Bertahun-tahun memendam cinta pada Bagaskara, Aliyah rela menolak puluhan lamaran pria yang meminangnya.
Tak disangka, tepat di hari ulang tahunnya, Aliyah mendapati lamaran dari Bagaskara lewat perantara adiknya, Rajendra.
Tanpa pikir panjang Aliyah iya-iya saja dan mengira bahwa lamaran itu memang benar datang dari Bagaskara.
Sedikitpun Aliyah tidak menduga, bahwa ternyata lamaran itu bukan kehendak Bagaskara, melainkan inisiatif adiknya semata.
Mengetahui hal itu, alih-alih sadar diri atau merasa dirinya akan menjadi bayang-bayang dari mantan calon istri Bagaskara sebelumnya, Aliyah justru bertekad untuk membuat Bagaskara benar-benar jatuh cinta padanya dengan segala cara, tidak peduli meski dipandang hina ataupun sedikit gila.
.
.
"Nggak perlu langsung cinta, Kak Bagas ... sayang aja dulu nggak apa-apa." - Aliyah Maheera.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 13 - Dia Bukan Pacarku ~
“Aduk pelan-pelan, kata Mama begitu sih.” Aliya bergumam lirih, lebih kepada dirinya sendiri. Tangannya bergerak hati-hati, khawatir sampai membuat kesalahan lagi.
Ilmu memasaknya memang tidak seberapa. Ia hanya mengandalkan sedikit pengetahuan yang pernah ia tangkap secara tidak sengaja ketika sering memperhatikan Mama atau asisten rumah tangga mereka bekerja di dapur. Namun kali ini, ia berusaha sekuat tenaga untuk mempraktikkannya.
Sekadar menjaga santan agar tidak pecah, ia masih sanggup. Tapi kalau harus memasak dari nol? Ah, itu hampir mustahil. Baru disuruh memarut kelapa saja tangannya sudah penuh luka kecil, apalagi kalau diminta mengolah sesuatu yang lebih rumit.
Luka-luka itu masih terasa perih, terutama di sela-sela jarinya. Aliya sempat melirik bekasnya yang memerah samar, dan langsung teringat pada opor ayam yang diminta Bagaskara. Demi itu saja, ia sudah pontang-panting.
Tak lama ia sibuk dengan kegiatan sederhana itu, sampai suara langkah Bagaskara terdengar mendekat. Begitu pria itu masuk dapur dengan tatapan serius, Aliya langsung terhenti dan mundur selangkah. Ia tahu diri, tidak perlu menunggu diusir, karena sudah pasti Bagaskara akan mengambil alih.
Namun, bukannya pergi begitu saja, ia memilih tetap berdiri cukup dekat. Sengaja tidak benar-benar meninggalkan dapur agar bisa tetap memperhatikan gerak-gerik suaminya itu.
Dari tempatnya berdiri, Aliya bisa melihat jelas bagaimana Bagaskara bergerak. Pria itu begitu terampil, wajahnya serius, setiap langkahnya penuh keyakinan.
Dia sempat mencicipi kuah santan, mengerutkan alis sedikit, lalu menambahkan bumbu tanpa banyak pikir.
Tak ada adegan menawarkan agar istrinya ikut mencicipi. Dan Aliya pun tak meminta. Ia percaya saja, toh nanti hasilnya akan mereka makan bersama.
Aliya akhirnya mengalihkan perhatiannya. Ia berinisiatif membereskan wadah kotor yang berserakan di meja. Namun, baru saja tangannya menyentuh piring berminyak, suara Bagaskara terdengar tegas.
“Jangan, tanganmu luka. Biar aku saja.”
Aliya terhenti. Ia menoleh cepat, menatap wajah suaminya yang masih fokus dengan masakannya. Senyum kecil sontak merekah di bibirnya. “Oh … okay,” sahutnya singkat, tapi dalam hati terasa hangat luar biasa. Sederhana, tapi perhatian itu membuat dadanya bergetar.
Sejak saat itu hingga masakan selesai, Aliya benar-benar seperti pajangan di dapur. Hanya berdiri di sana, memperhatikan setiap gerakan suaminya, tersenyum sesekali, tanpa benar-benar ikut membantu. Tapi baginya itu sudah cukup. Ia bisa melihat Bagaskara dari dekat, tanpa ditolak atau diusir.
Begitu masakan beres, Bagaskara berbalik, berjalan kembali menuju kamar. Dan tanpa pikir panjang, Aliya segera mengekor. Ia seperti anak ayam yang mencari induknya, langkahnya ringan meski wajahnya penuh antusias.
Bagaskara sendiri tetap diam, tidak banyak bicara. Ia menapaki tangga dengan santai, tapi ada hawa dingin yang sulit dijelaskan.
Aliya tidak peduli. Ia tak ambil pusing dengan sikap itu, karena baginya hanya bisa berjalan di belakang Bagaskara sudah membuat hati tenang.
Namun, begitu mereka sampai di kamar, sesuatu langsung membuat Aliya tertegun. Ponselnya.
Benda itu tidak lagi berada di atas nakas, tempat terakhir ia meletakkannya. Kini ponsel itu tergeletak di atas ranjang. Kening Aliya berkerut, alisnya naik turun, rasa penasaran jelas terpampang di wajahnya.
Ia spontan menoleh ke arah Bagaskara, seakan menunggu penjelasan. Tapi pria itu santai saja. Tidak ada sepatah kata pun keluar dari bibirnya, hanya ekspresi datar yang sulit ditebak.
“Kok bisa pindah ya? Aku yakin banget tadi naronya di nakas, bukan di sini,” gumamnya pelan.
Aliya yakin seratus persen dengan ingatannya. Tadi ia benar-benar meletakkan ponsel itu di samping lampu tidur. Dan, sekarang berpindah ke ranjang tanpa ia sentuh sama sekali.
Ingin rasanya ia bertanya langsung pada suaminya. Tapi melihat gelagat Bagaskara yang dingin, seakan-akan sedang menjaga jarak, Aliya jadi ragu. Ia takut justru terkesan menuduh, dan itu bisa memperburuk suasana.
Akhirnya ia memilih mengabaikan dulu rasa curiga itu. Ia meraih ponselnya, lalu membuka layar.
Dan di situlah keterkejutannya bermula. Ada 25 panggilan tak terjawab dari nomor asing.
“Ya ampun,” desis Aliya pelan. Matanya membelalak, napasnya memburu. Tapi keterkejutannya belum berhenti sampai di sana. Ia segera membuka pesan masuk dari nomor yang sama.
Pesan itu sudah terbuka. Statusnya jelas, sudah dibaca.
Aliya mengerjap. Ia tidak salah lihat. Padahal ia yakin benar belum pernah membuka pesan itu.
Hatinya langsung berdebar. Rasa penasaran dan cemas bercampur jadi satu. Kalau bukan dirinya, lalu siapa yang sudah membaca pesan itu?
Aliya menoleh cepat ke arah Bagaskara. Wajah pria itu tenang, meski matanya seolah lebih dingin dari biasanya.
“Kak Bagas.” Aliya memberanikan diri. Suaranya pelan, penuh hati-hati.
Bagaskara melirik sekilas. “Kenapa?”
Aliya menggenggam ponselnya erat-erat. Ia menarik napas panjang sebelum akhirnya bertanya, “Kakak buka handphone aku tadi?”
Suasana kamar seketika hening. Bagaskara tidak langsung menjawab, membuat Aliya semakin tegang. Ia sempat menduga pria itu akan berbohong, menyembunyikan sesuatu.
Namun di luar dugaan, Bagaskara justru mengaku.
“Hem.” ia mendengus singkat. “Handphone-mu berisik. Kupikir apa, makanya kubuka. Eh, ternyata cuma pesan singkat dari pacarmu.”
Aliya terperangah. Kata-kata itu menohok telinganya. Pacar? Bagaskara menyebutnya begitu enteng, padahal ia tahu itu bukan kebenaran.
Pria itu bahkan tidak menoleh lagi. Ia sudah kembali sibuk dengan ponselnya sendiri, mencari kesibukan dengan menggulir layar, seakan tidak peduli.
Aliya menggigit bibir bawahnya. Perasaan tidak nyaman mulai menguasai. Ia kaget, ia sadar diri, tapi sekaligus juga ingin membantah tuduhan itu.
“Ehm … dia bukan pacarku, Kak. Jangan salah paham,” ujarnya cepat, suaranya agak bergetar.
Bagaskara tidak langsung menanggapi. Ia berhenti sebentar dari aktivitas scroll tak jelasnya, lalu melirik sekilas dari ekor mata.
Aliya menelan ludah, lalu menjelaskan lebih jauh. “Aku sama Zikry dulunya memang sempat menjalin hubungan … tapi sekarang cuma teman, murni teman aja, nggak lebih, dan—”
“Iya-iya,” potong Bagaskara cepat. Suaranya datar, dingin, seakan malas mendengar penjelasan lebih panjang. “Aku tidak bertanya, Aliya.”
.
.
- To Be Continued -
jangan sampai ada lelaki lain yang menyayangi aliya melebihi kamu, bagas
Kagak tauu ape, duo makhluk itu lagi kasmaran 😆..
Elu jadi saksi bisuuuu, gitu aja kagak paham, ngiri yaaa 😆...
So selirih apapun suaramu selama tidak memakai bahasa kalbu Bagas bakalan dengar 😅..
Lain kali hati-hati ngomongnya apalagi kalau mau bully Bagas 😆✌...