Hidup Nara berubah dalam satu malam. Gadis cantik berusia dua puluh tahun itu terjebak dalam badai takdir ketika pertemuannya dengan Zean Anggara Pratama. Seorang pria tampan yang hancur oleh pengkhianatan. Menggiringnya pada tragedi yang tak pernah ia bayangkan. Di antara air mata, luka, dan kehancuran, lahirlah sebuah perjanjian dingin. Pernikahan tanpa cinta, hanya untuk menutup aib dan mengikat tanggung jawab. Namun, bisakah hati yang terluka benar-benar mati? Atau justru di balik kebencian, takdir menyiapkan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar luka? Dan diantara benci dan cinta, antara luka dan harapan. Mampukah keduanya menemukan cahaya dari abu yang membakar hati mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RizkaAube, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter : 5
Zean terdiam.
“Jangan lupa, bawa dia ke rumah. Kenalkan pada kami. Setidaknya, berikan kami kesempatan menilai wanita yang akan menjadi bagian dari keluarga kita,” ucap Hendrik.
Zean mengangguk pelan. “Nanti malam aku akan membawanya, pa.”
Hendrik tertawa pelan. “Wah, secepat itu? Kamu tak sabar menikahinya?” godanya.
Zean mengerutkan dahi. “Jangan mulai, Pa.”
“Papa cuma bilang… kamu mungkin tidak mencintainya sekarang. Tapi hati bisa berubah, Zean. Bahkan hati yang sudah kamu yakini beku.”
Zean menghela napas panjang, menatap ayahnya dalam-dalam. “Aku tidak mencintainya.”
Hendrik tersenyum penuh teka-teki. “Kita lihat nanti.”
Sementara itu…
Di tempat lain, di sebuah toko garment di pusat kota, Nara sedang membereskan barang-barang di rak display. Wajahnya terlihat murung, sesekali ia menghela napas panjang.
Puput, sahabat sekaligus rekan kerjanya, memperhatikannya dari kejauhan. Lalu mendekat dengan alis mengernyit.
“Nar, lu kenapa sih? Dari tadi kayak orang abis ditinggal pesawat,” tanya Puput, mencoba bergurau tapi dengan nada khawatir.
Nara menoleh cepat, lalu tersenyum sekilas. “Nggak, Put… aku cuma lagi capek aja.”
Puput menyipitkan mata, tidak percaya. “Ah, jangan bohong deh. Mukamu tuh udah kayak bendera setengah tiang. Emangnya lu kenapa?”
Nara terdiam beberapa detik, lalu kembali menunduk pada pekerjaannya. “Nggak ada apa-apa, serius. Mungkin cuma kebanyakan mikir aja.”
Puput menghela napas pendek, tahu sahabatnya sedang menyembunyikan sesuatu. Tapi ia memilih tidak memaksa.
“Ya udah. Tapi inget ya, kalo lu pengen cerita gua selalu siap jadi pendengar setia lu.”
Nara menatap Puput dengan tatapan bersyukur. “Makasih ya, Put.”
“Sahabat harus saling jaga dong. Eh, gimana kalau kita makan Bibimbap nanti siang? Kamu butuh makanan enak biar nggak makin suram,” ucap Puput sambil menjitak pelan bahu Nara.
Nara tersenyum, sedikit lebih tulus kali ini. “Hehe, boleh juga. Aku traktir deh.”
“Wah gila! Nara ngajak traktiran? Ini pasti serius banget masalahnya.” goda Puput, tertawa.
Nara hanya menggeleng pelan, sambil dalam hati menahan beban yang tak bisa ia ceritakan.
...\~⭑ ⭑ ⭑ ⭑ ⭑\~...
Kini jam sudah menunjukkan angka 17:20 yang menandakan para karyawan di Toko garment itu sudah boleh pulang.
Nara yang sudah kelar bergelut dengan tumpukan pekerjaanya kini sudah siap untuk pulang ke rumahnya yang ada di pinggiran kota.
Sudah dua hari ia tidak pulang, dia merindukan rumah kecil yang begitu nyaman menurutnya.
Rumah dengan berjuta kenangan yang ditinggalkan oleh kedua orang tuanya, yang kini mereka sudah tenang di alam surga.
“Put, aku duluan ya” pamit nara sembari melambaikan tangannya.
“Ati-ati ya nara chubby” puput yang selalu gemas dengan pipi nara pun hanya bisa mengunyel pipinya sendiri yang tirus, membuat nara terkekeh geli.
Nara berjalan kearah halte bus yang mana pak riyo selalu menunggunya disana. Selain dari tempat yang sama dengan pak riyo, pak riyo dan juga istrinya adalah salah satu orang yang selalu membantu nara dikala susah.
Walaupun nara sering menumpang di pak riyo, dia selalu membayar pak riyo disetiap minggunya, biar pak riyo menolak, nara tetap kekeh memberi lembaran kertas uang itu dengan alasan pak riyo anggap sedekah nara aja.
“Sore pak” sapa nara yang kini sudah naik kedalam mobil taksi dan duduk di kursi belakang kemudi.
“Sore nak nara, kemarin kemana aja? Kenapa tidak kabarin bapak kalo tidak pulang? Bapak sudah lama menunggu dihalte, bapak jadi khawatir banged karena nak nara tidak mengabari bapak” walaupun pak riyo ini tidak ada ikatan turunan darah dengan nara, ia begitu peduli dengan gadis muda itu bahkan dia dan istrinya ninik sudah menganggap nara seperti putrinya sendiri.
“Emm ini pak, saya nginap dirumah teman saya, karena ada pekerjaan lembur. Untuk kabar maaf pak hp saya kemarin hilang dan lowbat, setelah kami cari rupanya ada ditumpukan barang di toko” ucap nara beralasan, karena tidak mungkin iya akan berkata jujur tentang apa yang sudah menimpanya.
“Oalahhh, ya sudah gapapa nak”
Sekitar dua jam dua puluh menit perjalanan dari kota ketempat nara tinggal kini mereka sudah sampai.
Nara turun tepat didepan gerbang rumah kecil berawarna biru muda itu, lalu tak lupa ia mengucapkan terima kasih kepada pak riyo.
Nara membuka kunci rumahnya, lalu masuk kedalam. Setelah sampai dirumahnya nara merasa semua lelah yang ada di tubuhnya ini hilang seketika.
Nara membuka kunci pintu kamarnya, lalu berjalan kearah tempat tidur, dia berniat untuk mengistirahatkan sebentar tubuhnya baru setelah itu akan mandi.
Namun ia tak sengaja melihat foto kedua orang tuanya yang terlihat begitu bahagia didalam lembaran foto itu.
Nara mengambil foto itu dan mendudukkan tubuhnya diatas kasur. Ia menatap dalam kearah foto itu, tanpa sengaja air mata jatuh menetes diatas kaca bening yang menutup lembaran kertas foto kedua orang tuanya.
“Pakk…buk… maafin aku, aku bukan lagi gadis yang baik, aku adalah gadis yang kotor yang sudah ditiduri oleh pria asing. Ini bukan kemauan ku pak buk ini musibah yang terjadi padaku, aku tidak mau semua ini terjadi tapi entah mengapa masalah ini justru datang padaku…!!!” Nara menangis tersedu-sedu bahkan suaranya sampai serak, rasanya untuk menelan liur saja terasa sakit untuk nara sekarang.
“Aku rindu pada kalian, kenapa bapak dan ibu tega pergi meninggalkan ku… aku rindu pada kalian… aku butuh bapak dan ibukk!!” Nara menangis sembari terus memeluk erat foto kedua orang tuanya. Dia tidak tahu harus mencurahkan isi hatinya saat ini kepada siapa.
Tokk!! Tokk!!
Nara yang mendengar suara ketukan pintu diluar sana segera menghapus sisa air mata yang masih menempel dipipinya.
Ia berjalan keluar dari kamarnya dan menuju pintu depan. Dia memutar handel pintu. Apa mungkin buk ninik istrinya pak riyo? Karena yang sering berkunjung kerumahnya adalah buk ninik.
“An-da? Kenapa anda tahu rumah saya? dan untuk apa anda kesini?” Tanya nara kaget ketika membuka pintu rumahnya, yang ia pikir buk ninik ternyata zean, yaitu calon suaminya.
Zean yang baru tiba dirumah nara jelas melihat jika gadis ini baru saja menangis. Namun dia tidak ingin bertanya.
“Kau harus ikut dengan ku malam ini, aku sudah menceritakan kejadian yang tidak di sengaja itu kepada kedua orang tuaku, dan karena itu aku kesini menjemputmu untuk segera kerumah orang tuaku” jelas zean pada nara, jika kedatangannya jauh-jauh dari kota hanya untuk menjemputnya.
“Bes-besok saja, saya baru pulang kerja tadi dan belum mandi. Tidak mungkin saya kesana tidak membersihkan diri saya terlebih dahulu” alasan nara, namun zean malah membuka pintu rumah nara dengan seenaknya dan langsung duduk disofa kecil yang terlihat usang itu.
“Kau bersiaplah, aku akan menunggumu disini” dengan santainya zean duduk serta mengangkat kakinya seolah-olah dia tuan rumah disini.
Mata nara melotot sempurna! Apa katanya? Menunggunya disini? Dia ini siapa? Seperti tuan rumah saja.
Dengan kesal nara berjalan kearah kamar mandinya. Benar-benar pria stres, pekik nara didalam hatinya.
Karena kesal, Nara mengguyur badannya tanpa melepaskan pakaian terlebih dahulu. Sembari menuangkan air keatas kepalanya dia terus mengumpat zean dengan banyak kata-kata mutiaranya.
Setelah membersihkan tubuh dan ia rasa sudah selesai, nara berbalik ingin meraih handuk. Dan ternyata handuknya masih didalam kamar.
Nara jadi panik sendiri dan terus memukul dahinya pelan, merutuki kebodohannya sampai melupakan handuk. Jika saja dia sendiri dirumah, dia pasti akan keluar begitu saja dan terus kedalam kamarnya.
Nah sekarang justru ada pria itu disini, tidak mungkin ia akan keluar dengan bug*l begini, mana kamarnya diruang pertama tepat didepan sofa yang pria itu duduki.
“Zean!!!” Teriak nara memanggil zean. Sebenarnya ia sangat gengsi meminta bantuan pada pria yang sangat ia benci itu, akan tetapi tidak mungkin ia akan terus berdiam didalam kamar mandi.
Zean yang sibuk dengan handphone nya segera bangun ketika mendengar suara teriakan nara dari arah belakang.
Dengan langkah cepat ia segera berjalan menghampiri arah sumber suara nara.
“kau kenapa?” Tanya zean setelah sampai didepan pintu kamar mandi.