Kisah Seorang Buruh kasar yang ternyata lupa ingatan, aslinya dia adalah orang terkuat di sebuah organisasi rahasia penjaga umat manusia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Babah Elfathar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
Bab 19
“Sepertinya informasi yang kudapat salah,” gumam Rangga pelan.
“Menurut laporan intelijen, kemampuan pengawalnya Windy sangat payah. Tapi dia bisa menemukanku — berarti datanya keliru.”
Begitu Rangga melangkah masuk ke ruang tamu vila, lampu tiba-tiba menyala terang.
Seorang pria muda berambut pirang duduk di sofa dengan santai, memainkan belati kecil di tangannya.
Tatapannya meremehkan.
Tapi Rangga hanya menatapnya dingin tanpa bicara.
“Kamu cukup berani, tapi sayangnya keberanianmu akan menjadi alasan kematianmu malam ini,” ujar pria muda itu dengan nada congkak.
“Denganmu?” Rangga tersenyum tipis.
“Ya, aku,” jawab pria itu bangga. “Aku adalah pembunuh Red Card termuda di organisasi Red Lotus.”
Dia tertawa, nada suaranya penuh kesombongan.
“Sepertinya kamu tidak pernah dengar nama Red Lotus, ya? Wajar saja, orang biasa tak akan tahu dunia bawah seperti kami.”
“Dan aku cukup terkejut bisa menemukanmu, tapi percayalah — kau akan jadi mayat dingin dalam 30 detik. Katakan kata-kata terakhirmu!”
Kesombongannya begitu kental, seperti anak muda yang terlalu percaya diri dengan kekuatannya.
“Tiga detik,” ujar Rangga datar.
“Apa?” alis pria itu terangkat.
“Aku akan menyelesaikanmu dalam tiga detik.”
Begitu kata itu terucap, tubuh Rangga menghilang dari pandangan.
Ia bergerak secepat bayangan — tak terdengar suara langkah, tak ada tanda peringatan.
Itulah pertama kalinya ia bertarung sejak ingatannya kembali.
Tiga tahun lamanya ia hidup sebagai orang biasa, menekan seluruh kemampuan tempurnya.
Siapa pun yang mengenalnya sebagai pekerja konstruksi takkan pernah percaya melihat sosoknya kini.
Tatapan Rangga berubah — tajam, mematikan, seperti malaikat maut yang baru turun dari langit.
Udara di ruangan seakan membeku.
Pria muda itu baru saja ingin bergerak, tapi tak sempat.
Dalam sekejap Rangga sudah berdiri di hadapannya.
“Sampah Red Card,” ujarnya dingin.
“Berani-beraninya sombong di depanku?”
Sebuah pukulan keras mendarat di wajah pria pirang itu.
“Buk!”
Tubuhnya terlempar dan menghantam lantai keras. Sebelum sempat sadar, pergelangan kakinya sudah dicengkeram kuat.
Rangga mengangkatnya tinggi, lalu membantingnya lagi ke lantai.
Ubin mahal vila Windy pecah berhamburan.
Pria itu bahkan belum sempat bereaksi. Ketika ia mencari belatinya, ia baru sadar — senjata itu sudah berada di tangan Rangga.
Pisau dingin itu kini menempel di lehernya.
Setetes darah muncul di kulitnya.
Seketika tubuhnya kaku. Urat-urat di pelipisnya menegang. Rasa takut menyebar cepat di seluruh tubuhnya.
Dia baru sadar… jarak kemampuan mereka terlalu jauh.
“Aku… aku Kenzi Sutisna,” katanya terbata.
“Kakekku adalah Luke Sutisna, pemimpin besar Red Lotus. Kau tidak boleh membunuhku!”
“Luke Sutisna, ya?” Rangga menatapnya tajam.
“Lebih baik dia tak pernah muncul di hadapanku. Kalau berani keluar dari sarangnya, aku yang akan membunuhnya sendiri.”
Dia menjilat sedikit darah di pisau itu, lalu menatapnya dengan senyum kejam.
“Sudah tiga tahun aku tak pernah membunuh siapa pun.
Selamat, kau orang pertama setelah aku kembali.”
“Tiga… tahun?” gumam Kenzi, wajahnya pucat.
Matanya melebar saat ingat sesuatu.
“Kamu… kamu adalah—”
Namun kalimat itu tak pernah selesai.
Dengan satu gerakan cepat, Rangga menggores lehernya.
Cairan merah mengalir deras. Tubuh Kenzi Sutisna terkulai diam.
Matanya masih terbuka, membeku dalam keterkejutan.
Rangga menarik napas dalam. Ia menutup luka di leher mayat itu dengan beberapa tisu agar darah tak tercecer di lantai, lalu menoleh ke arah pintu.
Dari luar terdengar suara seseorang berteriak marah,
“Dasar penakut! Berani-beraninya kabur begitu saja! Aku nggak akan biarkan kamu dekat-dekat Windy lagi!”
Suara wanita itu — jelas milik Vela Wijaya.
Rangga tersenyum kecil. Ia tahu kalau mayat ini terlihat oleh mereka, pasti akan membuat panik.
Ia mengangkat tubuh Kenzi, mematikan lampu, lalu melompat keluar lewat jendela belakang.
Sebagai seorang Night Watcher, ia tahu bagaimana menyelesaikan urusan seperti ini tanpa menarik perhatian warga biasa.
Dengan gerakan lincah ia melewati rute aman, menghindari semua kamera CCTV, hingga tiba di gang sepi.
Ia menurunkan mayat itu di tempat tersembunyi, lalu mengeluarkan ponselnya.
“Halo, Sisil, aku baru saja menyingkirkan satu pembunuh Red Card. Posisi sekarang di koordinat barat kompleks Pondok Indah,” katanya singkat.
Tak lama, sebuah jip hitam berhenti di dekatnya.
Dari dalam mobil, Sisil Bahri dan Nindya Dewata turun dengan pakaian taktis Night Watcher.
“Apa yang terjadi?” tanya Sisil.
Rangga membuka bagasi dan meletakkan mayat Kenzi di sana.
Ia masuk ke mobil dan menceritakan pertempuran singkat tadi.
“Kenapa tidak kamu tangkap saja?” tanya Sisil dengan nada dingin.
“Kalau kita hidup-hidup, kita bisa dapat informasi soal rencana Red Lotus berikutnya.”
Rangga menggaruk kepala, lalu tersenyum malu.
“Dia terlalu sombong, Sisil. Aku jadi nggak bisa menahan diri.”
Nindya terkekeh.
“Biarkan saja, Dokter Sisil, yang penting dia berhasil menyingkirkan pembunuh Red Card. Itu sudah pencapaian bagus.”
“Hmph,” Sisil mendengus kesal, tapi wajahnya terlihat lega.
Keesokan paginya, matahari menembus jendela kamar Windy Syam.
Gadis itu membuka mata perlahan, masih setengah sadar. Di depannya, Vela sedang duduk di kursi rias dengan masker wajah menempel.
“Vela? Kenapa kamu bisa ada di rumahku?” tanya Windy bingung.
“Lupa, ya? Kamu nggak tahu seberapa bahaya keadaan semalam,” jawab Vela tenang.
“Semalam seseorang berusaha membunuhmu.”
Windy terdiam. “Kamu yang mengusir mereka, kan?”
“Tentu saja. Kamu bisa percaya padaku,” kata Vela sambil mengangkat dagu bangga.
“Aku mabuk semalam, ya? Sayang banget… belum sempat buat Rangga mabuk,” keluh Windy.
“Padahal aku mau tahu kenapa Ayah begitu menghormatinya, dan bagaimana dia bisa menyelamatkan Ayah.”
“Jangan bahas dia lagi,” kata Vela dengan wajah jengkel.
“Pria itu pengecut! Begitu lihat penyerang datang, dia langsung kabur. Orang kayak dia bisa nyelamatin Paman Barney? Aku nggak percaya!”
Windy tertawa kecil. “Baiklah, aku mandi dulu.”
Begitu keluar dari kamar tidur, langkahnya berhenti di ruang tamu.
Ia menatap lantai dengan kening berkerut.
“Vela, kenapa ubin lantai di rumahku retak begini?”
Sementara itu, Rangga bangun dengan suasana hati baik.
Ia sudah menugaskan Sisil dan Nindya untuk mengurus sisa peristiwa tadi malam. Setelah tidur nyenyak hingga pukul sepuluh pagi, ia turun untuk sarapan.
Namun baru saja melewati gerbang kompleks, suara nyinyir menyapanya.
“Rangga, kamu benar-benar nggak tahu malu. Katanya rumah di kompleks ini hasil pinjam uang?”
Itu suara Miriam, yang baru pulang dari pasar sambil membawa tas sayuran.
Rangga mengerutkan kening. Ia berusaha mengabaikan.
Tapi wanita itu terus bicara,
“Percuma kamu berusaha keras. Liana nggak akan pernah balik sama kamu. Kamu nggak ada apa-apanya dibanding Rafael Voss. Dimas itu pria sukses, kamu cuma orang miskin!”
Rangga menoleh dingin.
“Aku cuma mau ngingetin, Tante, karena aku hormat sama Paman Eldric. Tapi dengar baik-baik — Rafael Voss bukan orang baik.”
“Bukan orang baik?” Miriam terkekeh sinis.
“Lihat baju yang aku pakai ini. Dibeliin sama Rafael! Harganya jutaan! Jangan iri.”
Rangga mendengus dan hendak pergi, tapi Miriam masih bersuara.
“Oh iya, kemarin Novida bilang kamu bos di kantornya. Mana mungkin? Bos macam apa yang bangun jam sepuluh pagi dan keluyuran? Hahaha! Kamu mimpi kali!”
Rangga hanya tersenyum tipis dan berjalan pergi.
Tatapannya menajam, seperti menyimpan sesuatu.
Bersambung