NovelToon NovelToon
SUAMI DADAKAN

SUAMI DADAKAN

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / CEO / Cinta setelah menikah / Pengantin Pengganti / Pernikahan Kilat / Bercocok tanam
Popularitas:13.7k
Nilai: 5
Nama Author: my name si phoo

Khanza hanya berniat mengambil cuti untuk menghadiri pernikahan sepupunya di desa. Namun, bosnya, Reza, tiba-tiba bersikeras ikut karena penasaran dengan suasana pernikahan desa. Awalnya Khanza menganggapnya hal biasa, sampai situasi berubah drastis—keluarganya justru memaksa dirinya menikah dengan Reza. Padahal Khanza sudah memiliki kekasih. Khanza meminta Yanuar untuk datang menikahinya, tetapi Yanuar tidak bisa datang.
Terjebak dalam keadaan yang tak pernah ia bayangkan, Khanza harus menerima kenyataan bahwa bos yang sering membuatnya kesal kini resmi menjadi suaminya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 28

Dokter kembali mendekat setelah melihat kondisi psikologis Khanza sedikit mereda.

“Pak Reza, Bu Khanza,” ucapnya pelan namun tegas.

“Saya tahu ini berat. Tapi saya sebagai dokter punya kewajiban memberi tahu. Untuk leukemia seperti ini, kemoterapi harus segera dimulai. Setidaknya agar sel kanker tidak berkembang lebih jauh.”

Wajah Khanza pucat. Ia langsung menggeleng keras.

“Tidak, Dok. Saya tidak mau kemo.”

Dokter menatapnya sabar. “Bu Khanza—”

“Saya bilang saya tidak mau!” bentaknya, suara bergetar.

“Saya sudah lihat bagaimana ayah saya dulu jalani kemoterapi! Rambutnya habis, tubuhnya lemah, muntah tiap hari… saya nggak mau seperti itu…”

Matanya berkaca-kaca, napasnya memburu.

“Saya nggak mau kelihatan lebih sakit dari ini. Saya nggak mau dikasihani!”

Dokter menatap Reza, seakan meminta bantuan.

Reza maju satu langkah, wajahnya tegang.

“Za, ini bukan soal kelihatan kuat atau tidak. Ini soal hidupmu.”

“Aku nggak mau!” Khanza meronta panik.

“Tubuhku tubuhku! Aku yang rasain sakitnya!”

“Tapi aku yang rasain sakitnya kalau kamu nggak ada!”

“Mas nggak berhak maksa aku!”

“Berhak!” suara Reza meninggi. “Aku suami kamu!”

“Aku bukan istrimu lagi!” Khanza membalas dengan suara pecah.

Keheningan besar jatuh di antara keduanya.

Khanza menatapnya dengan mata penuh luka.

“Kamu bukan suamiku lagi, Mas. Jadi kamu nggak berhak ngatur hidupku!”

Kata-kata Khanza menggantung di udara, menampar hati Reza lebih keras dari tamparan mana pun.

Reza terdiam, sorot matanya runtuh. Tubuhnya kaku seolah tak sanggup menerima kenyataan bahwa ia tak lagi memiliki hak untuk menyentuh, apalagi memaksa wanita yang dulu ia panggil istrinya.

Sementara Khanza mulai terisak pelan, lalu pecah menjadi tangis sesenggukan.

Tangannya menutup wajahnya erat, tubuhnya bergetar hebat.

Semua emosi yang ia tahan meledak begitu saja.

“Aku capek terus disuruh kuat. Aku capek harus sakit sendirian. Aku capek harus dengar semua orang nyuruh aku bertahan…” isaknya terbata.

Reza hanya menatap. Ingin mendekat, tapi tertahan oleh kalimat

“Aku bukan istrimu lagi” yang baru saja Khanza ucapkan.

Tiba-tiba pintu ruangan terbuka dan Mama langsung masuk kedalam

“Za, anakku….”

Mama masuk dengan wajah penuh cemas.

Melihat putrinya menangis seperti itu, Mama langsung berlari mendekat. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia memeluk Khanza erat-erat ke dalam dekapannya.

“Khanza, Nak. Mama di sini. Nangis saja, keluarin semua sakit kamu…” bisik Mama sambil mengusap punggungnya lembut.

Khanza tenggelam dalam pelukan ibunya, menangis semakin keras seperti anak kecil yang kehilangan arah.

“Ma, aku takut nggak kuat. Aku nggak mau sakit kaya Ayah dulu…” suaranya parau, hampir tak terdengar.

Mama terus membelainya sabar, menahan air matanya sendiri.

Setelah memastikan Khanza sedikit tenang, Mama menoleh ke belakang, menatap Reza yang masih berdiri kaku.

“Za.”

Reza mengangkat wajah, matanya merah.

Mama menatapnya dalam-dalam, lalu berbicara tegas namun penuh kelembutan.

“Keluar sebentar. Biar Mama yang bicara sama dia.”

Reza ingin membantah, tapi tatapan Mama tidak memberi ruang untuk perdebatan.

Dengan langkah berat, Reza mundur perlahan.

Sebelum keluar, ia berhenti sejenak. Matanya menatap punggung Khanza yang masih dalam pelukan Mamanya.

Mama mengusap pipi Khanza yang basah.

“Nak, sekarang dengarkan Mama. Kalau kamu nggak mau dengar Reza, nggak apa-apa. Tapi tolong dengarkan Mama, ya?”

Khanza menggigit bibirnya, menahan sesenggukan, tapi tidak membalas.

Mama menggenggam wajahnya dengan dua tangan, menatapnya lembut namun serius.

“Kita bicarakan ini baik-baik, Nak.”

Khanza menganggukkan kepalanya pelan. Air mata masih terus jatuh membasahi pipinya.

Mama mengusap rambut panjangnya dengan lembut, mencoba menenangkan.

“Za…” suara Mama bergetar, namun tetap terdengar tegas.

“Mama minta satu hal… tolong ikuti kemoterapi, ya?”

Khanza langsung menggeleng panik, tangannya menggenggam erat baju Mama.

“Aku takut, Ma…” suaranya pecah lagi.

“Aku takut sakitnya, aku takut tubuhku lemah… aku takut rambutku rontok, aku takut Mas Reza makin jijik sama aku…”

Mama langsung menangkup pipi Khanza, menatapnya dalam-dalam.

“Lihat Mama.”

Khanza menatap, meski matanya buram oleh air mata.

“Kamu tau nggak? Mama jauh lebih takut kehilangan kamu, daripada kamu takut sama kemoterapi itu.”

Khanza terdiam. Isakannya masih terdengar, tapi tubuhnya mulai tenang.

Mama menarik napas berat, suaranya bergetar menahan tangis.

“Nak, kalau dulu Ayahmu masih mau dengar Mama dan mau berobat serius, mungkin dia masih ada sekarang. Mama nggak mau ulang kesalahan yang sama. Mama nggak mau diam dan cuma bisa nangis di sampingmu kalau kamu jatuh parah nanti…”

Tangan Mama bergetar saat mengusap pipi Khanza.

“Kalau harus botak, Mama yang botaki rambut Mama pertama kali. Kalau tubuhmu lemah, Mama yang akan gendong kamu. Kalau kamu muntah tiap hari, Mama yang akan bersihin semua. Tapi tolong, Nak. Jangan pergi karena kamu takut.”

Khanza menggigit bibirnya kuat-kuat. Dadanya sesak.

Ia kembali menangis keras, tapi kali ini bukan karena penolakan… melainkan karena hati yang mulai luluh.

“Aku nggak kuat jalanin ini sendirian, Ma…” bisiknya lirih.

Mama langsung merengkuhnya lagi ke dalam pelukan.

“Kamu nggak sendirian. Ada Mama. Ada Allah. Ada orang-orang yang sayang sama kamu, meskipun mereka bikin kamu marah.”

Mama mengecup puncak kepala Khanza.

“Izinkan Mama perjuangkan hidup kamu sama seperti dulu Mama perjuangkan kamu waktu kamu lahir.”

Khanza menutup matanya rapat-rapat, tubuhnya bergetar di pelukan itu.

Mama keluar dari ruang perawatan perlahan sambil mengusap sisa air mata di pipinya.

Wajahnya masih merah, tapi sorot matanya kini lebih tenang.

Di luar, Reza berdiri gelisah, mondar-mandir seperti orang kehilangan arah.

Begitu melihat Mama keluar, ia langsung mendekat.

“Ma, bagimana?” tanyanya lirih, penuh harap.

“Reza, sebelum kamu masuk, Mama mau tanya. Kamu sungguh-sungguh mau kembali sama Khanza?”

Reza mengangguk cepat, tanpa ragu.

“Iya, Ma. Aku mohon restui aku buat nikahi dia lagi. Aku janji kali ini aku nggak bakal sia-siakan dia.”

Mama menarik napas dalam-dalam. Air mata kembali mengambang di pelupuknya, tapi ia mengangguk.

“Kalau kamu memang tulus, buktikan.”

Mama mendorong pintu ruang perawatan dan memberi isyarat.

“Masuklah.”

Reza melangkah masuk perlahan ke dalam ruang perawatan. Langkahnya berat, tapi hatinya sudah mantap.

Khanza duduk bersandar di ranjang, matanya masih sembab.

Ia menoleh ketika mendengar suara pintu terbuka. Sorot matanya langsung berubah kaget, bingung, sekaligus lelah.

Reza mendekat pelan. Tidak banyak bicara. Ia menarik kursi dan duduk tepat di hadapan Khanza.

Beberapa detik hanya keheningan. Napas mereka terdengar. Degup jantung seperti memukul-mukul dada.

Akhirnya, Reza membuka mulut.

“Za…”

Khanza menelan ludah, namun belum menjawab.

Reza menarik napas panjang, lalu bergerak turun dan berlutut di depan Khanza.

Khanza langsung memegang ujung selimutnya erat-erat, jantungnya berdebar tak karuan.

“Mas, ngapain…?” suaranya bergetar.

Reza menatapnya dalam-dalam. Tatapannya bukan lagi tatapan pria yang marah, bukan tatapan bos yang keras, tapi tatapan seseorang yang benar-benar takut kehilangan.

“Za, Mas tahu Mas nggak punya hak lagi. Kamu sudah jelas bilang kamu bukan istri Mas.”

Khanza menunduk, matanya kembali berkaca-kaca.

“Tapi,” lanjut Reza dengan suara bergetar,

“Mulai hari ini, Mas minta izin buat jadi orang itu lagi.”

Khanza mengangkat wajahnya perlahan, air mata jatuh satu per satu.

“Mas yakin…?” suaranya pelan, getir.

“Sebentar lagi aku—”

Belum sempat ia melanjutkan, Reza mengangkat tangannya dan menutup mulut Khanza dengan lembut.

“Jangan lanjutin,” bisiknya pelan namun tegas.“Jangan bilang kalimat itu lagi.”

Ia menurunkan tangannya dan mendekat sedikit.

“Za, aku nggak butuh jawaban tentang sisa waktumu. Aku cuma butuh satu jawaban.”

Reza menatapnya lekat-lekat, lalu mengucapkan perlahan namun mantap:

“Maukah kamu menikah denganku, sekali lagi?”

Khanza terdiam. Air mata jatuh deras tanpa suara. Bibirnya bergetar.

Beberapa detik, ia hanya menutup wajahnya dengan kedua tangannya ,lalu mengangguk kuat-kuat sambil menangis sesenggukan.

Reza mengembuskan napas lega. Ia bangkit sedikit dan menarik tubuh Khanza ke dalam pelukan.

Khanza menangis semakin keras di dada Reza.

Tangannya mencengkeram kemeja Reza seakan takut pria itu akan pergi lagi.

“Aku, iya… aku mau…” isaknya lirih.

Di luar ruangan, tanpa keduanya sadari, Yanuar berdiri bersandar di dinding.

Ia mendengar sebagian percakapan mereka dan langsung tersenyum tipis.

“Jaga dia baik-baik, Za… Sekarang giliran kamu.”

1
Dwi Estuning
lanjut
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!