Najwa, siswi baru SMA 1 Tangerang, menghadapi hari pertamanya dengan penuh tekanan. Dari masalah keluarga yang keras hingga bullying di sekolah, dia harus bertahan di tengah hinaan teman-temannya. Meski hidupnya serba kekurangan, Najwa menemukan pelarian dan rasa percaya diri lewat pelajaran favoritnya, matematika. Dengan tekad kuat untuk meraih nilai bagus demi masa depan, dia menapaki hari-hari sulit dengan semangat pantang menyerah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hanafi Diningrat, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bayangan dibalik kemenangan
Sudah tiga hari sejak operasi penggerebekan Organisasi Trafficking berhasil dilakukan, tapi Najwa masih belum bisa tidur nyenyak. Setiap malam dia terbangun dengan keringat dingin, membayangkan wajah Bos Heri yang masih berkeliaran bebas di luar sana.
"Najwa, kamu baik-baik aja?" Kirana bertanya sambil duduk di tepi kasur. "Dari kemarin kamu keliatan gelisah terus."
"Aku baik-baik aja, Kir. Cuma masih shock karena les matematikanya berat banget." Najwa berbohong sambil memeluk guling.
"Les matematika sampai bikin kamu mimpi buruk? Aneh banget."
Najwa cuma tersenyum paksa. Dia tidak bisa cerita yang sebenarnya tentang misi undercover yang baru saja dia jalani. Komnas HAM sudah mengingatkan untuk menjaga kerahasiaan sampai proses hukum selesai.
Pagi itu, Najwa berangkat sekolah dengan perasaan cemas yang luar biasa. Di kelas, dia kesulitan berkonsentrasi karena pikirannya terus melayang pada ancaman Bos Heri.
"Najwa, kamu kenapa sih? Dari tadi bengong terus." Sinta berbisik sambil menyodorkan catatannya.
"Nggak apa-apa, Sin. Cuma capek aja."
"Bohong. Aku kenal kamu dari dulu. Ada masalah apa?"
Najwa menoleh ke kiri kanan untuk memastikan tidak ada yang mendengar. "Sin, kita ketemu sepulang sekolah. Ada yang penting mau aku ceritain."
"Serius? Tentang apa?"
"Nanti aja. Di tempat yang sepi."
Sisa pelajaran hari itu terasa sangat lambat bagi Najwa. Dia terus gelisah dan menoleh ke jendela, takut ada yang mengawasinya dari luar.
"Najwa, kenapa dari tadi ngeliatin jendela terus?" Bu Ratih menegur dari depan kelas.
"Eh, maaf Bu. Aku cuma... mengamati cuaca."
Beberapa teman sekelas tertawa mendengar jawaban aneh Najwa. Tapi Sinta melihat ada ketakutan nyata di mata sahabatnya.
Bel pulang sekolah berbunyi. Najwa dan Sinta langsung membereskan barang dan keluar kelas bersama.
"Sin, ayo kita jalan ke taman dekat stasiun. Di sana sepi, kita bisa ngobrol bebas."
"Oke. Tapi kamu harus cerita semua ya."
Mereka berjalan keluar gerbang sekolah sambil berbincang ringan untuk menyamarkan kecemasan Najwa. Jalanan sore itu cukup ramai dengan siswa-siswa yang pulang sekolah.
"Najwa, kamu keliatan pucat banget. Kamu sakit?" Sinta bertanya sambil memperhatikan wajah sahabatnya.
"Nggak sakit. Cuma... cuma takut, Sin."
"Takut kenapa?"
"Nanti aku cerita kalau udah sampai taman."
Mereka melanjutkan perjalanan menuju taman kecil dekat stasiun yang memang jarang dikunjungi orang. Sepanjang jalan, Najwa terus menoleh ke belakang dengan was-was.
"Najwa, dari tadi kamu noleh-noleh terus. Ada yang ngikutin kita?" Sinta mulai ikut khawatir.
"Nggak tau. Aku cuma paranoid aja kayaknya."
"Paranoid kenapa? Najwa, kamu bener-bener bikin aku khawatir nih."
Tiba-tiba, sebuah van hitam melaju pelan di belakang mereka. Najwa menyadari van itu sudah mengikuti mereka sejak dari sekolah.
"Sin, van hitam di belakang kita. Dia ngikutin kita dari tadi."
Sinta menoleh ke belakang dan melihat van hitam yang memang bergerak dengan kecepatan aneh, terlalu lambat untuk kendaraan normal.
"Najwa, kita cepetan jalan yuk. Aku juga merasa nggak enak."
Mereka mempercepat langkah, tapi van hitam juga ikut mempercepat. Jalanan mulai sepi karena mereka sudah menjauh dari area sekolah.
"Sin, kita lari aja. Aku nggak suka situasi ini."
"Ayo!"
Najwa dan Sinta mulai berlari, tapi van hitam langsung mempercepat dan menyusul mereka. Van berhenti tepat di depan mereka, menghalangi jalan.
Pintu van terbuka dan keluar beberapa pria bermasker. Najwa langsung mengenali cara bergerak mereka.
"SINTA! LARI!" Najwa berteriak sambil menarik tangan sahabatnya.
Tapi sudah terlambat. Para pria itu bergerak dengan koordinasi yang sempurna dan berhasil mengepung mereka dari semua sisi.
"Najwa sayang, lama tidak bertemu." Suara familiar dari dalam van membuat darah Najwa membeku.
Dari dalam van turun sosok yang sangat Najwa kenal. Bos Heri berdiri dengan senyum mengerikan di wajahnya, mengenakan jas hitam yang rapi.
"BOS HERI!" Najwa berteriak sambil mundur, menarik Sinta bersamanya.
"Terkejut? Aku juga senang melihatmu lagi." Bos Heri berjalan mendekat sambil bertepuk tangan pelan. "Permainan yang bagus di training center kemarin. Sangat... menghibur."
"SINTA, LARI! SEKARANG!" Najwa mendorong Sinta ke arah yang berlawanan.
Tapi anak buah Bos Heri sudah bersiap. Mereka menangkap Sinta sebelum dia sempat berlari jauh.
"NAJWA!" Sinta berteriak sambil berusaha melepaskan diri.
"LEPAS DIA! DIA NGGAK ADA HUBUNGAN SAMA KASUS INI!" Najwa berteriak sambil maju ke arah Bos Heri.
"Oh, tapi dia ada hubungan sama kamu. Dan sekarang kamu ada hubungan sama kerugian besar yang kamu buat untuk organisasi kami." Bos Heri menyeringai. "Kamu pikir menghancurkan cabang Indonesia tidak ada konsekuensinya?"
"AKU NGGAK TAKUT SAMA KAMU!"
"Belum. Tapi nanti kamu akan takut." Bos Heri memberikan isyarat kepada anak buahnya.
Dua orang pria langsung maju dan menangkap Najwa meski dia berusaha melawan. Kekuatan mereka jauh lebih besar dari gadis remaja yang sudah kelelahan karena stress.
"TOLONG! ADA YANG MAU NCULIK KAMI!" Najwa berteriak sekeras mungkin, berharap ada yang mendengar.
Tapi jalanan sudah sepi, dan van Bos Heri diparkir di tempat yang strategis, jauh dari pandangan orang.
"Masukkan mereka." Bos Heri memerintahkan dengan tenang.
Najwa dan Sinta diseret masuk ke dalam van. Interior van sudah dimodifikasi khusus untuk "mengangkut" korban, dengan kursi-kursi yang dilengkapi tali pengikat.
"Ikat mereka dengan kencang. Jangan sampai lepas lagi seperti kemarin." Bos Heri masuk ke van terakhir.
Najwa dan Sinta diikat di kursi yang berhadapan. Mata mereka ditutup dengan kain hitam, tapi mulut dibiarkan terbuka.
"Najwa, aku takut." Sinta berbisik dengan suara bergetar.
"Tenang Sin, kita pasti bisa keluar dari ini."
"Keluar?" Bos Heri tertawa mendengar percakapan mereka. "Kali ini tidak akan ada yang bisa menyelamatkan kalian."
Van mulai melaju dengan kecepatan sedang. Najwa mencoba mengingat rute yang dilalui berdasarkan suara dan getaran, tapi jalanan Bogor terlalu banyak dan membingungkan.
"Najwa, kamu tahu betapa besar kerugian yang kamu buat untuk organisasi kami?" Bos Heri mulai bercerita sambil menyalakan cerutu.
"Aku nggak peduli sama kerugian kalian!"
"Tiga puluh orang ditangkap, lima lokasi operasi dibongkar, belasan korban diselamatkan, dan yang paling menyakitkan..." Bos Heri menarik napas dalam dari cerutunya. "Seluruh jaringan trafficking Indonesia hancur."
"BAGUS! KALIAN MEMANG HARUS HANCUR!"
"Oh, tapi kami tidak benar-benar hancur, sayang." Bos Heri tertawa dingin. "Kami masih punya cabang di negara lain. Dan sekarang, mereka sangat tertarik untuk bertemu dengan gadis kecil yang sudah menghancurkan salah satu operasi terbesar kami."
Sinta mulai menangis mendengar penjelasan itu.
"Cabang Kamboja sangat excited untuk mendapatkan kamu, Najwa. Mereka bilang kamu akan dijadikan contoh bagi siapa saja yang berani menentang organisasi kami."
"AKU NGGAK TAKUT!"
"Kita lihat saja nanti." Bos Heri menepuk paha Najwa dengan keras. "Dan sahabat cantik kamu ini... well, dia akan dijual ke pembeli dengan harga tertinggi. Bonus untuk kerugian yang kamu buat."
"JANGAN SENTUH DIA!"
"Sudah terlambat, Najwa. Kalian berdua sekarang adalah milik organisasi kami."
Van terus melaju dalam kegelapaan malam. Najwa bisa mendengar suara Sinta yang menangis dan suara Bos Heri yang sesekali tertawa mengerikan.
"Perjalanan masih panjang. Nikmati saja malam terakhir kalian sebagai orang bebas." Bos Heri berkata sambil membuang abu cerutunya.
Najwa mencoba melepaskan ikatan tangannya, tapi tali yang digunakan sangat kuat dan profesional. Semakin dia berusaha, semakin kencang ikatan itu mencekam pergelangan tangannya.
"Sin, apapun yang terjadi, jangan menyerah." Najwa berbisik ke arah Sinta.
"Najwa... aku minta maaf udah nyeret kamu ke masalah ini."
"Eh, justru aku yang minta maaf udah nyeret kamu."
Bos Heri mendengar percakapan mereka dan menyeringai. "Betapa menyentuhnya persahabatan kalian. Sayang sekali, ini akan menjadi percakapan terakhir kalian sebagai sahabat bebas."
Van hitam terus melaju membawa Najwa dan Sinta menuju takdir yang tidak mereka ketahui. Di kursi paling belakang, Bos Heri duduk sambil tersenyum menyeramkan, menikmati kemenangan yang sudah lama dia tunggu-tunggu.
"Permainan yang sesungguhnya baru saja dimulai." Bos Heri bergumam sambil memandang kedua gadis remaja yang sudah berada dalam kekuasaannya.