Mason pewaris konglomerat terbesar di Swiss, terjebak dalam dilema ketika kekasihnya, Aimee, sakit parah dan tidak memiliki harapan untuk hidup lama. Di saat yang sama, Mason tanpa sengaja bertemu Chiara, seorang mahasiswi sederhana yang wajahnya mirip dengan Aimee. Putus asa ingin memiliki seorang anak, Mason menawarkan kesepakatan mengejutkan pada Chiara: melahirkan anak untuknya dengan imbalan sejumlah besar uang.
Chiara, yang terjepit oleh keadaan karena ayah angkatnya membutuhkan operasi transplantasi hati dengan biaya selangit, akhirnya menerima tawaran itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Melon Milk, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
1 🩵
Di ruang perawatan khusus Alpenblick Hospital, salah satu rumah sakit terbaik di ibu kota Swiss, suasana hening menyelimuti koridor yang bersih. Dinding-dinding putih bersih memantulkan cahaya lampu LED yang lembut, menciptakan atmosfer steril namun menenangkan.
Di dalam salah satu kamar perawatan VIP, seorang wanita muda terbaring lemah di atas tempat tidur rumah sakit. Kulitnya yang pucat hampir menyatu dengan seprai putih yang menutupi tubuhnya yang kurus. Meski demikian, wajahnya masih memancarkan kecantikan yang mempesona, seolah ia adalah bidadari yang sedang tertidur.
Suara pintu yang terbuka pelan membuat sudut bibir wanita itu terangkat dalam sebuah senyuman tipis. Matanya yang sayu beralih ke arah pintu, dan tampaklah seorang pria tampan berjas rapi melangkah masuk dengan langkah hati-hati.
"Mason, kau datang," ucap wanita itu dengan suara lembut namun terdengar lelah.
Melihat wanita itu hendak bangkit, pria yang dipanggil Mason itu segera menghampiri dengan cepat. Dengan gerakan yang sangat lembut, ia membantu mengangkat tubuh wanita itu agar bisa bersandar dengan nyaman pada sandaran tempat tidur.
Mason Stalder, pewaris tunggal Grup Stalder yang merupakan salah satu konglomerat terbesar di Swiss. Wanita yang terbaring di hadapannya adalah kekasih sekaligus teman masa kecilnya, Aimee Louisa.
"Aimee, aku membawakan sesuatu untukmu," kata Mason sambil duduk di kursi samping tempat tidur.
Aimee menatapnya dengan mata berbinar penasaran. "Apa itu?"
"Bukankah kau selalu berkata ingin tahu seperti apa rupa anak kita kelak?" Mason mengeluarkan sebuah foto dari saku jasnya dan menyerahkannya kepada Aimee. "Aku meminta temanku yang ahli desain grafis untuk membuat simulasi wajah anak berdasarkan penampilan kita berdua."
Setelah menerima foto itu, Aimee menutup mulutnya dengan tangan yang gemetar. Air mata mengalir deras ketika ia melihat wajah bayi yang sangat menggemaskan dalam foto tersebut.
"Ini semua salahku." isak Aimee, suaranya pecah oleh tangisan. "Karena tubuhku yang lemah ini, anak kita harus pergi meninggalkan kita. Semuanya salahku."
Kenangan tentang kehilangan anak mereka yang masih berusia kurang dari tiga bulan karena kondisi tubuh Aimee yang lemah membuat hatinya seakan dicengkeram oleh tangan tak terlihat. Rasa sakit itu begitu dalam, seolah jantungnya akan hancur berkeping-keping.
Setiap tetes air mata Aimee seakan menembus langsung ke hati Mason. Dengan sigap, ia memeluk tubuh ringkih kekasihnya itu, mengusap punggungnya dengan lembut sambil berbisik menenangkan.
"Ini bukan salahmu, sayang. Sama sekali bukan salahmu." Sebenarnya Mason menyesal telah memberikan foto itu. Ia berharap foto tersebut bisa menghibur Aimee, namun justru membuat kesedihannya kembali bergejolak.
Aimee mencengkeram jas Mason dengan erat, meremas kain yang tadinya rapi itu hingga kusut. Karena tangisan, suaranya menjadi serak. "Aku benar-benar ingin tahu seperti apa rupa anak kita... Aku sangat ingin melihatnya..."
Mason semakin erat memeluknya, suaranya selembut angin musim semi. "Tenanglah, kita akan memiliki anak lagi. Aku berjanji."
Setelah berhasil menenangkan Aimee hingga tertidur, Mason berjalan keluar dari kamar perawatan. Di luar, dokter yang menangani Aimee sudah menunggu cukup lama.
"Bagaimana kondisinya akhir-akhir ini?" tanya Mason dengan wajah serius.
"Tuan Mason, kondisi Nona Aimee saat ini stabil. Hasil pemeriksaan medis terbaru juga tidak menunjukkan kelainan yang mengkhawatirkan."
"Lalu..." Mason hendak bertanya sesuatu, namun kata-kata itu seakan tersangkut di tenggorokannya.
Senyuman pahit yang hampir tak terlihat muncul di sudut bibir Mason. Ia tahu betul kondisi tubuh Aimee sudah sedemikian parah, namun masih saja ingin bertanya pada dokter apakah mereka masih mungkin memiliki anak.
"Berapa lama lagi dia bisa bertahan?" Suara Mason terdengar berat, sama seperti ekspresi wajahnya.