Kodasih perempuan pribumi menjadi gundik Tuan Hendrik Van Der Vliet. Dia hidup bahagia karena dengan menjadi gundik status ekonomi dan sosialnya meningkat. Apalagi dia menjadi gundik kesayangan.
Akan tetapi keadaan berubah setelah Tuan Hendrik Van Der Vliet, ditangkap dan dihukum mati.. Jiwa Tuan Hendrik tidak bisa lepas dari Kodasih yang menjeratnya.
Kodasih ketakutan masih ditambah munculnya Nyonya Wilhelmina isteri sah Tuan Hendrik yang ingin menjual seluruh harta kekayaan Tuan Hendrik
Tak ingin lagi hidup sengsara Kodasih pergi ke dukun yang menawarkan cinta, kekayaan dan hidup abadi namun dengan syarat yang berat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arias Binerkah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 30.
Arjo melanjutkan dengan suara lirih namun tegas,
“Loji itu tetap menjadi milik Nyi Kodasih. Ia boleh menikah lagi, tapi syaratnya hanya dua: menjalani ritual kesunyian atau datang ke rumah Mbah Ranti.”
Tiyem menunduk, suaranya hampir tak terdengar.
“Dan... ritual kesunyian itu sudah gagal.”
“Benar,” potong Arjo, “gagal untuk maksud utama Nyi Kodasih. Tapi tidak sepenuhnya gagal.”
Ia menatap Kang Pono sejenak, lalu melanjutkan,
“Jika Nyi Kodasih tetap ingin melanjutkan niatnya, maka satu-satunya jalan adalah ke rumah Mbah Ranti. Tapi ritual di sana bukan sembarang tirakat. Butuh tumbal darah. Dan bukan darah siapa saja. Harus darah dari orang yang mencintai Nyi Kodasih dengan tulus... atau yang dicintai oleh Nyi Kodasih.”
Semua diam seketika. Lalu Arjo berkata lagi dengan suara lirih,
“Dan saat itu... satu-satunya yang mencintainya dengan tulus, tanpa syarat, hanyalah Kang Pono.”
Pono perlahan mengangkat wajahnya. Wajah keras lelaki yang telah kenyang derita itu tampak rapuh. Suaranya parau, nyaris patah,
“Benar. Aku mencintainya. Bahkan ketika dia memilih menjadi simpanan Tuan Menir, aku tetap menunggu. Aku percaya, suatu hari dia akan kembali ke dusun ini... jadi perempuan biasa. Tapi sekarang... semua sudah berbeda.”
Tiyem menahan napas. Wajahnya berpaling, seolah menyimpan sesuatu di tenggorokannya.
Kang Pono melanjutkan, menatap kosong,
“Tapi aku tak tahu... kalau cintaku akan digunakan sebagai alat untuk menjaga kekuasaannya. Kemarin aku cuma merasa, tiap kali aku berusaha melupakan dia, tiap kali mulai membuka hati pada perempuan lain... tubuhku sakit. Seperti ada yang menahan, mengikat.”
Arjo mengangguk serius.
“Itu karena ikatan antara cinta dan kutukan. Selama hatimu masih tertambat pada Nyi Kodasih, kamu terikat. Tapi kalau kamu mulai mencintai orang lain... kutukan itu akan mencari pengganti.”
Tiyem menoleh perlahan, suaranya gemetar.
“Maksudmu... kalau Kang Pono mencintaiku... aku bisa jadi tumbal selanjutnya?”
Tak seorang pun menjawab. Bahkan angin pun seolah berhenti.
Si Mbok akhirnya bersuara. Lembut, namun dalam dan menggetarkan.
“Gusti Allah ora sare, Le. Cinta yang tulus tidak seharusnya jadi tumbal. Tapi jadi berkah. Kutukan itu bukan dari langit, tapi dari hati yang menolak takdir.”
Ia berdiri, menggenggam tangan Tiyem erat-erat.
“Kalau memang kamu dan Pono saling tulus, jangan takut. Lawan dengan doa. Doa orang yang dizalimi lebih tajam dari keris. Dan kamu, Jo...”
Ia menatap bocah itu dalam-dalam,
“Teruslah jaga dusun ini dengan mata batinmu. Tapi jangan lupa, kamu masih anak-anak. Hatimu juga harus dijaga.”
Arjo tersenyum tipis.
“Aku cuma ingin Yu Tiyem selamat, Mbok. Kalau perlu, aku saja yang jadi tumbalnya...”
“Jangan gegabah, Jo!” potong Pono tegas. “Kamu masih bocah. Ini bukan bebanmu. Kalau ada yang harus menyelesaikan ini... biar aku yang menghadap Nyi Kodasih. Sekali ini saja... biar aku menebus semuanya.”
“Iya Jo,” timpal Tiyem pelan, “Kalau Nyi Kodasih menyimpan rasa pada kamu, bisa-bisa malah kamu yang dijadikan tumbal betulan...”
Di luar sana, angin kembali berembus. Seolah membawa pertanda. Hari memanggil mereka untuk memilih. Cinta, tumbal, dan keberanian kini saling berhadapan.
Mereka masih diam. Masing-masing tenggelam dalam pikiran sendiri. Hingga suara langkah kaki terdengar dari kejauhan. Langkah itu semakin dekat... dan suara yang mereka kenal memanggil.
“Yem... Tiyem...”
Suara Mbok Piyah. Pelan, tapi membuat dada Tiyem dan Si Mbok bergemuruh.
“Mbok... Piyah menyusulku. Apa dia disuruh Nyi Kodasih untuk menjemput aku?” bisik Tiyem dengan suara gemetar.
“Jangan khawatir, Yem. Aku yang akan menghadapi. Aku yang akan datang ke loji.”
Pono berdiri perlahan. Langkahnya berat, namun mantap menuju pintu rumah yang masih tertutup.
Si Mbok memeluk Tiyem erat-erat. Tak ingin kehilangan satu-satunya gadis yang tersisa. Sementara Arjo hanya duduk diam di kursi reyot, matanya tajam mengamati.
Pono membuka pintu kayu bambu itu perlahan.
“Eh... kamu sudah di sini, Pono. Tiyem sudah selamat sampai rumah ya? Syukur alhamdulillah...” ucap Mbok Piyah, nada suaranya terdengar lega.
“Iya Mbok. Tiyem sudah sampai rumah. Dan dia tak akan kembali ke loji,” jawab Pono datar.
“Ya, tidak apa-apa. Tapi tetap harus waspada,” sahut Mbok Piyah, berdiri di ambang pintu.
“Apa Mbok datang karena disuruh Nyi Kodasih menjemput aku?” suara Tiyem masih menyimpan kekhawatiran.
“Ora, Nduk... Awalnya Nyi Kodasih memang murka waktu tahu kamu kabur dari loji. Tapi sekarang... suasana hatinya berubah. Sejak kedatangan tentara Jepang di loji.”
“Lalu... bagaimana, Mbok?” tanya Pono curiga.
Mbok Piyah melangkah masuk, wajahnya tegang.
“Para tentara Jepang... lenyap. Menguap begitu saja di dalam loji. Seperti ditelan asap...”
“Nyi Kodasih memakai sihir lagi...” gumam Tiyem, nyaris tak terdengar.
“Bukan hanya sihir. Arwah Tuan Menir, melindungi Nyi Kodasih, para pelayannya... dan loji itu sendiri,” ujar Mbok Piyah pelan.
Ia menarik napas panjang sebelum melanjutkan,
“Sekarang, aku dan Pak Karto diutus Nyi Kodasih ke rumah orang tua Pardi dan Sanah. Mereka berdua akan dinikahkan di loji. Nyi Kodasih yang akan mantu...” ucap Mbok Piyah, suaranya pelan namun membebani udara.
Suasana seketika berubah.
Pono menegang.
Tiyem membelalak.
Si Mbok mencelos dadanya.
Arjo mengernyit dalam diam.
“Apa... apa yang Mbok bilang barusan?” tanya Pono, nyaris tidak percaya.
“Pardi dan Sanah... dinikahkan di loji?” Tiyem mengulang dengan suara tercekat.
“Iya, Nduk,” jawab Mbok Piyah. “Tadi, Pardi dan Sanah minta izin pada Nyi Kodasih akan pulang untuk menikah. Tapi Nyi Kodasih akan menikahkan mereka di loji. Untuk menunjukkan kalau loji aman dan masih menjadi milik Nyi Kodasih.”
“Apa ada maksud tersembunyi di balik itu, Mbok?” ucap Arjo
Mbok Piyah menunduk sejenak, lalu menjawab dengan nada lambat, seolah memilih tiap kata agar tak salah ucap.
“Aku tidak tahu Jo, tapi aku juga merasa ada yang ganjil... Tapi Nyi Kodasih tidak berkata apa-apa secara langsung.”
Arjo berdiri perlahan dari kursi reyotnya. Suaranya terdengar lebih dewasa dari umurnya.
“Nyi Kodasih sedang membuat panggung. Pasti pernikahan itu... bukan sekadar pesta yang tak ada maksud tertentu selain maksud yang diucapkan oleh Nyi Kodasih...”
Pono menggeleng, wajahnya kaku.
“Pardi dan Sanah... mereka dijadikan tumbal di pesta itu?”
“Bukan,” potong Arjo cepat. “Tumbalnya bukan mereka.”
Semua menatap Arjo.
Pono menarik napas panjang.
“Kalau begitu, Nyi Kodasih sedang menyiapkan sesuatu. Tapi apa... dan untuk siapa?”
Tak ada yang menjawab. Hanya angin yang kembali berembus, membawa aroma tanah basah dari luar gubuk tua..
Tiyem memeluk tubuhnya sendiri, merapat ke Si Mbok.
Semua saling pandang. Tak berani menyimpulkan, tapi masing-masing mulai merasa:
Ada yang jauh lebih besar sedang disiapkan di loji itu... Dan hanya Nyi Kodasih yang tahu..
nahh dag dig duga lah kau tiyemm
ada apa ini yaaa
apa yg terjadi coba
jangan melihat ke cermin
krn yg ada nnti lihat yg bening2 segwr rekk