Aryani Faizah yang sedang hamil tua mengalami kecelakaan tertabrak mobil hingga bayi yang ia kandung tidak bisa diselamatkan.
Sang suami yang bernama Ahsan bukan menghibur justru menceraikan Aryani Faizah karena dianggap tidak bisa menjaga bayinya. Aryani ditinggalkan begitu saja padahal tidak mempunyai uang untuk membayar rumah sakit.
Datang pria kaya yang bernama Barra bersedia menanggung biaya rumah sakit, bahkan memberi gaji setiap bulan, asalkan Aryani bersedia menjadi ibu susu bagi kedua bayinya yang kembar.
Apakah Aryani akan menerima tawaran tuan Bara? Jika mau, bagaimana kisah selanjutnya? Kita ikuti yuk.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Buna Seta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
Barra membuka pintu kasar hingga membentur tempok. Sorot matanya menyala siap membakar pria dan wanita di dalam ruangan.
"Jadi... Papa yang membuat Mama sakit seperti sekarang?!" Barra bertanya ngegas, melangkah maju mendekati sang papa. Tangan kirinya mencengkeram kemeja, tangan kanan mengepal ingin menonjok. Namun, Barra segera sadar jika pria di hadapannya adalah papanya sendiri.
Papa Barra tidak bisa berkata-kata, ia merasa seperti buronan yang tertangkap basah dan akan diadili, tapi masalahnya jika yang mengadili anak sendiri itu lebih berat.
"Lepas Barra, kamu mau menjadi anak durhaka" ucap wanita yang hanya selisih 5 tahun lebih tua dari Barra, menarik tangan Barra agar melepas cengkraman kemeja.
Barra beralih menatap Wanita berambut ikal, memicingkan mata. "Kamu kan yang merayu Papa saya? Dasar pe**cur!" Barra melepas kemeja papa beralih mencengkeram rambut ikal Chana.
"Mas... tolong aku" Chana merasakan perih di bagian rambut karena dijambak Barra kencang.
Papa Barra sesaat terpaku, berat rasanya ingin membela antara pacar dan anak sendiri. Namun, ia segera berlari ketika Barra mendorong tubuh Chana hingga jatuh terduduk di sofa.
"Lepaskan Barra, atau Papa tampar kamu!" Bentak papa menarik pundak putranya, ketika Barra kalap menarik baju Chana hingga robek dan mengancam akan mengarak keliling kota tanpa pakaian jika tidak mau meninggalkan papa.
"Tampar Pa, ayo tanpar!" Barra balik badan mendekatkan wajahnya ke hadapan papa. Namun, papa justru meninggalkan Barra, melepas jas memberikan kepada Chana untuk menutup anggota badannya yang terekpos keluar.
Melihat kenyataan jika sang papa justru memilih melindungi Chana, Barra keluar dari ruangan membawa dendam yang berkobar.
Melihat ulah papa, Barra menyimpan rapat tidak mau membocorkan masalah perselingkuhan itu kepada mama. Semenjak saat itu, Barra lebih memberi perhatian kepada mama.
Tidak lagi nongkrong di Cafe seperti anak-anak sebayanya, selesai kuliah langsung pulang. Jika sedang kuliah pagi, Barra mempercayakan kepada perawat. Dia memilih membayar perawat yang penting sang mama ada yang mengurus ketika dia kuliah.
Sore hari, dengan hati-hati Barra mengganti baju mama yang sudah dimandikan oleh perawat. Setelah rapi, menyuapi mama yang sudah disiapkan bibi.
"Barra... maafkan Mama yang tidak berdaya ini sayang..." Nadiah merasa mengganggu kebebasan Barra. Seharusnya anak seusia Barra bergaul dengan teman-teman, bukan merawatnya seperti ini.
"Mama harus kuat, dan semangat, Barra yakin, Mama akan cepat sembuh." Barra sedih setiap kali mendengar mama menyerah seperti ini.
Selesai menyuapi Nadiah, Barra termenung di kursi memikirkan nasib keluarganya. Anehnya mama Nadiah tidak pernah menanyakan suaminya walaupun berhari-hari tidak pulang. "Jangan-jangan Mama sudah tahu apa yang dilakukan Papa di luar sana" pikir Barra. Jika mama sudah tahu perselingkuhan itu, penyakit mama semakin parah gara-gara memikirkan papa.
"Awas kamu Chana, jika sampai terjadi apa-apa sama Mama, saya tidak akan memaafkan kamu." Barra geram kala ingat wanita itu.
Tiga bulan kemudian, mama Nadiah sudah nampak segar seperti sembuh, walaupun hanya faktor obat dan vitamin yang dia minum secara rutin seperti yang dianjurkan dokter. Bahkan sudah membantu bibi memasak karena suaminya telepon jika malam nanti akan pulang. Dengan senang hati, Nadiah memasak makanan kesukaan sang suami.
"Mama jangan terlalu capek loh" Barra baru pulang kuliah langsung ke dapur.
"Nggak capek Barra, oh iya, kamu nanti malam tidak ada acara kan..." Nadiah menoleh Barra yang berdiri di sampingnya.
"Nggak kemana-mana kok Ma, memang ada apa?" Barra menatap Nadiah yang sumringah itu tersenyum senang, karena senyum mama yang beberapa waktu menghilang kini telah kembali.
"Papa kamu nanti malam mau pulang" Nadiah bahagia.
Senyum Barra seketika menghilang, andai saja mama tahu apa yang dilakukan sang papa di luar sana.
"Barra, kok kamu tidak senang gitu..."
"Tidak apa-apa Ma, aku ke kamar dulu" Barra pun akhirnya ke kamar.
Malam harinya semua makanan sudah di tata di meja makan. Terdengar pintu diketuk, Nadiah sendiri yang antusias membuka, karena ingin menyambut kedangan sang suami.
"Papa..." Kaki Nadiah terasa lemas, ia kecewa karena papa Barra pulang tidak sendiri. Tetapi bersama selingkuhannya yang sudah Nadiah pergoki beberapa bulan yang lalu di kantor ketika tengah bermesraan. Dengan hati hancur, Nadiah menyilakan sang suami masuk diikuti Chana.
"Syukurlah, kamu sudah sehat, Nadiah." ujar papa Barra, sementara Chana menatap Nadiah tidak suka.
"Alhamdulillah, Pa." Nadiah tersenyum hendak mencium tangan papa, tapi dihalangi tangan Chana yang mendelik ke arah Nadiah.
"Langsung ke meja makan saja Pa." Nadiah tetap menyambut papa Barra dengan baik, tidak mau memperlihatkan luka hatinya di depan Chana.
"Aku sudah makan Ma, sebaiknya kita duduk di sini saja." papa meletakkan bokongnya di sofa ruang tamu seperti tamu saja, padahal datang ke rumah sendiri.
Dengan perasaan kecewa, Nadiah menurut saja apa yang dikatakan papa Barra. Sesak dada Nadiah, ketika papa memilih duduk dengan Chana dibandingkan dia yang sudah menunggu sejak beberapa bulan.
"Nadiah, aku dengan Chana dalam waktu dekat akan menikah, kami datang ke sini hanya ingin minta tanda tangan kamu." Papa Barra menyodorkan kertas.
Dengan hati hancur berantakan, Nadiah menerima surat tersebut. Sebelum membaca, ia tatap papa dan Chana bergantian.
"Cepat lakukan, tunggu apa lagi!" Tandas Chana, ia khawatir Barra keburu pulang, karena jika Barra tahu, putus sudah harapannya untuk bersanding dengan ningrat. Chana pikir Barra saat ini tidak ada di rumah.
"Chana, pelankan suaramu" papa Barra mengingatkan.
"Nadiah, tolong tanda tangan." papa Barra berbicara lembut.
Nadiah pun akhirnya tanda tangan dengan tangan gemetar, air matanya berderai membasahi kertas. Siapa yang rela suaminya diambil wanita lain. Namun, Nadiah sudah pasrah. Disisa hidupnya yang tinggal sedikit, ia mencoba untuk ikhlas. Tetapi tiba-tiba saja dadanya seperti ada yang menyumbat. Dalam hitungan menit kepala Nadiah jatuh di sandaran sofa.
"Nadiah..." papa merengkuh tubuh Nadiah, memanggil kencang. Walaupun bagaimana ia masih mencintai Nadiah. Jika dia ingin menikahi Chana, hanya karena kebutuhan ranjang.
"Mama..." Barra berlari dari arah kamar, dalam keadaan panik dia mendorong tubuh papa, lalu ambil alih mama ke pangkuannya.
"Mama... bangun... yang kuat Mama..." Barra menepuk-nepuk pipi Nadiah, tapi sudah tidak sadarkan diri.
Barra mengangkat kepala menatap papa dan Chana yang hanya berdiri mematung. Pandangannya lalu berpaling ke arah kertas yang masih di atas meja. Dia ambil kertas tersebut, lalu membaca. "Jadi kalian yang membuat Mama aku pingsan! Hah?!" Barra menidurkan mama di sofa perlahan-lahan. Dengan hati panas, Barra berdiri mendekati Chana. Barra tahu, papannya nekat seperti ini karena bujukan wanita iblis itu. Barra mengangkat tangan hendak menghadiahkan tamparan ke wajah Chana yang dipoleh sedemikian rupa.
"Barra... sini Nak"
Barra menurunkan tangan menoleh sang mama yang sudah sadar dan memanggilnya lirih. "Mama..." Barra menopang badan dengan lutut di pinggir sofa samping Nadiah. Dia pegang telapak tangannya lalu mencium lembut.
"Barra... biarkan Papa kamu bahagia dengan wanita lain sayang... Mama sudah tidak bisa lagi memberikan semua itu. Mama tahu, kamu anak baik, tidak akan menggunakan tangan kamu untuk melukai orang lain" Nadiah menasehati putranya dengan kata-kata lirih, dan akhirnya kata-kata itu hilang. Rupanya kata-kata itu terakhir Barra dengar, selang beberapa menit, Nadiah menghembuskan napas terakhir.
"Mamaaa..." Barra menenggelamkan wajahnya di dada Nadiah.
Flashback Off.
...~Bersambung~...
Lilis emaknya Faizah? atau emaknya kembar?