentereng. Tidak tahu saja kalau anak gugusnya sedang sibuk membicarakan teman OSISnya.

“MASIHHHHHH.”

“Nggak.”

“Siapa tuh yang jawab enggak? Laksa, ya?” Dito terkekeh pelan.

“Biarin aja, Dit. Yang begitu biasanya emang perlu disayang-sayang. Berhubung udah disayang, kapan kita bisa jadian?”

“Mending gue turu.”

“Boleh-boleh aja mumpung jam istirahatnya masih sisa beberapa menit. Mau senderan di mana, Lak? Bahu temen lo atau bahu temennya Dito?” Abel menunjuk dirinya sendiri.

“Lo pendek.”

“Wah, parah!”

Beberapa gadis-gadis yang menyebut diri mereka sebagai kumpulan minion, tentu saja tidak terima dengan makian itu. Ini mah, sekali lempar batu, burung satu kompi langsung terlukai.

“Gue nggak nyangka ternyata lo setega ini menghina tinggi badan gue yang imut ini, Lak,” ujar seorang gadis bernama Clarista.

“Dramatis.”

“Maksud?”

“Manusia jangkung kayak dia mana tahu penderitaan kita sih? Emang paling bener dia didepak aja dari perkumpulan minion kita. Raksasa kok mainnya sama peri-peri imut? Jomplang banget bentukannya,” sambung Michie.

Laksa geleng-geleng. Masih tidak habis pikir dengan tingkat kedramatisan teman satu peletonnya. Tapi mengingat siapa kakak pendampingnya, wajar sih kalau mereka—minus dirinya—ikut gila juga.

“Lak, nyerah aja, Lak. Betinanya jauh lebih banyak dibandingkan kita-kita,” ujar Abi sembari menepuk-nepuk pundak sahabatnya.

“WAKTU ISTIRAHAT HABIS!”

Laksa tahu, setelah pengumuman tidak resmi itu, segala pergerakannya tak akan luput dari pengawasan Bian. Oh, mungkin ucapan Abi bukan hanya omon-omon belaka, sebab, beberapa kali dia lihat Bian terang-terangan melotot kepadanya.

Mentari mulai turun perlahan-lahan, terik yang semula hampir memecahkan kepala kini berangsur-angsur membaik. Angin yang berembus juga jauh lebih segar, tapi entah karena memang seperti itu, atau dampak dari perasaan lega karena telah menampilkan yang terbaik.

Meskipun tak lantas bisa menduduki juara pertama, kedua ataupun ketiga, tapi bisa menyaksikan perkembangan usaha Laksa nyatanya jauh lebih membahagiakan. Selepas saling ucap selamat, Abel mulai menyalami anak gugusnya dengan tiga keping yupi untuk setiap orang.

“Meskipun nggak keluar sebagai pemenang, tapi gue amat sangat berterima kasih sama kerja keras kalian. Thank you, ya. Terharu banget gue sebagai induk perkumpulan minion kalian.”

“Halah. Halah. Halah. Gue tahu, ya, Kak, sebenarnya lo cuma mau puji Laksa doang. Pake gegayaan nyebut-nyebut perkumpulan minion segala. Pencitraan!" ujar Clarista.

“Waktu bilang makasih juga matanya ngarah ke Laksa mulu. Kata gue juga ini perkumpulan minion lama-lama jadi perkumpulan kambing congek,” sahut Abi. Dia tidak marah, tapi justru terdengar semakin menggoda.

“Bubar aja, bubar. Kakak pendampingnya malah bucin mulu!”

“HUUUUU~”

Tidak seperti dugaan—ngambek dan melarikan diri— Abel justru tertawa karena makian itu.

“Gue serius, Guys. Gimana hasilnya tuh sama sekali nggak masalah buat gue, asal kalian mau berusaha sampai akhir. Anak-anak gugus gue nggak boleh bermental pecundang. Seenggaknya kalau kalah, harus kalah secara terhormat. Jadi pecundang nggak ada di kamus kita.”

“Tuh, ‘kan, matanya ngarah ke Laksa lagi.” Abi heboh sendiri. Gara-gara ucapannya semua orang jadi bolak-balik memperhatikan Laksa dan Abel.

“Pacaran mulu ah! Nggak like. Tolong kasihani jiwa jomblowatiku ini dong!” keluh Michie.

Tiba-tiba saja Abel menangkap wajah Abi dan meremasnya seperti dough. Yang jadi korban tentu saja melotot, tapi lebih dari itu, ada beberapa orang yang terang-terangan mendengus sebal karenanya.

“Fabian Dhanunendra, bisa jangan asbun dulu nggak? Temen lo tuh udah mau nelen gue idup-idup.”

“Ah, masa? Kegirangan dah tuh karena lo puji-puji terus.” Laksa menelengkan kepala, dia tatap sang sahabat dengan wajah datarnya.

“BAPAAAK~ SELAMATKAN ABI DARI MUSIBAH INI!”

Laksa semakin mendengus kesal. “Bisa-bisanya gue temenan sama manusia modelan kayak pemeran film azab begini.”

“Ahahha.”

Sekolah mulai sepi, beberapa siswa baru telah pulang ke rumah masing-masing, sisanya masih menunggu jemputan atau sibuk jajan-jajan sembari mengobrol rama-ramai. Di antara keramaian itu, Laksa duduk termenung di halte sekolah. Di tangannya terdapat cilor yang masih hangat, hasil pemberian Abi karena sahabatnya itu harus pulang lebih dulu.

“Beli sepuluh ribu jadi dua, Pak. Yang satunya agak pedesan dikit.”

Itu suara Bian. Bahkan tanpa mengangkat kepalanya pun Laksa tahu betul siapa pemilik suara itu.

“Yang pedes buat Abel?”

“Iya.”

Satu teman lain—dia menyebut dirinya sebagai Evan— terkekeh dengan gelengan kecil.

“Mau sampai kapan lo ngejar-ngejar Abel sih? Dia juga nggak akan ngewaro sekalipun lo jungkir balik buat perhatiin dia.”

“Sampai dia jadi milik gue.”

“Bucin!”

Laksa kira, rumor yang tersebar di antara anak-anak baru sepertinya memang sebuah fakta tersembunyi. Namun, ternyata hanya bualan Bian semata. Gitu-gitu dia berharap bisa melihat Abel jauh darinya?

Menggelikan!

“LAKSAA!”

Ketiga cowok itu—termasuk beberapa orang di sekitarnya— kompak menoleh ke sumber suara.

“Gue cariin ke mana-mana taunya malah nangkring di sini. Jangan suka ilang-ilangan gitu dong! Gue, ‘kan, jadi susah nyarinya.”

“Mau ngapain?”

“Porsi siomay kecil untuk orang-orang keren hari ini,” ujarnya.

“Modus?”

“Hampir. Anak-anak peleton Extraordinary dapat semua tuh, tapi kalau lo mau menganggap pemberian gue kali ini sebagai wujud modus ke lo juga sah-sah aja. Gue malah seneng karena lo punya pemikiran kayak gitu.”

Laksa sempat mengamatinya selama beberapa detik, bukan karena merendahkan, tapi dia kepalang parno dengan tingkah Abel akhir-akhir ini. Meskipun memang sudah jadi tanggung jawab kakak pendamping, tapi entah kenapa rasanya agak lain.

Kalau tiba-tiba Laksa kena pelet karena terlalu percaya, bagaimana?

“Nggak gue campur sama pelet cinta ah elah. Kalau nggak percaya, tuh tanya sama abang-abang yang jualan mumpung dia masih ada di sana.”

“Wajah lo nggak meyakinkan.”

“Emang. Soalnya cuma bakal kelihatan meyakinkan kalau jadi ibu dari anak-anak lo doang.”

“Ternyata makin sore malah tambah stres.”

Abel tertawa. Lalu duduk di samping Laksa sembari menyantap siomay miliknya.

“Kenapa belum pulang?”

“Karena masih ada di sini.”

“Mau nungguin gue? Tapi gue masih harus eval setelah ini. Kalau lo maksa nunggu, nanti keburu lumutan dong!”

“Plis jangan dramatis.”

Abel tertawa lagi. “Suka kalau lihat lo jadi bete.”

Laksa terdiam. Menyentuh siomay pemberian Abel juga tidak, agaknya dia masih tidak bisa mempercayai si petasan banting itu.

“Besok sebelum berangkat dicek lagi peralatannya, jangan sampai ada yang kurang atau bahkan ketinggalan. Kemungkinan ada hukuman fisik buat anak-anak yang melanggar peraturan. Jangan sampai telat soalnya gue nggak jaga gerbang.”

“Hm.”

“Makasih buat kerja kerasnya hari ini, ya?”

“Lo udah ngomong itu di depan anak-anak.”

“Ya, ‘kan, tadi khusus buat anak-anak. Kalau sekarang khusus buat bapaknya anak-anak.”

“Lo emang selalu heboh kayak gini, ya?”

Abel menelengkan kepala. Dia pandangi Laksa dengan ekspresi tengil. “Kenapa? Yang heboh begini, ‘kan, emang diciptakan untuk meramaikan hari-hari lo yang monoton itu, Lak.”

“Mending gue jadi anti sosial.”

“Boleh. Nanti bergaulnya cukup sama gue aja.”

“Terserah lo dah.”

Bian masih ada di sana. Dia menyaksikan interaksi itu dengan tangan terkepal. Lantas cilor yang semula dipesan untuk Abel, berakhir jadi santapan Evan. Evan jelas kegirangan, berbanding terbalik dengan Bian yang berharap bisa menelan Laksa saat ini juga.

Lihat pembalasan gue nanti.

1
ren_iren
kok aneh, padahal laksa liat Abel diikat sm tutup matanya masih aja dimarahin...
ren_iren: nanti bucin mampus sampe keurat2 nadi kapok lo sa.... 🤭
total 2 replies
Nanadoongies
kritik dan saran sangat amat dianjurkan, ya. jadi jangan sungkan buat ngoceh di kolom komentar.
Nanadoongies
Jangan lupa tinggalkan jejak, teman-teman
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!