Hanina Zhang, merupakan putri seorang ulama terkemuka di Xi’an, yang ingin pulang dengan selamat ke keluarganya setelah perjalanan dari Beijing.
Dalam perjalananya takdir mempertemukannya dengan Wang Lei, seorang kriminal dan kaki tangan dua raja mafia.
Hanina tak menyangka sosok pria itu tiba tiba ada disamping tempat duduknya. Tubuhnya gemetar, tak terbiasa dekat dengan pria yang bukan mahramnya. Saat Bus itu berhenti di rest area, Hanina turun, dan tak menyangka akan tertinggal bus tanpa apapun yang di bawa.
Di tengah kebingungannya beberapa orang mengganggunya. Ia pun berlari mencari perlindungan, dan beruntungnya menemui Wang Lei yang berdiri sedang menyesap rokok, ia pun berlindung di balik punggungnya.
Sejak saat itu, takdir mereka terikat: dua jiwa dengan latar belakang yang berbeda, terjebak dalam situasi yang tak pernah mereka bayangkan. Bagaimana perjalanan hidup Dewi Hijab dan iblis jalanan ini selanjutnya?
Jangan skip! Buruan atuh di baca...
Fb/Ig : Pearlysea
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pearlysea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ancaman
Hanina—POV.
Aku menggigit bibir, menatap punggung lebar lelaki yang berjalan di depanku. Mengikuti kemana langkah lelaki jangkung itu pergi.
Aku tidak menduga ketika dia, Wang Lei, begitu mereka memanggilnya, membawaku ke tempat gelap seperti ini. Bau alkohol, asap rokok, dan suara tawa keras mereka menusuk telingaku, membuatku menyesal telah memohon bantuannya. Tapi apa dayaku? Aku benar-benar tidak punya pilihan selain mengikutinya.
Saat pertama kali aku meminta bantuannya, entah mengapa sorot matanya membuatku ingin percaya. Kata-katanya terdengar meyakinkan, seakan menenangkanku yang dilanda ketakutan. Dalam diam, aku hanya bisa menggantungkan harapanku pada Allah, memohon perlindungan agar Dia mengirimkan pertolongan melalui orang yang tepat.
Meski dihantui rasa cemas, di saat yang bersamaan aku juga merasa lega, setidaknya untuk sementara ini. Ia sudah bertarung menyelamatkanku dari para pria cabul, menegaskan siapa aku di hadapan teman-temanya, dan yang paling tidak ku duga dia tidak berpikir membawaku ke penginapan kotor seperti yang kutakutkan.
Aku terus melangkah di belakangnya menyusuri gang setapak yang hanya di sinari beberapa lampu jalan yang redup dan sebagianya berkedap-kedip seperti akan kehabisan daya.
"Kamu lelah Senorita?" tiba tiba suaranya memecah keheningan, tanpa sedikitpun menoleh.
"Ya, sedikit... apa masih jauh?" tanyaku. Kakiku mulai terasa pegal dan tubuhku sedikit gemetar.
"Sebentar lagi." jawabnya, sambil terus memimpin jalan.
Aku hanya menghela napas lelah. Angin berhembus, mengibarkan pashminaku ke belakang. Udara semakin dingin, tanganku lantas bergerak merapatkan mantel.
Hingga akhirnya, langkah Wang Lei mendekati rumah berpagar usang, ia membuka gemboknya dengan kunci, kemudian membuka pagar besi berkarat itu lebar-lebar mengisyaratkan agar aku segera masuk.
Aku menelan ludah. Rumah berlantai dua itu nampak sederhana dengan rumput liar yang memenuhi halaman. Wang Lei menatapku sekilas, sebelum mendorong pintu kayu yang langsung mengeluarkan derit panjang.
"Masuk," perintahnya singkat.
Aku ragu. Aroma lembap dan tanah basah menyergap begitu pintu terbuka. Gelap. Hanya satu lampu kuning temaram yang berkedip di langit-langit ruang tamu. Perabotan seadanya, karpet usang penuh debu. Rumah ini benar-benar suram.
Wang Lei menutup pintu di belakangku begitu aku masuk. Kini, kami hanya berdua, itu membuatku sedikit khawatir. Bagaimana pun juga dalam agamaku dilarang berkhalwat, berdua-duaan dengan yang bukan mahram di tempat tertutup seperti sekarang ini.
"Apa kamu akan tidur di sini juga?" tanyaku.
Pria itu langsung menatap ke arahku, menaikan sebelah alisnya.
"Menurutmu?" Ia terkekeh, tawa rendahnya seolah mengejeku. Mataku terus mengikuti langkahnya bergerak lalu duduk di sofa panjang yang berdebu.
"Aku akan di sini, menjagamu sesuai janjiku." katanya.
"Sampai kapan?"
"Sampai aku punya uang lagi untuk mengantarmu pulang."
Aku terdiam. Kata-katanya menohok. Jadi aku memang terjebak di sini sampai dia mengumpulkan uang? Hatiku mencelos, tetapi wajahnya terlihat serius, tidak ada niatan buruk yang ku lihat.
Aku menunduk, menatap sepatu lusuhku yang basah oleh genangan air di luar tadi. Suara hujan mulai terdengar di atap seng rumah ini, menambah suasana dingin yang mencekam.
"Terima kasih, sudah membantuku sejauh ini, aku berjanji, begitu pulang aku akan mengganti semua uangmu." ujarku, masih berdiri dan memainkan jari, gugup.
Lelaki itu menarik sudut bibirnya, matanya menyipit, lalu berdiri melangkah ke arahku. Mendadak hatiku berdebar cepat saat langkahnya semakin dekat.
Aku mundur hingga punggungku menyentuh dinding. Nafasku tercekat saat Wang Lei berhenti hanya beberapa jengkal di depanku. Salah satu tanganya menumpu tembok dan wajahnya yang tirus menunduk sedikit, menatapku dengan mata gelapnya.
Aku menunduk, gemetar.
"Jangan pernah melakukan kecerobohan seperti ini lagi... Jangan pergi tanpa seseorang menemanimu. Dan jangan berpikir kamu akan tetap aman dengan hijabmu." ujarnya, suara itu setengah berbisik, serak namun tegas, menampar kesadaranku.
Aku mendongak, mata hitamnya menatapku serius. Jantungku masih berpacu tak karuan. Dia benar, mungkin aku ceroboh, tapi yang membuat jantung ini lebih berdebar ialah penampilannya yang urakan, Namun setiap katanya penuh perlindungan. Dia memang seperti ini? Atau dia hanya sedang memanipulasiku?
"Tapi aku ingin tahu, kenapa kamu mempercayaiku untuk melindungimu?" Ia bertanya, membuatku semakin salah tingkah.
Aku menelan ludah, jariku meremas lembut ujung pashmina. "Aku tidak tahu, aku hanya menuruti kata hatiku." jawabku, berusaha tenang.
Suara hujan di luar menjadi latar ketegangan kami, meanambah keras degup jantungku. Wang Lei tak langsung menanggapi, matanya hanya menatapku, dalam dan tajam, lalu kulihat rahangnya mengeras.
Ia menarik napas panjang dan Perlahan, tangannya yang menumpu di dinding turun, memundurkan tubuhnya beberapa langkah.
"Kata hatimu ya? Kamu tipe orang yang sangat mempercayai kata hati..." ujarnya, seraya melipat tangan di dada.
"Tidak. Kata hati tidak selalu benar, terkadang justru ia menyesatkan. Tapi yang aku rasakan saat itu, aku dalam keadaan terdesak dan aku meyakini kata hatiku sebagai petunjuk pertolongan dari Tuhan."
Wang Lei mengerutkan kening, tapi kemudian sudut bibirnya terangkat, seulas senyum tipis yang hampir tak terlihat. Aku menunduk, wajah itu semakin tampan, menggoda hatiku yang lemah ini.
"Baiklah, Senorita... untuk sementara anggap saja rumah ini, rumahmu."
"Dan dengar ini baik-baik!" Dia mengacungkan telunjuk, matanya menyorotku tajam.
"Kamu tidak boleh lapor polisi, tidak boleh pergi tanpa ijinku, dan tidak boleh bertanya pekerjaanku."
Aku mengerutkan kening, apa maksudnya semua perintah itu?
"Kenapa aku tidak boleh lapor polisi?"
"Kamu sudah tahu apa yang terjadi di tempat bosku, mereka bukan orang biasa, dan aku juga. Dunia bawah tanah, dunia gelap... Hanina... kamu telah membawa dirimu sendiri dalam bahaya jika tidak mematuhiku." Dia menyeringai, kata kata tajamnya mengoyak semua kepercayaanku terhadapnya.
"Tapi jangan khawatir, aku tidak akan menyakitimu selama kamu mau bekerjasama dengan baik... Kamu membuatku terjebak dalam situasi seperti ini, jika kamu macam-macam, aku sendiri akan memperkosamu dan menghancurkan hidupmu!"
Mataku terbelalak, mendadak dadaku terasa sesak dan berkeringat dingin, tubuhku gemetar. Tatapan matanya yang tajam dan setiap kata yang di ucapkanya seperti petir yang menyambar tubuhku berkali-kali. Ancaman itu terlalu nyata.
Kini aku baru menyadari aku tak benar-benar aman. Yang ku lakukan ini seperti lari dari serigala tapi bersembunyi di kandang singa.
"Mengerti?" tegasnya, tapi suaranya lebih seperti bisikan.
Aku menunduk dan mengangguk dalam ketakutan yang berkecamuk.
"Aku... aku.. mengerti." suaraku lirih, hampir tak tedengar.
"Bagus... Sekarang istirahatlah, aku akan mengantarmu ke kamar atas."
Lelaki itu lantas melangkah menaiki tangga kayu yang tak jauh dari kami berdiri, ia menoleh ke arahku yang masih mematung dan mengisyaratkan aku untuk mengikutinya.
Dengan langkah gontai, kakiku menapaki anak tangga satu persatu. Sampai tiba di lantai atas, ia membuka satu pintu di ujung lorong sempit. Aroma debu langsung menyeruak, begitu aku masuk. Kulihat ranjang besi dengan kasur tipis di sudut ruangan, selimut usang terlipat di atasnya. Di atas nakas, hanya ada lampu meja kecil dengan cahaya redup.
"Ini kamar pribadimu, kamu terserah mau berbuat apapun, dan aku berjanji tidak akan menganggumu. Fasilitas di rumah ini masih berfungsi dengan baik, termasuk kamar mandi. Tapi kalau kamu tahu ada kerusakan, bilang saja."
Aku menoleh ke belakang, lelaki itu berdiri di ambang pintu dengan wajah datar. Aku mengangguk.
"Terima kasih..."
"Hmm... aku akan tidur di bawah. Pintu kamarmu ini akan kukunci dari luar. Besok pagi kita bicara lagi." katanya, kemudian menarik pintu dan menutupnya.
Dari luar suara kunci berderak lalu perlahan langkahnya terdengar menjauh.