NovelToon NovelToon
Melawan Restu

Melawan Restu

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:909
Nilai: 5
Nama Author: Goresan_Pena421

Restu? lagi-lagi restu yang jadi penghalang, cinta beda agama memang sulit untuk di satukan, cinta beda alam juga sulit untuk di mengerti tetapi cinta terhalang restu berhasil membuat kedua belah pihak dilema antara maju atau mundur.

Apa yang akan dipilih oleh Dirga dan Klarisa, karena cinta terhalang restu bukanlah hubungan yang bisa dikatakan baik-baik saja untuk keduanya.

Ikuti kisah mereka didalam novel yang bertajuk "Melawan Restu".

Salam sehat
Happy reading

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Goresan_Pena421, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Masih di Proses oleh semesta

Malam itu, Klarisa tidak bisa tidur. Matanya menatap langit-langit kamar, pikirannya kacau. Kata-kata ancaman yang ia terima masih terngiang, ditambah pertanyaan besar: Jika restu tak kunjung tiba, apakah cinta tetap berjaya? Pertanyaan itu seolah menghantui, seperti pantulan suara dari dasar hatinya sendiri.

Di ruang tamu, Zelo masih terjaga. Ia sibuk menuliskan sesuatu di buku catatannya. Saat Klarisa keluar kamar, adiknya menoleh dengan wajah khawatir.

“Mbak belum tidur lagi?” tanyanya lembut.

Klarisa menghela napas. “Kamu tahu sendiri kan, Dek… aku nggak bisa tenang. Semuanya terasa berat.”

Zelo menutup bukunya, lalu menatap kakaknya dalam-dalam. “Aku tahu ini susah. Tapi kalau Mbak terus-terusan takut, ancaman itu malah berhasil. Kita nggak boleh kalah.”

Klarisa menunduk, matanya berkaca-kaca. “Dek… kalau restu nggak pernah datang, apa aku harus nyerah?”

Pertanyaan itu menusuk hati Zelo. Ia tahu kakaknya begitu mencintai Dirga, tapi ia juga tahu luka yang ditimbulkan penolakan orangtua bisa dalam sekali. Zelo menggenggam tangan Klarisa. “Mbak, restu itu penting, tapi cinta sejati juga penting. Jangan buru-buru menyerah. Kadang waktu yang akan jawab semuanya.”

---

Sementara itu, di rumahnya, Dirga pun gelisah. Ia duduk di teras sambil menatap langit malam yang penuh bintang. Ponselnya tergeletak di meja, dengan layar masih menyala menampilkan pesan dari Klarisa. Pesan itu sederhana: “Aku takut, Kak. Tapi aku percaya kamu.”

Dirga mengusap wajahnya keras. Bagaimana mungkin ia bisa melepaskan perempuan yang percaya padanya? Meski orangtuanya tak berhenti menekankan bahwa restu mereka takkan pernah ada, hatinya menolak menyerah.

Tiba-tiba ayahnya keluar, berdiri di dekatnya. “Masih mikirin Klarisa?” tanyanya dingin.

Dirga menoleh, lalu mengangguk pelan. “Aku nggak bisa lepas, Yah. Aku sayang sama dia.”

Ayahnya menarik napas panjang. “Dirga, cinta itu bukan cuma soal perasaan. Ada doa, ada keberkahan, ada restu orangtua yang nggak bisa kamu abaikan. Kalau kamu tetap keras kepala, jangan salahkan siapa-siapa kalau akhirnya kamu yang hancur.”

Kata-kata itu membuat dada Dirga terasa sesak. Tapi ia berusaha tetap tenang. “Aku ngerti, Yah. Tapi aku juga tahu, kalau aku ninggalin dia, aku yang akan hancur lebih dulu.”

Ayahnya menatap tajam, lalu masuk kembali ke dalam rumah. Dirga menutup wajahnya dengan kedua tangan. Malam itu terasa semakin panjang, seakan bintang-bintang pun ikut menyaksikan perang batin di hatinya.

---

Keesokan harinya, Klarisa dan Dirga sepakat untuk bertemu lagi. Mereka memilih sebuah taman kota yang sepi. Zelo tetap ikut, kali ini duduk di bangku agak jauh, mengawasi dengan cemas.

Klarisa datang dengan wajah letih. “Aku nggak bisa tidur semalaman,” ucapnya lirih.

Dirga menatapnya penuh sayang. “Aku juga, Sayang. Aku… aku terus mikirin kamu, mikirin kita.”

Klarisa menghela napas berat. “Aku nggak kuat kalau ancaman itu beneran jadi kenyataan. Motor Zelo aja udah dirusak. Besok-besok bisa apa lagi?”

Dirga mengatupkan rahangnya. “Aku janji, aku nggak akan biarin kamu terluka. Aku bakal cari tahu siapa yang ngelakuin ini.”

Klarisa menatapnya, air mata jatuh pelan. “Kalau ini memang dari keluargamu, Kak… apa kamu tetap bisa bertahan?”

Pertanyaan itu membuat Dirga tercekat. Ia tahu kemungkinan itu besar. Tapi ia tak ingin mengakuinya di depan Klarisa. “Aku akan bertahan. Aku nggak akan biarin siapa pun, bahkan keluargaku sendiri, ngambil kamu dari aku.”

Klarisa menutup wajahnya dengan kedua tangan. Ia ingin percaya, tapi ketakutan terlalu besar. Dirga menariknya ke dalam pelukan. Di dada laki-laki itu, Klarisa menangis tanpa suara.

---

Hari-hari berikutnya makin berat. Ancaman datang bukan hanya lewat pesan, tapi juga lewat tatapan-tatapan aneh dari orang asing di sekitar mereka. Klarisa mulai sering merasa diawasi.

Zelo semakin waspada. Ia bahkan tak segan menunggu kakaknya pulang setiap malam. “Aku nggak mau ambil risiko, Mbak,” katanya tegas.

Sementara Dirga berusaha mencari tahu siapa dalang semua ini. Ia mendatangi beberapa temannya, mencari informasi. Tapi semua buntu. Nomor yang mengirim ancaman tidak bisa dilacak.

Sampai suatu malam, Dirga menerima pesan lain:

> “Ini peringatan terakhir. Berhenti sebelum kamu kehilangan segalanya.”

Dirga marah, tapi juga takut. Ia memikirkan Klarisa. Jika benar ancaman itu bukan sekadar kata-kata, maka orang yang paling ia cintai bisa dalam bahaya.

---

Suatu sore, Klarisa duduk sendirian di kamarnya. Ia menulis di buku hariannya, sesuatu yang lama tak ia lakukan.

“Cinta ini terlalu berat, Tuhan. Aku ingin menyerah, tapi aku juga ingin bertahan. Jika memang dia jodohku, beri aku kekuatan. Jika bukan, beri aku jalan untuk ikhlas.”

Air matanya menetes membasahi halaman buku itu. Ia tahu, ia tak bisa terus hidup dalam ketakutan. Tapi ia juga tak bisa hidup tanpa Dirga.

Tiba-tiba ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Dirga.

“Kita harus tetap kuat. Aku nggak akan lepasin kamu. Apa pun yang terjadi.”

Klarisa menatap pesan itu lama. Hatinya bimbang. Ia ingin percaya, tapi bayangan ancaman terus menghantui.

---

Hari berikutnya, mereka bertemu lagi. Kali ini di sebuah kafe yang ramai, agar lebih aman. Dirga menatap Klarisa dengan serius.

“Kamu percaya sama aku, kan?” tanyanya.

Klarisa mengangguk pelan. “Aku percaya… tapi aku takut, Kak.”

Dirga menggenggam tangannya. “Takut itu wajar. Tapi jangan biarkan rasa takut mengalahkan cinta. Kita udah sejauh ini. Jangan berhenti sekarang.”

Air mata Klarisa kembali jatuh. “Kalau restu nggak datang, kita harus gimana?”

Dirga menatapnya dengan penuh tekad. “Kalau restu nggak datang sekarang, kita tunggu. Kalau nggak datang juga, kita tetap berdoa. Aku yakin, Tuhan nggak akan biarin cinta tulus jadi sia-sia.”

Kata-kata itu menenangkan hati Klarisa. Ia tahu perjuangan ini belum selesai, tapi ia juga tahu ia tidak sendirian.

Malam itu setelah pertemuan di kafe, Klarisa pulang dengan hati sedikit lebih tenang. Kata-kata Dirga yang penuh keyakinan masih terngiang di telinganya, seakan menyalakan secercah cahaya di tengah kegelapan. Namun, rasa takut tetap ada. Ia sadar ancaman itu bukan sekadar omong kosong.

Sesampainya di rumah, Zelo langsung menyambut. “Mbak, gimana tadi?” tanyanya penuh penasaran.

Klarisa menaruh tasnya, lalu duduk lelah di sofa. “Dia bilang kita harus tetap kuat. Dia percaya kalau Tuhan nggak akan biarin cinta kita sia-sia.”

Zelo mengangguk pelan, lalu menatap kakaknya serius. “Kalau begitu, Mbak juga harus janji buat nggak gampang goyah. Karena aku lihat, setiap kali ada ancaman, Mbak selalu lebih dulu takut. Itu wajar sih… tapi jangan sampai rasa takut bikin Mbak nyerah.”

Klarisa tersenyum getir. “Kamu benar, Dek. Aku harus lebih berani.”

Malam itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Klarisa bisa tidur lebih cepat. Meski masih ada rasa was-was, hatinya lebih ringan.

---

Di sisi lain, Dirga menghabiskan malam dengan duduk di depan laptop. Ia mencoba mencari cara untuk melacak nomor misterius yang mengirim ancaman itu. Beberapa temannya yang bekerja di bidang IT ia hubungi. “Aku harus tahu siapa orangnya. Kalau aku bisa tahu, aku bisa melindungi Klarisa,” gumamnya dengan tatapan penuh tekad.

Namun hasil pencarian nihil. Nomor itu terlalu rapi disamarkan. Justru kecurigaan Dirga makin menguat: Ini pasti orang dekat. Hanya orang yang tahu banyak tentang kita yang bisa sekuat ini membuat tekanan.

Ia menutup laptop dengan keras, lalu menatap langit-langit kamar. “Siapa pun kamu, aku nggak akan biarkan kamu menang.”

---

Keesokan harinya, sebuah kejadian mengejutkan terjadi. Saat Klarisa sedang mengajar di sekolah, seorang murid kecil tiba-tiba menyerahkan secarik kertas padanya.

“Mbak, tadi ada orang titip surat buat Mbak,” kata murid itu polos.

Klarisa menerima dengan hati bergetar. Tangannya gemetar saat membuka lipatan kertas itu. Isinya singkat tapi membuat darahnya dingin:

> “Ini bukan main-main. Jauhi Dirga, atau siap-siap kehilangan sesuatu yang berharga.”

Klarisa hampir pingsan membacanya. Untung salah satu rekannya cepat menangkap perubahan wajahnya. “Klarisa, kamu nggak apa-apa?” tanyanya khawatir.

Klarisa berusaha menenangkan diri. Ia tak ingin orang lain tahu beban yang ia tanggung. Tapi dalam hati, ia sadar ancaman itu makin nyata, makin dekat.

---

Sore harinya, Klarisa menceritakan kejadian itu pada Zelo. Wajah adiknya memerah menahan emosi. “Mbak, ini udah nggak bisa dianggap main-main lagi. Mereka udah mulai nyeret orang lain buat ngirim pesan ke Mbak. Aku harus bener-bener lapor polisi.”

Klarisa menatapnya cemas. “Kalau ternyata ini dari keluarga Kak Dirga, apa nggak makin rumit, Dek?”

Zelo mendengus. “Justru kalau ini dari keluarganya, makin jelas mereka main kotor. Mbak, aku nggak peduli siapa dalangnya. Ancaman ini udah keterlaluan.”

Air mata Klarisa jatuh tanpa sadar. Ia merasa dunia makin sempit, jalan di depannya makin penuh duri. Tapi di balik semua itu, ia tahu ada satu hal yang tetap kokoh: cinta Dirga.

Malam itu, Klarisa menulis lagi di buku hariannya:

“Aku lelah, tapi aku tak mau menyerah. Jika cinta ini ujian, aku hanya bisa berharap Tuhan memberi kami kekuatan untuk melewatinya.”

Di tempat lain, Dirga juga menatap langit malam sambil berbisik dalam doa.

“Ya Tuhan, jangan biarkan aku kehilangan dia. Kalau memang dia yang Kau pilih untukku, tolong kuatkan kami.”

---

🌹 Pantun Jawaban 🌹

Mawar mekar harum semerbak,

meski duri melukai tangan.

Cinta sejati takkan retak,

walau badai datang berulang-ulang.

Restu orangtua bagai cahaya,

meski jauh tetap dirindu.

Cinta dan doa takkan sia-sia,

Tuhan pasti tunjukkan jalan yang satu.

Burung rapuh tetap terbang,

sayapnya lemah tapi berani.

Klarisa dan Dirga takkan tumbang,

cinta sejati akan abadi.

1
TokoFebri
kalau dalam Islam ridho ibu adalah ridho Allah. tapi kalau sudah cinta, biasanya tetap di terjang dengan berdasarkan keyakinan.
Goresan_Pena421: 🙂 kali ini bisa kah begitu ya kak 😭 di real lifenya ga kalah menegangkan soalnya. 😉
total 1 replies
TokoFebri
banyak banget nama panggilannya
Goresan_Pena421: 🙂 nanti ada part dimana beda nama panggilan beda cerita kak.
total 1 replies
TokoFebri
biasaanya sanggup 😢
Goresan_Pena421: 🙂 susah kak nanti ujungnya gini "Kalau kita pacaran udah lama tapi Emang ga bisa, udah ya kita putus aja," 🙂 karena anak laki-laki milik ibunya sampai ia meninggal sementara anak perempuan milik ayahnya sampai ia menikah. 😊
total 1 replies
Amerta
🙏 Terbawa dalam suasana yang tercipta dari tulisan author. 🥹 sayangnya restu tidak bisa di COD ya thor 🤭
SETO ristyo anugrah putra
Bagus, novel nya aku suka kak.
Goresan_Pena421: Terima kasih kak Seto 🙏✨ masih belajar nulis ini kak pemula.
total 1 replies
Nadin Alina
Betul, kalau jodoh pasti akan dipersatukan mau sesulit apapun itu Klarisa
Goresan_Pena421: 🙂 Klarisa masih yakin kalau gelap ga selamanya gelap dek.
total 1 replies
Nadin Alina
Klarisa, panggilan kamu banyak banget. Kayak cintanya Dirga ke kamu...
Eaakk🤭😂
Goresan_Pena421: 😍😍🤣🤣🤭
total 3 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!