Istana Nagari, begitulah orang-orang menyebutnya. Sebuah bangunan megah berdiri kokoh di atas perbukitan di desa Munding. Tempat tinggal seorang juragan muda yang kaya raya dan tampan rupawan. Terkenal kejam dan tidak berperasaan.
Nataprawira, juragan Nata begitu masyarakat setempat memanggilnya. Tokoh terhormat yang mereka jadikan sebagai pemimpin desa. Memiliki tiga orang istri cantik jelita yang selalu siap melayaninya.
Kabar yang beredar juragan hanya mencintai istri pertamanya yang lain hanyalah pajangan. Hanya istri pertama juragan yang memiliki anak.
Lalu, di panen ke seratus ladang padinya, juragan Nata menikahi seorang gadis belia. Wulan, seorang gadis yang dijadikan tebusan hutang oleh sang ayah. Memasuki istana sang juragan sebagai istri keempat, mengundang kebencian di dalam diri ketiga istri juragan.
Wulan tidak perlu bersaing untuk mendapatkan cinta sang juragan. Dia hanya ingin hidup damai di dalam istana itu.
Bagaimana Wulan akan menjalani kehidupan di istana itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aisy hilyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
"Argh!"
Ratih mengamuk setibanya di kamar, barang-barang yang dipajang di atas meja semuanya berserakan di bawah. Ia berdiri dengan tubuh gemetaran, kulitnya memerah nyaris menghitam, mata merah menyala dan terus meneteskan air bercampur dengan keringat.
Sungguh membuatnya kehilangan wibawa di hadapan para pelayan. Kesombongan yang selama ini melekat di dalam dirinya, dihancurkan dalam sekejap mata.
"Tenang, Nyai! Tenangkan diri Nyai," ucap seorang abdi lain sembari mengelus punggung Ratih.
Tubuh yang gemetar itu perlahan mereda, kemudian ambruk di kursi. Dadanya kembang kempis memburu udara, mengisi paru-paru yang terasa menyempit. Ratih menghela napas dalam-dalam, membuangnya perlahan. Mengusir emosi yang menguasai jiwa dan membuatnya gila.
"Siapkan sado, saya mau pergi!" titahnya kepada pelayan tersebut.
Tanpa bertanya pelayan itu pun pergi ke halaman belakang kediaman Ratih. Meminta kusir untuk bersiap pergi mengantar sang majikan. Ratih mengganti kebayanya, menutupi kepala menggunakan kerudung tipis panjang yang dikalungkan di leher. Tak lupa membawa beberapa lembar uang yang ia simpan di dalam dompet kulit.
Bersama pelayan tadi, Ratih pergi meninggalkan kediaman. Mungkin untuk beberapa hari ke depan, dia tidak akan kembali.
"Ambu! Ambu mau ke mana?" Seorang anak perempuan berusia sepuluh tahun berlari dan memeluk Ratih.
"Ambu ada urusan keluar dulu. Kamu di sini saja main-main, ya. Nanti Ambu bawakan oleh-oleh," jawab Ratih dengan lembut.
Gadis kecil itu mengangguk patuh, berdiri di lorong melepas kepergian ibunya bersama seorang pengasuh.
"Mau ke mana manusia sombong itu? Jalannya terburu-buru sekali. Apakah ada hal yang sangat genting?" Lastri mengintip dari kediamannya.
Ia tahu ke mana Ratih akan pergi dengan penampilan seperti itu. Bibirnya tersenyum mencibir, sebuah rencana sempurna dan matang telah ia susun dengan baik. Pasti tidak akan gagal.
"Marni, kemari!" panggilnya pada pelayan yang berada di kamar.
Seorang wanita paruh baya menghampiri dengan kepala tertunduk. Tak jauh beda dengan Ratih, Lastri pun sama sombongnya. Semua pelayan harus tunduk kepadanya.
"Ya, Nyai!"
"Kudengar Wulan dan bi Sumi pergi keluar. Apa mereka sudah kembali?" tanya Lastri.
"Setahu saya belum, Nyai. Kereta yang membawa mereka belum terlihat di kediaman," jawab wanita itu masih dengan kepala tertunduk.
"Kalau juragan?" Lastri kembali bertanya.
"Juragan bersama kang Sumar pergi memeriksa kebun teh. Kemungkinan besok baru kembali ke kediaman." Ia sempat melihat kepergian keduanya menggunakan kereta kuda yang lain.
Lastri manggut-manggut mengerti, meminta pelayan lain untuk mendekat dan membisikkan sesuatu.
"Pergi sekarang, jangan tunda lagi!" katanya.
Pelayan itu menganggukkan kepala, seraya pergi dengan membawa sesuatu yang ia sembunyikan di dalam lengan baju.
"Lihat saja, Wulan! Kamu akan tahu sedang bermain-main dengan siapa di istana ini!" kecamnya seraya mengepalkan tangan kuat-kuat.
Sementara di kediaman Ningsih, wanita itu sedang tercenung di dekat jendela. Mengeja setiap kejadian yang ia alami semenjak memasuki istana Nagari itu.
"Siapa sebenarnya Wulan itu? Kenapa dia bisa menarik perhatian juragan? Saya yang sudah hampir lima tahun di sini, sekalipun belum pernah juragan melihat saya. Rasanya sungguh percuma, hanya menyandang status saja tanpa dapat memiliki hatinya," gumam Ningsih.
"Saya harus memikirkan cara agar juragan mau melihat saya." Ia tersenyum, memanggil pelayannya untuk mendekat dan membisikkan sesuatu.
"Pergilah! Kembali sebelum juragan dan Wulan!" titah Ningsih.
Pelayan itu mengangguk dan pergi dari kediaman. Ningsih tersenyum-senyum sendiri, membayangkan rencananya akan berhasil.
"Kali ini harus berhasil!" Ia mengepalkan tangan penuh tekad.
Matanya berbinar terang, ia mendamba juragan sudah sejak lama. Namun, laki-laki itu sulit didekati, jangankan menyentuh melirik saja tidak.
****
"Argh!"
"Wulan!"
giliran bs hidup enak ingin ikutan, ngapain dl kalian siksa