Aluna Haryanti Wijaya, gadis lembut yang menikah demi menjaga kehormatan keluarga. Pernikahannya dengan Barra Pramudya, CEO muda pewaris keluarga besar, tampak sempurna di mata semua orang. Namun di balik janji suci itu, Aluna hanya merasakan dingin, sepi, dan luka. Sejak awal, hati Barra bukan miliknya. Cinta pria itu telah lebih dulu tertambat pada Miska adik tirinya sendiri. Gadis berwajah polos namun berhati licik, yang sejak kecil selalu ingin merebut apa pun yang dimiliki Aluna.
Setahun pernikahan, Aluna hanya menerima tatapan kosong dari suaminya. Hingga saat Miska kembali dari luar negeri, segalanya runtuh. Aluna akhirnya tahu kebenaran yang menghancurkan, cintanya hanyalah bayangan dari cinta Barra kepada Miska.
Akankah, Aluna bertahan demi cintanya. Atau pergi meninggalkan Barra demi melanjutkan hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13. Dia pergi karena sikapku sendiri
Sinar matahari mulai menembus celah jendela besar rumah keluarga Pramudya, Barra masuk dengan langkah gontai. Wajahnya lelah, rambutnya sedikit berantakan, dan aroma alkohol samar masih tercium dari jas yang ia kenakan. Ia menjatuhkan tubuhnya ke sofa ruang tamu, meraih remote televisi hanya untuk meletakkannya kembali tanpa menyalakan apa pun.
Ruangan itu begitu sepi. Tidak ada suara langkah ringan, tidak ada aroma masakan, bahkan tidak ada senyum lembut Aluna yang biasanya menyambut, meski hanya dengan tatapan dingin belakangan ini.
“Aluna…” panggil Barra setengah malas. Lalu ia menegakkan tubuhnya, menoleh ke sekeliling.
“Aluna!” suaranya lebih lantang.
Tak ada jawaban, yang ada hanyalah meja kaca di depannya dengan sebuah map cokelat. Barra meraihnya, membuka, dan matanya langsung membelalak. Itu surat cerai, surat yang dua bulan lalu ia sodorkan pada Aluna dengan penuh emosi. Namun kini, sudah ada tanda tangan basah milik Aluna di atasnya.
Barra terdiam beberapa detik. Matanya menyipit, napasnya terasa aneh. Ia mendengar langkah seorang pelayan mendekat.
“Maaf, Tuan…” suara pelayan itu hati-hati. “Nyonya Aluna semalam bilang akan kembali ke rumah keluarga Wijaya.”
Seketika sudut bibir Barra melengkung, membentuk senyum sinis. Ia menjatuhkan map itu kembali ke meja, lalu bersandar dengan ekspresi puas.
“Bagus, akhirnya … aku bebas dari pernikahan ini."
Namun, baru saja ia menutup mata, sesuatu membuat tubuhnya menegang. Dalam remang cahaya pagi, dari arah tangga, ia seolah melihat sosok Aluna berdiri, mengenakan gaun sederhana, wajahnya lembut tersenyum seperti dulu sebelum semua luka terjadi.
“Selamat tinggal, Barra…” suara itu terdengar lirih, namun jelas menusuk ke dalam jiwanya.
Barra terlonjak bangun, napasnya terengah. Peluh dingin membasahi dahinya. Ia menoleh ke segala arah tak ada siapa pun. Hanya ruangan kosong. Bayangan itu menghilang, meninggalkan kegelisahan yang tak bisa ia jelaskan.
Siang harinya, Barra datang bersama Cleo ke rumah keluarga Wijaya. Ia memilih datang dengan jas formal, wajah dingin, menampilkan diri sebagai rekan bisnis, bukan lagi menantu. Di halaman depan, Miska sudah menunggunya dengan wajah berbinar, sementara Tuti menyambut dengan hangat. Haris bahkan menepuk bahu Barra, masih menganggapnya sebagai bagian keluarga, karena memang belum tahu soal perceraian Barra dan Aluna.
Namun, Barra merasa ada kekosongan. Ia menoleh ke sekeliling, mencari sosok yang ia duga sudah ada di rumah ini. Tapi Aluna tak tampak. Hingga akhirnya, suara berat terdengar.
“Barra.”
Itu suara Haryanto, kakek Aluna, yang muncul dari balik pintu ruang keluarga. Matanya tajam menatap cucu menantunya.
“Mana Aluna? Bukannya kalian pulang bersama?"
Barra kaku seketika, dia menelan ludah, lalu menjawab dengan nada ragu.
“Bukankah … bukankah dia sudah kembali ke sini? Semalam…”
Namun sebelum ia selesai, Haryanto menggeleng.
“Jangan main-main, Barra. Aluna belum pulang sejak seminggu terakhir.”
Deg!
Jantung Barra seperti berhenti berdetak sejenak. Wajahnya pucat, tubuhnya menegang. Ia berdiri dari sofa, langkahnya gugup.
“Tidak mungkin … dia ... dia semalam bilang akan ke sini!”
Semua mata kini tertuju pada Barra. Haryanto yang biasanya tenang bahkan tampak terkejut. Haris dan Tuti saling berpandangan, sementara Miska terdiam, namun diam-diam senyum tipis muncul di bibirnya. Barra meraih ponselnya, berkata cepat pada Cleo.
“Hubungi Aluna, sekarang!”
Cleo segera menekan nomor Aluna. Tapi hasilnya nihil.
“Nomornya sudah tidak aktif, Tuan.”
Barra mengerutkan kening. “Coba email, kontak kantor, apa saja!”
Cleo menunduk, wajahnya berubah tegang. “Semua sudah diputuskan, Tuan. Nyonya Aluna menutup semua akses perusahaan yang berkaitan dengannya. Semua akun, semua kontak. Bahkan … tidak ada catatan penerbangan atas nama Nyonya. Seolah-olah …” ia ragu, "seolah-olah Nyonya menghilang begitu saja.”
Keringat dingin mulai membasahi tengkuk Barra. Ia menggenggam erat ponselnya, matanya liar mencari jawaban. Lalu, dengan langkah besar pergi meninggalkan kediaman itu, tanpa memedulikan teriakan Haryanto, dan rengekan Miska.
Sore itu, Barra langsung menuju gedung perusahaan keluarga Santosa. Begitu memasuki lobi, puluhan pasang mata menoleh ke arahnya. Langkahnya berat namun penuh amarah.
“Andra!” teriaknya lantang begitu melihat pria itu keluar dari lift.
Andra hanya menatap dingin, tangannya memasukkan kunci mobil ke saku jas. Senyum tipis penuh ejekan terlukis di bibirnya.
“Di mana kau sembunyikan istriku?!” suara Barra menggema di lobi, membuat semua karyawan terperangah, bisik-bisik langsung memenuhi ruangan.
Andra terdiam sejenak, lalu tertawa kecil. “Istri? Kau masih berani menyebutnya istrimu, Barra?”
Barra mendengus, wajahnya merah menahan emosi. “Jawab aku, Andra!”
Namun Andra mendekat, suaranya rendah namun menusuk.
“Kalau aku tidak salah dengar … semalam Aluna sudah menandatangani surat cerai yang kau sendiri sodorkan. Jadi, sebutan ‘istri’ itu sudah tidak berlaku lagi untukmu, Tuan Barra.”
Deg!
Kata-kata itu menghantam dada Barra. Napasnya tersengal, kedua tangannya terkepal kuat hingga urat-urat di tangannya menegang.
Andra melanjutkan, “Aku hanya ingin mengingatkan … jangan lagi mencarinya. Karena yang pergi dari hidupmu, tidak akan pernah kembali.”
Cleo yang berdiri di samping Barra menunduk, lalu berbisik lirih.
“Tuan … ada kabar buruk. Nyonya Aluna sudah mencabut semua desain miliknya dari perusahaan Pramudya. Investor dan klien sudah mulai menanyakan salinan desain yang Anda janjikan … Kita dalam masalah besar.”
Mata Barra membelalak, tubuhnya terasa goyah. Ia berdiri di tengah lobi megah itu, dikelilingi tatapan orang-orang, tetapi untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa benar-benar sendirian.
Malam itu, suara telepon berdering panjang di meja kerja Barra. Dengan kepala berat, ia mengangkatnya.
[Barra!] suara kakek Bram terdengar serak namun penuh amarah.
[Apa yang sudah kamu lakukan? Saham Pramudya anjlok! Haryanto menarik semua dananya!]
Barra tercekat, suaranya gemetar. “Kek … aku ... aku tidak tahu soal ini. Aku bisa jelaskan...”
[Jelaskan?!] potong kakeknya keras. [Kamu bahkan tak bisa menjaga keluargamu sendiri! Sekarang satu negara tahu cucu saya bercerai! Surat cerai itu sudah tersebar di media, Barra! Kau tahu apa artinya? Malu! Kau mempermalukan nama Pramudya!]
Barra menelan ludah, tangannya gemetar menggenggam ponsel.
“Aku … aku tidak pernah membocorkan itu, Kek. Aku juga tidak tahu bagaimana bisa tersebar...”
[Cukup!] suara kakek Bram meledak. [Mulai malam ini, aku tak peduli lagi alasanmu. Kau harus bertanggung jawab! Kalau tidak, jangan pernah lagi bawa nama Pramudya di depan saya!]
Telepon terputus begitu saja, meninggalkan Barra linglung, keringat dingin membasahi pelipisnya. Ia menatap kosong ke arah jendela. Dunia yang selama ini kukuh berdiri di bawah kakinya, kini hancur berantakan.
Setelah malam itu, malam selanjutnya tak lagi sama, semuanya berubah, Miska perlahan menjauh, semua keinginannya sudah tercapai. Posisi Aluna di perusahaan telah jadi miliknya, kini dia satu-satunya putri tunggal keluarga Wijaya.
Semoga karma cepat menjemput mu 😡😡😡