Ihsan Ghazi Rasyid, 40 tahun seorang duda beranak dua sekaligus pengusaha furnitur sukses yang dikenal karismatik, dingin dan tegas.
Kehidupannya terlihat sempurna harta berlimpah, jaringan luas, dan citra pria idaman. Namun di balik semua itu, ada kehampaan yang tak pernah ia akui pada siapa pun.
Kehampaan itu mulai berubah ketika ia bertemu Naina, gadis SMA kelas 12 berusia 18 tahun. Lugu, polos, dan penuh semangat hidup sosok yang tak pernah Ihsan temui di lingkaran sosialnya.
Naina yang sederhana tapi tangguh justru menjeratnya, membuatnya terobsesi hingga rela melakukan apa pun untuk mendapatkannya.
Perbedaan usia yang jauh, pandangan sinis dari orang sekitar, dan benturan prinsip membuat perjalanan Ihsan mendekati Naina bukan sekadar romansa biasa. Di mata dunia, ia pria matang yang “memikat anak sekolah”, tapi di hatinya, ia merasa menemukan alasan baru untuk hidup.
Satu fakta mengejutkan kalau Naina adalah teman satu kelas putri kesayangannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 5. Fakta Baru
Naina menaruh nampan di meja dengan gerakan pelan. Tatapannya berpindah dari mama ke pria asing itu, lalu kembali lagi, mencoba membaca maksud di balik semua ini.
“Mama, aku bukan barang dagangan,” ucapnya pelan tapi tegas.
Bu Rahayu menghela napas panjang, seolah lelah menghadapi anak yang menurutnya keras kepala.
“Kamu nggak paham, Na. Hidup itu perlu kepastian, bukan cuma mimpi dan sekolah tinggi. Mama cuma mau yang terbaik buat kamu,” katanya.
“Terbaik menurut Mama atau menurut aku?” balas Naina, nadanya mulai meninggi.
“Dari dulu Mama nggak pernah tanya aku mau apa. Selalu atur hidup aku, bedain aku sama Namira, sekarang disuruh nikah sama orang yang bahkan baru aku kenal.”
Ihsan menyandarkan punggungnya ke sofa, pandangan matanya tenang, tapi bibirnya membentuk senyum tipis seperti singa yang sabar menunggu mangsa.
“Saya paham kamu kaget,” ujarnya, nada suaranya dalam dan terukur. “Tapi kadang, kesempatan datang sekali seumur hidup. Saya janji, saya bakal jaga kamu lebih baik dari siapapun.”
Naina memelototinya. “Om pikir aku bakal percaya omongan orang yang baru duduk lima belas menit di ruang tamu rumahku?”
Namira yang sedari tadi menahan tawa, menutup mulutnya sambil melirik Ihsan.
“Mira, diam! Kenapa bukan kamu saja yang menikah dengan om-om itu!?” tegur Naina dengan tatapan menusuk.
Namira tersentak lalu tertawa sinis, “Aku? Setidaknya kalau aku, nggak akan bikin keluarga malu dengan air mata murahan. Lagian siapa juga yang mau sama cewek keras kepala kayak kamu.”
Naina maju selangkah, suaranya meninggi, “Jangan bawa-bawa aku, Mir! Kamu nggak tahu rasanya dipaksa, diseret ke pernikahan yang aku nggak pernah minta!”
Namira melipat tangan di dada, wajahnya penuh ejekan, “Alah, drama lagi. Semua orang di rumah ini capek dengar keluhanmu. Coba deh bercermin, Naina. Kamu itu bukan korban, kamu cuma anak manja yang nggak pernah puas.”
Naina gemetar, dadanya naik turun, “Manja katamu? Aku cuma ingin hidupku sendiri! Kenapa semua orang berhak mengatur jalan yang bukan mereka jalani!?”
Namira mengangkat dagu, suaranya dingin, “Karena kamu lemah. Kamu nggak bisa melawan, cuma bisa menjerit. Kalau aku di posisimu, aku sudah tunduk dari awal.”
“Aku bukan kamu!” pekik Naina, matanya berkaca-kaca, “Lebih baik aku mati daripada dipenjara di pelaminan dengan pria yang tak kucinta!”
Bentakan itu membuat suasana membeku. Sesaat rumah hanya dipenuhi napas berat mereka berdua.
Tiba-tiba langkah cepat terdengar. Bu Rahayu muncul dengan wajah merah padam, matanya menyala penuh murka.
“Cukup, Naina! Jangan bicara sembarangan begitu!”
Tanpa memberi kesempatan menjawab, telapak tangan Bu Rahayu melayang keras ke pipi Naina.
Plaaakk!
Suara tamparan itu menggema, membuat ruangan hening seketika.
Bu Rahayu menatap tajam ke arah Naina, kali ini suaranya terdengar seperti perintah.
“Kalau kamu sayang Mama, kamu nurut. Kamu nggak tahu betapa susahnya Mama nyari jalan biar hidup kita nggak susah lagi. Papa kamu di Surabaya belum tentu bisa pulang cepat, biaya semua serba naik. Pak Ihsan ini solusi.”
Naina menggenggam ujung bajunya, berusaha menahan gemetar di tangannya.
“Solusi buat Mama, tapi penjara buat aku.”
Ucapan itu membuat udara di ruang tamu seketika berat. Ihsan tersenyum samar, tapi matanya menyipit, menilai gadis di depannya yang jelas tak mudah tunduk.
“Kalau kamu mau, kita bisa atur semua pelan-pelan,” imbuh Ihsan, suaranya halus namun sarat tekanan.
“Nikah siri, nggak perlu heboh. Kamu tetap kuliah, tetap main sama teman-teman. Saya cuma minta kamu jadi istri saya dan nggak lari.”
Naina mengangkat wajahnya, menatap langsung ke matanya. “Aku nggak akan jual masa depanku cuma buat uang dan janji manis.”
Bu Rahayu bangkit dari duduknya, nadanya meninggi. “Naina! Jangan kurang ajar! Mama udah putuskan, kamu nikah sama Pak Ihsan. Titik!”
Air mata mulai menggenang di mata Naina, tapi ia menegakkan bahu. “Kalau Mama pikir aku anak pungut sampai tega kayak gini, bilang sekarang sekalian.”
Suara itu pecah di ujung kalimat, dan sejenak, bahkan Ihsan terdiam.
Pipi Naina masih memerah bekas tamparan, matanya berkaca-kaca menahan sakit dan harga diri yang tercabik.
Namira hanya menyeringai tipis, merasa menang, sementara Bu Rahayu berdiri tegak dengan dada yang naik turun penuh emosi.
Naina menggenggam ujung gaunnya kuat-kuat, matanya berkaca-kaca, suaranya pecah namun tegas,
“Aku baru delapan belas tahun! Aku mau kuliah, aku masih mau ikut sanggar tari, aku masih ingin mengejar mimpiku dan aku sama sekali tidak mencintai Om Ihsan!”
Ruangan itu mendadak sunyi. Semua orang terdiam menatapnya, hanya terdengar detak jam dinding yang terasa menusuk telinga.
Namira mendengus sambil menyilangkan tangan di dada, “Mimpi? Kamu pikir hidup itu cuma soal menari dan kuliah? Dunia nyata itu butuh uang, Nai, bukan dongeng murahan!”
Naina menoleh cepat, air matanya jatuh di pipi. “Aku nggak butuh jadi kaya kalau harus menukar kebebasanku! Lebih baik aku miskin tapi bisa menentukan jalanku sendiri!”
Bu Rahayu menatapnya dengan mata merah penuh amarah, suaranya meninggi, “Diam, Naina! Kamu pikir semua orang di rumah ini tidak memikirkan masa depanmu? Kami hanya ingin yang terbaik laki-laki mapan yang bisa menjamin hidupmu!”
Naina menggeleng keras, “Tidak, Bu! Yang terbaik itu bukan dipaksa menikah dengan pria yang bahkan bukan pilihanku. Aku ingin bahagia, Bu… bukan sekadar hidup terjamin tapi terpenjara!”
Suasana semakin panas. Namira tersenyum miring, mencoba menusuk lebih dalam, “Bahagia? Kamu terlalu bodoh untuk tahu arti bahagia, Naina. Kalau aku jadi kamu, aku akan bersyukur dipinang lelaki kaya. Tapi kamu dasar keras kepala!”
Naina memelototinya, suaranya pecah penuh luka, “Jangan hina aku, Mira! Kamu tidak tahu rasanya setiap malam aku menangis karena harus menanggung keputusan yang bukan kehendakku!”
Seketika Ihsan yang sejak tadi diam maju selangkah. Wajahnya tegang, tapi nadanya tenang dan penuh keyakinan, “Cukup. Jangan sakiti dia lagi.”
Semua mata terarah padanya.
Ihsan menarik napas panjang lalu berkata tegas, “Aku tidak akan mundur. Apa pun yang terjadi, aku akan menikahi Naina. Aku akan buktikan bahwa aku bukan penjara untuknya, tapi pelindung. Biarlah aku yang menanggung semua kebencian ini, asal Naina tidak lagi merasa sendirian.”
Kata-kata itu menggema, membuat semua orang terdiam membeku. Naina menunduk, air matanya jatuh deras, hatinya diguncang antara luka dan rasa tidak berdaya.
Di sudut ruangan, Ihsan sejak tadi hanya terdiam. Tatapannya tajam, menyimpan gejolak yang tak terucap. Hatinya perih melihat Naina diperlakukan begitu, namun ia tahu jika ikut bicara sekarang hanya akan memperburuk keadaan.
Tangannya mengepal di sisi tubuh, rahangnya mengeras. Dalam benaknya terpatri satu janji.
“Apapun rintangannya, aku akan menikahi Naina. Aku akan jadi pelindungnya. Aku akan rebut haknya untuk bahagia, meski harus berhadapan dengan siapapun.” batinnya.
Ihsan menghela napas berat, menatap Naina yang nyaris runtuh. Ada luka dalam di matanya, tapi justru itu yang membuat tekad Ihsan semakin menguat.
DIa tidak lagi melihat Naina sebagai gadis lemah yang menyerah, melainkan sebagai perempuan yang layak diperjuangkan.
“Kamu adalah anakku, darah dagingku tapi bukan anak dari Papamu, Aditya Pratama,” ucap Bu Rahayu santai, seolah membicarakan hujan turun sore hari.
Wajah Naina seketika membeku, matanya membesar tak percaya, bibirnya bergetar namun tak mampu mengeluarkan suara. Dadanya naik turun, pandangan kosong seakan dunia runtuh di hadapannya.
Namira ternganga, alisnya terangkat tinggi, kemudian sudut bibirnya perlahan menyeringai penuh kepuasan, seolah menemukan senjata baru untuk menusuk kakaknya.
Ihsan terdiam kaku, rahangnya mengeras, matanya menunduk tajam seakan menahan gejolak yang bergolak di dadanya.
Bu Rahayu masih duduk dengan wajah tenang, sorot matanya dingin tanpa rasa bersalah, bibirnya melengkung tipis seolah apa yang ia lontarkan hanyalah kebenaran yang tak terbantahkan.
ayah sabung naina berhati mulia mau Nerima naina seperti putri kandungnya beda sama emaknya naina yg berhati siluman 😠👊
Apa mereke adek beradek tiri author???
Kenapa beda kasih sayangnya???
🤔🤔🤔🤔🤔
keluarkan Naina dari rumah itu.. 🥺🥺🥺🥺🥺