Deva, seorang gadis petakilan yang menjadi anggota bodyguard di salah satu perusahaan ternama. Meski tingkahnya sering kali membuat rekannya pusing, namun kinerja Deva tak bisa di ragukan. Pada suatu malam, Deva yang baru selesai bertugas membeli novel best seller yang sudah dia incar sejak lama.
Ketika dia sedang membaca bagian prolog sambil berjalan menuju apartemennya, sebuah peluru melesat tepat mengenai belakang kepalanya dan membuatnya tewas.
Hingga sebuah keajaiban terjadi, Deva membuka mata dan mendapati dirinya menjadi salah satu tokoh antagonis yang akan meninggal di tangan tunangannya sendiri. Akankah kali ini Deva berhasil mengubah takdirnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon eka zeya257, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5
Deva menunjuk ke arah sesosok pria berlumuran cairan merah tua yang tergeletak di lantai, seolah-olah semua itu adalah bukti nyata dari kekacauan yang sedang terjadi.
Tanpa Gallen sadari, ayahnya sedang tertawa kecil mendengar pertengkaran Gallen dan Deva. Sementara Gio masih berusaha memahami situasi yang ada. Kamar Deva memang selalu penuh kejutan, tetapi kali ini kekacauan itu tampak lebih dramatis dari biasanya.
"Kalian semua keluar dulu, biar Daddy yang urus tempat ini," ucap Deon. Ketiga anaknya langsung menurut.
Deon memerintahkan bodyguard untuk membereskan kamar Deva, sekaligus meminta rekaman CCTV mansion itu. Ada rasa janggal di benaknya. Mustahil seseorang bisa lolos dari penjagaan seketat ini, kecuali memang ada orang dalam yang terlibat.
Sambil menunggu kamarnya dibereskan, Deva duduk di sofa, menebak-nebak siapa orang nekat yang berani masuk ke mansion tersebut. Namun rasa kantuk perlahan menguasainya. Dengan malas, dia menghampiri Deon.
"Dad, aku tidur di mana?" tanya Deva sambil mengucek mata.
Deon menoleh, mengusap pucuk kepalanya dengan lembut. "Tidur di kamar abangmu dulu, ya. Daddy belum selesai rapikan kamar kamu, dan kamar tamu kita sedang berantakan belum di bersihkan nanti kamu bisa sakit kalo tidur di sana."
Deva mengangguk lalu berjalan pergi sambil menguap. Dia membuka pintu bercat hitam dan mendapati seorang pemuda duduk di depan meja belajar. Tanpa basa-basi, Deva masuk dan langsung menuju ranjang.
"Ngapain lo di kamar gue?" suara dingin itu keluar dari Gio, kakak keduanya.
Deva menjatuhkan diri ke kasur dengan santai. "Tidur. Kamar gue lagi diberesin. Daddy nyuruh gue tidur sama salah satu dari kalian biar ada yang jagain."
Gio berdiri, wajahnya mengeras. "Siapa yang ngizinin lo masuk kamar gue?"
"Daddy, lah. Masa tetangga?" jawab Deva datar.
Jawaban seenaknya itu langsung menyulut emosi Gio. Dia melangkah cepat, menarik lengan Deva dengan kasar.
"Keluar dari kamar gue sekarang!" desisnya, tatapannya menusuk.
Deva menepis tangan Gio dengan kasar, lalu menatap balik tanpa gentar. "Nggak usah main kasar, Gi. Kalo lo mau protes, sana sama Daddy jangan sama gue."
Senyum miring tersungging di bibir Gio. Dia mendekat, napas panasnya menyapu wajah Deva. Tatapannya liar, seperti predator yang siap memangsa.
"Berani banget lo ngelawan gue? Mau mati, hah?"
Namun Deva justru menatapnya santai, seolah ancaman itu tidak lebih dari angin lalu. "Kalau lo tanya, jelas gue punya mulut buat jawab. Tapi kayaknya lo nggak pernah siap nerima jawaban gue, ya?"
"Gue muak sama omongan lo!" hardik Gio, rahangnya menegang.
"Ya udah, sumpel aja telinga lo. Masalah selesai." Deva mengangkat bahu, acuh tak acuh.
Emosi Gio meledak. Dia mendorong bahu Deva hingga gadis itu membentur pintu. "Kurang ajar! Lo pikir pantas ngomong gitu ke abang lo?"
Deva terkekeh remeh. "Abang? Sejak kapan gue punya abang? Bukannya lo sama Gallen dari dulu nggak pernah anggap gue adik?"
Gio terdiam. Dadanya bergemuruh. Baru kali ini dia melihat sorot mata Deva begitu dingin. Bukan lagi senyum tipis penuh sabar yang biasa dia hina, melainkan tatapan tajam yang menelanjangi luka lama.
"L-lo..." Gio berusaha bicara, tapi suaranya tercekat. Kata-kata seolah membeku di tenggorokan.
Deva menyilangkan tangan di dada, menyeringai tipis. "Kenapa diem? Karena gue bener, kan? Denger, Gi. Satu-satunya orang yang gue anggap keluarga cuma Daddy. Lo? Cuma orang asing yang kebetulan tinggal di atap yang sama dengan gue."
Dia mendorong tubuh Gio menjauh, lalu membuka pintu kamar itu. Sebelum keluar, Deva menoleh sebentar.
"Asal lo tahu... gue juga nggak pernah ada niat buat nganggep lo sebagai saudara gue."
Ucapannya menusuk seperti belati. Gio hanya terdiam, tubuhnya menegang, membiarkan Deva pergi tanpa bisa berkata apa-apa.
'Ada apa dengannya? Kenapa dia terasa... begitu berbeda?' batin Gio, kehilangan arah untuk pertama kalinya.
***
Keesokan harinya, Deva sudah bersiap-siap pergi ke kampus. Dia mengenakan kemeja kotak-kotak, dan kaos oblong berwarna putih sebagai dalaman. Dia meraih ransel berwarna hitam dengan gantungan kunci berbentuk bola basket, di sisi ranselnya.
Deva keluar dari kamar, dan berpapasan dengan Gio. Tanpa berkata sedikit pun, Deva berlalu menuju tangga. Dia malas berdebat pagi-pagi dengan kakaknya itu.
"Pagi, Dad." Sapa Deva begitu tiba di meja makan.
"Pagi, Sayang. Mau sarapan apa?" ujar Dion dengan lembut.
Deva menggeleng, dia menatap Sera yang sudah ada di sana. Dengan sepiring roti dan segelas susu, tanpa menyapa gadis itu Deva menenggak habis susunya dan meraih selembar roti.
"Aku pergi, Dad. Bye." Pamit Deva, tak lupa mencium pipi ayahnya.
Namun, baru satu langkah suara ayahnya kembali membuat Deva berhenti mendadak.
"Dev, kamu berangkat bareng Sera ke kampusnya, ya."
Usulan tersebut langsung mendapat tatapan tidak suka dari Deva, dia menoleh ke arah ayahnya dan menunjukan kunci motor yang dia pegang.
"Nggak bisa, Dad. Aku pake motor, dia bisa bareng Gio atau Gallen, mereka yang bawa mobil."
"Tapi, Sayang..."
"Aku pergi, bye Daddy." Potong Deva, dan berlari menuju garasi tanpa menghiraukan panggilan dari ayahnya yang meminta dia berhenti melangkah.
Setibanya di garasi, Deva segera menghidupkan mesin motornya, suara gemuruhnya mengisi garasi yang sunyi. Dia berusaha mengabaikan rasa bersalah yang menggelayuti hatinya setelah meninggalkan ayahnya tanpa menjawab.
Dia tak ingin menjadi target kemarahan Gio dan Gallen lagi, hanya karena dia memberi tebengan pada Sera. Entah apa alasannya di balik sikap protektif mereka pada Sera, yang jelas jika dirinya berada di dekat gadis itu nasibnya selalu berujung sial.
"Kalo gue mau, pasti nanti dua monyet utan itu nuduh gue yang enggak-enggak lagi." Gerutu Deva.
Dia tahu bahwa Sera selalu menjadi topik perdebatan di rumah, karena baik Gallen mau pun Gio selalu ingin pergi bersamanya, itulah ingatan yang dia dapat dari pemilik tubuh. Dan dia tidak ingin terjebak dalam keributan itu di pagi hari.
Dengan cepat, Deva meluncur keluar dari halaman rumah, merasakan angin pagi yang menyegarkan wajahnya. Jalanan menuju kampus tidak terlalu ramai, dan dia menikmati kebebasan saat mengendarai motor.
Namun, saat mendekati kampus, pikirannya kembali melayang kepada sosok Sera. Gadis itu selalu diam, tak pernah mengeluh meski dalam situasi canggung. Deva merasa sedikit bersalah karena tidak ingin berbagi perjalanan dengan gadis itu, terlebih selama ini Sera belum pernah menunjukan kebencian padanya.
"Kalo dia protagonis, pasti baik, kan?" gumam Deva ragu. "Ya, meski gue nggak tahu aslinya tapi bisa aja dia beda dari novel yang udah sering gue baca."
Meski dia baru mengenal Sera, tapi perasaan waspada selalu muncul di benaknya. Entah itu hanya amarah pemilik tubuh yang masih tertinggal, atau ada kejadian lain yang tak dia ketahui. Namun, perasaan curiga dan kewaspadaannya selalu muncul setiap kali berdekatan dengan Sera.
Sesampainya di kampus, Deva memarkir motornya dan melangkah menuju gedung fakultas. Dia melihat beberapa teman sekelasnya sudah berkumpul di depan pintu, tertawa dan bercanda.
Namun, saat melangkah mendekat, Deva merasakan keraguan. Di kehidupannya yang dulu, dia sudah lulus kuliah pada usia 23 tahun. Dan sekarang usianya baru 20 tahun, dia lahir kembali tiga tahun lebih muda.
"Hey, Deva!"
Suara itu berasal dari arah lorong fakultas bisnis, dia memicingkan kedua matanya untuk mengamati seorang gadis yang sedang melambaikan tangan padanya.
Saat jarak mereka semakin dekat, Deva mengernyitkan dahi. Dia tidak ingat jika memiliki teman seperti itu, belum lagi tidak ada ingatan apa pun yang di berikan pemilik tubuh jika sedang berada di luar rumah.
"Lo siapa?"
Gadis bernama Rora itu menaikan satu alisnya ke atas, "Lah, lo lupa sama gue?"