Mirai adalah ID game Rea yang seorang budak korporat perusahaan. Di tengah stress akan pekerjaan, bermain game merupakan hiburan termurah. Semua game ia jajal, dan menyukai jenis MMORPG. Khayalannya adalah bisa isekai ke dunia game yang fantastis. Tapi sayangnya, dari sekian deret game menakjubkan di ponselnya, ia justru terpanggil ke game yang jauh dari harapannya.
Jatuh dalam dunia yang runtuh, kacau dan penuh zombie. Apocalypse. Game misterius yang menuntun bertemu cinta, pengkhianatan dan menjadi saksi atas hilangnya naruni manusia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jaehan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Shelter
Part 30
Mirai mulai makan perlahan. Aroma hangat kaldu masuk ke hidungnya, memancing rasa lapar yang dari tadi ditahan. Suapan pertama terasa sederhana, tapi nikmat. Makanan pertama yang layak sejak pagi itu.
Ren duduk tak jauh darinya, bersandar malas pada batang pohon yang hangus separuh. Cahaya api memantul samar di wajahnya yang keras tapi tenang. Pandangannya tampak kosong, seolah sedang menghitung sesuatu di langit gelap tanpa bintang.
Sesekali, ia melirik ke arah Mirai. Erica dan satu lagi, Vincent. Pasangan hero rank merah. Kebetulan banget mereka samaan gitu. Berarti yang jatoh di Kota Dawn sejauh ini bukan gue doang. Ada dua lainnya. Dia sama cowoknya.
Suara Mirai memecah sunyi. "Kita besok ke shelter?"
Ren menoleh, menatap api. "Iya. Abis cari kebutuhan logistik, kita bakal drop lo dulu di sana. Baru keliling lagi. Sementara ini, itu tempat yang paling aman."
"Trus gue tinggal di mana?"
"Di sana, setiap orang yang datang diorganisir sesuai clannya. Kebetulan lo tanggung jawab gue. Karena kita termasuk clan kecil yang anggotanya nggak nyampe lima puluh orang, jadi kita dapat rumah dua kamar."
Mirai menggigit bibirnya. "Apa gak terlalu kecil?"
"Kecil emang, tapi cukup untuk sementara waktu sampai kita dapat shelter sendiri."
"Shelter sendiri?"
"Ya. Kita semua sepakat setiap clan bakal menuhin kebutuhannya sendiri, kecuali kalo memang sepakat ada negosiasi tertentu. Semacam barter gitu. Soalnya uang nggak laku di sini. Setelah semua clan menemukan shelter yang layak huni, baru kita berpencar. Tapi gak kaku banget, boleh pergi kapan pun mereka mau. Cuma semua orang masih insecure. Merasa lebih aman kalo bersama. Intinya secara mental banyak yang belum siap."
Mirai mengangguk pelan. "Jadi itu sebabnya kalian keliaran di luar shelter."
"Ya. Selain nyari shelter buat clan sendiri, kebutuhan yang paling penting di sini tuh ya bahan makanan. Yang mahal, obat-obatan. Dan yang langka ...." Ia berhenti sejenak, lalu melirik ke arahnya. "Dokter."
Seketika, Mirai terdiam. Sendoknya berhenti di udara. Itu sebabnya Vanessa tadi keliatan seneng banget? Setidaknya ia akan sedikit berguna di sana. "Anggota kita lengkap semua?"
"Sayangnya enggak. Di game, jumlah anggota clan kita gak sampai lima puluh akun, itu udah termasuk beberapa akun farm. Yang aktif cuma 38 orang. Yang ada di basecamp cuma 30. Sekarang ada kamu, jadi 31. Sisa 7 orang belum ditemukan. Yah, gue harap mereka selamat di suatu tempat."
Angin bertiup perlahan, membawa serpihan abu api ke arah langit yang kelam. "Menurut lo, kenapa kita bisa ada di sini?" tanya Mirai, lirih.
Ren mengangkat bahu. "Gue gak tau. Dan gak ada satu orang pun yang tau."
"Raba-raba aja."
Napas Ren terhela panjang, sejenak menunduk. "Hm ... yang jelas, ada alasannya. Mau itu emang hal penting atau keisengan entitas yang lebih tinggi. Gak ada yang pasti di awal kayak gini." Diliriknya lagi gadis itu yang termangu. "Kuliah? Kerja?" tanyanya mengalihkan topik.
"Eh? Kerja. Dah lulus lama juga. Lo masih kuliah kan? Pernah baca obrolan chat clan kalo lo lagi skripsi." Ren tertawa jenaka. Untuk pertama kalinya Mirai melihat ekspresinya yang seperti itu sejak tadi siang. Sebelumnya, sepanjang hari ia hanya mendapat tatapan tajam penuh curiga.
"Dah lama lulus? Emang berapa umur lo?"
Mirai menarik napas dalam menanggapi betapa blak-blakan pemuda ini. "Dua puluh tujuh."
"Eh? Lebih tua lima tahun."
"Iya. Kalo sopannya, lo manggil gue kakak."
"Kak Mirai, gitu? Hm, karna gue wibu, one-chan aja gimana?" Pertanyaan itu lebih terdengar mengejek.
"Ck! Gak usahlah. Kok jadi geli gue dengernya." Sontak mereka tertawa menandakan suasana tegang telah mencair di antara mereka. “Tapi kalian tadi hebat banget bisa ngalahin zombie gede tadi. Gak lama, trus kompak juga.”
Ren tertawa kecil. “Awal-awal gak sekompak itu. Kita semua juga kagok. Salah timing, trus ada aja yang ceroboh. Banyak yang gak patuh. Dan kadang gak ngerti instruksi. Nyaris mati juga pernah. Pusing lah pokoknya. Tapi seiring waktu kita mulai paham langkah, gerakan sama gaya main rekan lain. Butuh proses. Yah, prosesnya itu yang mahal. Taruhan nyawa terus buat ngelatih kekompakan.”
Bibir Mirai tergigit kecil. Mendengarnya saja dunia ini memang nyata adanya. Bukan sekadar mimpi panjangnya. “Ternyata dunia ini nyata.”
Mata Ren beralih pada gadis itu. “Selamat datang di neraka.”
Usai makan malam Ren menyuruh Mirai untuk beristirahat di tenda tempatnya tadi berganti pakaian. Tenda itu biasanya tempatnya bersama Vanessa beristirahat. Tapi sekarang diberikan pada gadis itu. Sementara dirinya duduk sendiri di perapian karena tugas jaga. Empat jam kemudian Nobi datang menggantikan, barulah ia tidur di tenda Royal. Begitu seterusnya mereka berganti jaga hingga fajar menyingsing.
Pagi hari mereka berangkat dengan posisi duduk yang berubah. Kali ini Ren duduk di sebelah Mirai yang diapit kursi pengemudi. Sepanjang perjalanan Vanessa banyak berceloteh tak menentu dan ditanggapi jenaka oleh yang lain hingga Mirai sering tertawa dibuatnya. Itu sedikit meringankan beban pikirannya dari Nero yang menghilang.
Perjalanan menuju shelter membutuhkan waktu lebih dari lima jam. Karena mereka sering berkunjung ke beberapa bangunan kosong atau shelter kecil. Mencari bahan makanan atau sesuatu yang masih berguna. Tiga kotak papan kayu bertumpuk di Jeep. Karena keterbatasan ruang Mirai duduk di depan. Nobi dan Royal duduk di sisa kursi, sedangkan Vanessa dan Ren duduk di atas tumpukan peti kayu.
Langit malam menggantung pekat ketika Jeep mereka mendekati wilayah timur shelter. Angin membawa debu kering, dan aroma logam dari reruntuhan kota mulai tergantikan oleh hawa lembap dan dingin khas kawasan terproteksi.
Jalanan mulai berubah-dari aspal yang terkelupas menjadi jalur beton yang bersih, menyiratkan batas tak kasat mata antara dunia luar yang brutal dan satu-satunya tempat yang masih pantas disebut aman. Hutan kecil mengapit jalan tersebut, menambah kengerian tersendiri. Namun jauh di ujung jalan yang berkelok ini tampak cahaya redup seolah ada kehidupan di sana.
Jeep melaju pelan saat keluar dari hutan kecil tadi. Sebuah tembok besar menyambut kokoh. Roda itu berhenti berputar tepat di depan sebuah gerbang besar.
Tiba-tiba, lampu sorot menyala dari atas tembok, menyorot Jeep dengan sinar terang menyilaukan. Cahaya putih kekuningan menghantam mata Mirai, membuatnya menyipit dan mengangkat tangan untuk melindungi matanya.
Dari kejauhan, terdengar suara berat melalui pengeras suara yang menggunakan bahasa Inggris. "Identifikasi diri!"
Mirai terkesiap, tapi Ren tetap tenang. Ia mengangkat emblem logam kecil bersimbol emas tinggi ke udara. Emblem itu bertuliskan R5 berlatar gambar tengkorak merujuk clan. Sinar lampu sorot memantul dari permukaannya. Simbol tingkatan tinggi dalam sistem kepemimpinan clan di dunia ini, berkilat di tengah kegelapan.
"Ren. R5 dari clan Nazarick. Kami kembali dari misi luar. Buka gerbang," ucapnya lantang.
Beberapa detik hening.
Lalu terdengar suara lain, lebih ringan tapi tegas, "otoritas R5 terverifikasi. Selamat datang kembali, Ren, R5 Nazarick. Buka gerbang."
Terdengar derak keras dari mekanisme baja yang berputar. Gerbang logam tebal mulai bergeser ke samping, membuka celah cukup besar untuk dilewati satu kendaraan.
Lampu sorot sedikit meredup, namun masih cukup terang untuk menunjukkan betapa tingginya tembok yang mengelilingi shelter. Beton tua yang diperkuat lempengan baja, kawat duri, dan turret otomatis yang mengawasi pergerakan dari atas menara pengintai.
Begitu Jeep mereka melintasi gerbang, dua penjaga yang berdiri di sisi kanan langsung memberi hormat. "Salam hormat untuk R5 clan Nazarick. Sesuai prosedur, silakan turun," pinta petugas berwajah khas orang barat. Tubuhnya besar dan kekar, tak ada rambut, hanya janggut hitam kemerahan menghias wajah kotaknya.
Meski bingung, Ren memberi kode pada Mirai untuk turun dari mobil. Mereka berdiri berjajar, dan diminta membuka outer seperti jaket dan semacamnya. Seorang petugas pria memeriksa mata dan tubuh para pria. Sedangkan Mirai dilakukan oleh petugas wanita berambut pirang pendek sebahu.
"Tidak ada luka gigitan dan cakaran," tukas petugas pria.
Beda halnya si petugas wanita. Bibirnya sedikit mengkerut. "Ada beberapa luka lebam dan goresan. Identifikasikan dirimu!" instruksinya pada Mirai yang tampak kebingungan.
Ren maju. "ID Mirai, Clan Nazarick. Aku baru menemukannya kemarin saat terhanyut di sungai. Lukanya karena jatuh ke sungai. Tidak ada tanda perubahan atau mutasi selama bersama kami."
Petugas wanita itu mundur, lalu saling berpandangan pada rekannya. "Kami sarankan untuk melakukan pengecekan secara menyeluruh di rumah sakit."
"Okeh." Ren memberi instruksi pada anggota pria. "Kalian duluan ke basecamp. Kami nyusul."
"Okie dokie!" jawab Zoro yang kembali ke kursi pengemudi.
"See you later, Queen!" seru Vannesa pada Mirai yang masih kebingungan. Ia menyebutnya Queen karena biasanya Ren malas mengantar anggota baru untuk pengecekan ke rumah sakit. Dan selalu melempar tugas itu pada anggota lain.
Nobi dan Royal hanya melambai pamit kemudian naik ke mobil. Lantas Jeep itu pun melaju pergi meninggalkan mereka.
Ren membalik badannya. "Ayo, ikut gue."
Tanpa banyak bertanya Mirai mengekor di belakang leader-nya. Yang bisa dilihatnya hanya punggung Ren di mana kedua tangannya masuk ke dalam saku celana. Entah mengapa, gambaran punggung bergesture agak bungkuk itu seolah sedang menanggung beban takdir yang sangat berat. Atau itu hanya asumsinya semata.