Sepuluh mahasiswa mengalami kecelakaan dan terjebak di sebuah desa terpencil yang sangat menjunjung tinggi adat dan budaya. Dari sepuluh orang tersebut, empat diantaranya menghilang. Hanya satu orang saja yang ditemukan, namun, ia sudah lupa siapa dirinya. Ia berubah menjadi orang lain. Liar, gila dan aneh. Ternyata, dibalik keramah tambahan penduduk setempat, tersimpan sesuatu yang mengerikan dan tidak wajar.
Di tempat lain, Arimbi selalu mengenakan masker. Ia memiliki alasan tersendiri mengapa masker selalu menutupi hidung dan mulutnya. Jika sampai masker itu dilepas maka, dunia akan mengalami perubahan besar, makhluk-makhluk atau sosok-sosok dari dunia lain akan menyeberang ke dunia manusia, untuk itulah Arimbi harus mencegah agar mereka tidak bisa menyeberang dan harus rela menerima apapun konsekuensinya.
Masker adalah salah satu dari sepuluh kisah mistis yang akan membawa Anda berpetualang melintasi lorong ruang dan waktu. Semoga para pembaca yang budiman terhibur.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eric Leonadus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35 : [ Tersesat ] Di Desa Nakampe Gading - Bagian Ketujuh
“Sring .... Ssrriinngg.... Sssrrriiinnnggg...”
Suara itu terdengar dari halaman belakang, telingaku seperti dimasuki sebilah benda tajam menembus gendang telinga, membuat bulu tengkukku seakan dibelai – belai sesuatu yang dingin dan aneh. Merinding. Suara itu mengganggu sekali, padahal ini masih subuh. Memang, hari ini aku dan Joan berencana untuk menuju ke MAKAM KERAMAT, tapi, ini terlalu pagi untuk berangkat dan aku perlu istirahat untuk mengembalikan tenagaku beberapa jam lagi.
Dengan malas aku bangun, turun dari pembaringan dan berjalan berjingkat – jingkat menuju ke halaman belakang.
“Ssssrrrriiiinnnngggg .....”
Suara itu makin lama, makin terdengar kencang, terlebih saat kaki – kaki ini terhenti di depan pintu bambu yang terbuka sedikit. Aku mendorong pintu itu. Titik api pada sumbu lampu minyak yang sesekali membesar tertiup angin ditambah lagi cahaya lampu minyak tak jauh dari sumur, cukup bagiku untuk melihat suasana di halaman belakang.
Tak jauh dari sumur, ada sebuah meja kayu. Di atasnya banyak sekali pisau – pisau dengan berbagai macam bentuk dan ukuran. Mata pisaunya tampak tajam berkilat – kilat dan Joan duduk pada salah satu sisi meja sambil mengasah sebuah pisau panjang mirip parang. Sekalipun mata pisau sudah tampak tajam berkilat – kilat, Joan masih terus mengasahnya. Ia sepertinya tak mendengar kedatanganku. Tapi ....
“Mengapa kau bangun, Cel ? Kita berangkat setelah adzan... masih beberapa jam lagi,” kata Joan, ia masih terus mengasah.
“Kau sendiri, apa yang akan kauperbuat dengan pisau – pisau itu ?” tanyaku.
“Perbuatan para penduduk desa ini kepada Bianca dan teman – teman ... kejam sekali,” kata Joan sementara sepasang matanya tetap mengamati mata parang yang membuatnya tampak mengerikan.
“Joan, jangan macam – macam. Kita ini Cuma tamu,” kataku, “Istighfar, Jo ... Istighfar. Jangan sampai hatimu dibakar oleh perasaan dendam,”
“Istighfar, katamu ?!!” ujar Joan dengan nada tinggi, sementara parang yang dipegangnya diayunkan ke salah satu sisi meja. Mata pisau menancap dalam sekali, ia benar – benar tampak geram, “Bagaimana dengan mereka itu ? Bukankah kau tahu sendiri, apa yang terjadi di tempat bernama Sendang itu. Bagaimana jika nasib Bianca itu menimpa teman – teman yang lain ? Masihkah kita berpikir tentang Istighfar, ha ?! Tidak. Mereka harus turut merasakan apa yang dirasakan Bianca dan yang lain ? Dan, pisau – pisau inilah yang akan meminta keadilan untuk Bianca dan yang lain,”
“Tapi ... haruskah kita berbuat nekad ?” tanyaku.
“Seandainya mereka tidak mencari masalah dengan kita terlebih dahulu, aku tak akan nekad. Tapi, mereka telah mencari perkara dengan kita, haruskah kita berdiam diri saja ?! Tidak, aku harus menuntut pertanggungan jawab pada mereka. Hutang nyawa dibayar dengan nyawa," tandas Joan sambil mencabut parangnya.
Setelah itu ditatapnya aku dengan tatapan dingin, "Aku melakukan ini demi untuk keselamatan kita semua. Aku tak ingin kalian pun menjadi kebiadaban orang-orang desa terkutuk ini. Nah, jika kau jadi ikut aku berangkat ke Makam Keramat, kembalilah tidur. Aku masih harus mengasah beberapa pisau lagi," katanya.
"Aku takkan memperbolehkan mu berangkat ke Makam Keramat tersebut jika hatimu masih diliputi oleh rasa dendam," sanggahku.
"Pengecut ! Sekalipun kau mencegahku, aku akan tetap pergi !" bentak Joan sambil meraih pisau-pisau yang tertata di meja itu dan memasukkannya ke dalam tas khusus dan hendak melangkah meninggalkan halaman belakang, namun aku menghadangnya.
"Tunggu, Jo..."
Joan menghentikan langkah-langkahnya, ia menatapku tajam sekali, "Minggir, kau, Cel..."
"Jo... Aku tak ingin berdebat ataupun membiarkan kita semua celaka. Tapi, tolong gunakan akal sehatmu,"
Keributan itu membangunkan teman-teman, mereka semua berdiri di ambang pintu sambil menatap kami.
"Jika kau pergi dan celaka .... Siapa yang akan melindungi dan menjaga kami, Joan ?" Yulia berjalan menghampiri, "Diantara kami, kaulah yang paling berpengalaman dalam menghadapi situasi yang genting, seperti sekarang ini. Kami membutuhkanmu, Jo,"
"Kemampuan Taekwondo -mu, sudah terkenal seantero dunia... Kami semua tahu itu. Tapi, kami .... Tidak tahu menahu mengenai taekwondo, pencak silat atau sejenisnya," sambung Bella dengan suara gemetar. Ia masih lemah, wajahnya pucat bak kertas. Luka yang didapat dari Bianca, nyaris merenggut nyawanya.
"Semisal kau pergi sekarang... Jika terjadi apa-apa padamu, bagaimana nasib kami yang diibaratkan domba dikelilingi oleh sekawanan serigala kelaparan ? Apa tidak mungkin jika mereka menjadikan daging kami sebagai lauk pauknya ?" sambung Akhmad.
Pandangan memelas dari teman-teman, tampaknya meluluhkan kekerasan hati Joan, ia terdiam seribu bahasa.
"Sorry, guys... Membuat kalian khawatir. Bianca sudah kuanggap seperti adik sendiri, tidak terima atas apa yang menimpanya juga Pedro, Parto dan Ikbal. Mereka semua bagai keluarga, tapi, harus mengalami nasib naas. Mengapa orang baik selalu terkena musibah ?!" ujar Joan dengan suara gemetar. Dalam hati aku bersyukur, teman-teman bisa melunakkan hatinya yang terbakar dendam. Aku tahu persis, jika ia nekad, ia akan celaka... Terlebih-lebih kami semua.
***
"Mereka yang sudah terluka parah, kritis ataupun meninggal saat kecelakaan itu terjadi, dianggap pembawa malapetaka atau sial oleh penduduk desa ini. Sementara, yang mengalami luka ringan, dianggap sebagai manusia yang lolos dari Kematian. Itulah biasanya yang dijadikan tumbal untuk Angkara Murka. Upacara atau ritual TAPA BRATA, YOGA SAMADHI di desa ini berbeda dengan desa lain. Ritual itu pasti menumbalkan seseorang. Entah itu para pendatang, gadis muda ataupun ibu hamil. Dilakukan saat malam purnama tiba. Karena para gadis muda, ibu hamil dan para pendatang sudah tidak ada, maka, yang dijadikan tumbal adalah hewan ternak. Mbah Buluk khawatir, mereka memperlakukan kalian dengan sangat baik dan ramah bisa jadi kelak kalianlah yang akan dijadikan tumbal seperti yang menimpa teman-teman kalian itu,"
Penjelasan Mbah Buluk tersebut membuat kami ingin segera pergi dari desa ini, tetapi, sebelum itu... Kami harus memastikan apakah yang dikatakan Mbah Buluk, benar adanya. Kalau benar, maka, kami akan membawa serta abu jenazah Pedro, Parto dan Ikbal.
MAKAM KERAMAT, terletak di sebelah Utara desa ini. Selain rerumputan hijau tumbuh menyebar di sepanjang jalan, kanan-kiri berjejer pohon-pohon randu yang berukuran raksasa. Tingginya bahkan mencapai lebih dari 80 meter. Bentuknya pun aneh-aneh. Bagian perut pohon sampai akar penopangnya seperti dibelah-belah menjadi beberapa bagian. Sebagian akarnya tumbuh tak beraturan, melingkar dan menjorok masuk ke dalam tanah... Mirip seekor ular raksasa yang menyembunyikan sebagian badannya ke dalam tanah.
Bentuk pohon yang aneh dan seakan menebarkan hawa aneh itu membuatku dan Joan seakan berada di dunia lain. Tak heran para penduduk menyebut wilayah bagian Utara adalah lokasi yang paling keramat diantara lokasi lain. Terlebih di depan sana, jalanan masih tertutup oleh kabut tebal melayang-layang di udara membawa sisa-sisa udara malam yang dingin dan menyelimuti Nakampe Gading dan sekitarnya. Berbekal senter di tangan, kami menelusuri jalanan berumput hijau itu.
Kami berhenti saat di hadapan kami terdapat sebuah gapura yang terbuat dari susunan batu-batu kali bercat merah darah. 2 janur kuning terikat pada sisi kanan dan kiri gapura itu. Beberapa nampan berisi kembang tujuh warna, secangkir kopi kental berwarna hitam pekat, beberapa makanan tradisional, buah-buahan dan batangan-batangan dupa diletakkan pada sisi kiri gapura. Asap putih tipis bercampur kabut menyebar ke berbagai penjuru mata angin, menebarkan aroma aneh, menggelitik rongga hidung membuat bulu kudukku merinding.
"Jangan sekali-kali kalian memasuki wilayah Utara desa ini, tidak ada apa-apa disana selain makam. Kami menamai daerah itu Makam Keramat, hanya para panatua desa ini yang diijinkan memasukinya,"
Ucapan Pak Sujar itu mendadak terngiang-ngiang di telingaku, membuatku ragu sejenak.
Aku mengalihkan pandanganku ke sekeliling. Jalanan itu hanya rerumputan berwarna hijau, bagaikan permadani. Di depan sana masih berselimutkan kabut tebal, seolah menyembunyikan sesuatu yang tidak boleh sembarangan orang tahu. Hingga sebuah tepukan keras pada bahu kanan membuatku tersentak.
"Hei, apa yang kau lamunkan. Aku sudah memanggilmu dari tadi tapi, kau seakan tidak mendengarnya. Kita sudah sampai di pintu masuk Makam Keramat. Kenapa mendadak kau jadi ragu-ragu, Cel ? Bagaimana ? Dilanjutkan atau tidak ?" tanya Joan.
"Kita sudah sampai di tempat ini, tidak boleh putus di tengah jalan," kataku.
Kami kembali melangkah, jalanan yang kami lalui semakin lama semakin menanjak. Apapun yang terjadi, itulah resiko yang harus kami tanggung demi menyelamatkan teman-teman.
Di tempat ini....
Tak ada satupun rumah penduduk, pohon randu sudah tidak ada lagi digantikan dengan pohon Kamboja. Sejak memasuki pintu masuk, tubuh bagian belakangku mulai terasa panas dan berat. Aku berusaha mengabaikannya. Dalam keadaan seperti itu, perjalanan serasa lama dan panjang sekali.
Aku menghela nafas panjang saat, 5 meter di depan, tampak gundukan-gundukan tanah dengan patok-patok batu nisan terbuat dari marmer. 3 diantaranya dibungkus dengan kain berwarna merah, berukuran lebih kecil, mirip makam bayi dibandingkan dengan ketujuh puluh yang lain. Hatiku terenyuh melihatnya.
"Tak ada waktu untuk berduka, Cel..." hibur Joan, "Ayo, lakukan tugas kita, jangan buang-buang waktu lagi," sambungnya sambil menoleh kesana kemari, memastikan kalau tak ada orang lain lagi di tempat itu, "Gali, ambil dan segera pergi dari sini," ia menurunkan tas punggungnya dan mengeluarkan beberapa alat penggali tanah. Dengan cekatan ia mulai menggali makam itu, akupun membantunya.
"Ooeekk... Oooeeekkk.... Ooooeeeekkkk...."
Suara itu terdengar menggema, seakan memenuhi Makam Keramat dan sekitarnya, aku menghentikan pekerjaanku tetapi, Joan memberi isyarat agar aku mengabaikan suara tersebut.
"Ooeekk... Oooeeekkk.... Ooooeeeekkkk...."
Suara itu makin lama makin keras, terdengar dekat sekali tapi jauh... Jauh tapi dekat, memecahkan konsentrasiku. Joan menatapku dalam-dalam lalu berkata, "Pergunakan logikamu, Cel... Di tengah makam ini tidak ada rumah penduduk satu unit pun, mungkinkah ada bayi disini ? Jangan sampai kau terpengaruh,"
Suara tangis bayi itu terdengar lebih keras lagi dan di sela-sela suara itu terdengar pula suara seperti Geraman harimau. Geraman itu terdengar tepat di belakang kami, menghentikan suara tangis tersebut. Setelah suara bayi itu menghilang, menghilang juga suara Geraman harimau tersebut.
Baik aku dan Joan tercekat, kami mencoba mengabaikannya hingga kami merasakan peralatan kami menyentuh sesuatu. Sebuah guci tertutup kain putih kecoklatan. Kami segera membukanya dan ...
Guci itu menyimpan sebuah abu dan beberapa sisa-sisa tulang belulang.
"Kita sudah menemukannya," kata Joan girang, "Jangan sampai orang-orang tahu bahwa makam ini dibongkar. Kita harus segera merapikannya,"
Pekerjaan kami kembali terhenti manakala mendengar suara harimau menggeram lagi. Aku yang tak bisa menahan rasa penasaran, buru-buru membalikkan badan. Dan....
"Ha.... Ha.... Ha... Harimau Kumbang," kataku terbata-bata, lututku lemas seketika dan jatuh terduduk.
"Besar sekali. Darimana datangnya ?!" seru Joan tak kalah kagetnya.
"Tamatlah riwayat kita," kataku putus asa.
Harimau berwarna hitam itu berdiri sambil memandang tajam ke arah kami, mulutnya menyeringai, memperlihatkan taring-taringnya yang putih dan runcing. Kami tak bisa berbuat apa-apa hanya waspada bersiap menghadapi segala kemungkinan yang ada terlebih saat ia berjalan mendekat.
Joan menarikku ke punggungnya, memasang kuda-kuda guna mempertahankan diri jikalau harimau itu menyerang tiba-tiba.
Di luar dugaan, saat hewan itu berada di dekat kami, ia mengendus guci-guci yang tertutup oleh kain kafan itu satu persatu. Ia menginjak-injak tanah tempat dimana 3 guci itu terkubur dengan kaki-kakinya.
Heran, makam yang kami gali mendadak saja kembali ke asal, seperti saat sebelum kami gali. Harimau kumbang itu duduk sementara sepasang matanya menatap ke arah guci dan perlahan-lahan kepalanya terangkat, berhenti pada tas punggung kami. Aku meraih guci-guci itu dan memasukkannya ke dalam tas. Setelah guci-guci tersebut tersimpan rapi, harimau kumbang itu berdiri. Begitu berada di dekat kami, ia merendahkan tubuhnya. Gerakannya seakan memberi isyarat pada kami untuk naik ke punggungnya. Seumur hidup kami, kami selalu menjaga jarak pada binatang buas terlebih hewan berkaki empat. Itulah sebabnya, tubuh kami gemetar tak keruan manakala ada hewan berkaki empat mengikis jarak dengan kami. Kami ketakutan.
Harimau itu menggeram keras, seakan ia tidak ingin kemauannya kami tolak. Tak dapat dibayangkan bagaimana perasaan kami waktu itu. Kami tak bersuara demikian pula harimau itu, yang terdengar hanyalah detak jantung diatas normal dan nafas memburu.
Sunyi mencekam itulah yang terjadi.
Kesunyian itu pecah oleh suara menggema dari kejauhan... Suara tangis bayi terdengar lagi. Kali ini suaranya bagaikan lolong kesakitan dan sepasang tatap mata harimau kumbang itu kali ini lebih tajam ke arah kami... Ia kembali menggeram saat dari jauh tampak titik-titik hitam aneh mendekat. Harimau itu tampak resah sekali, melihat keraguan kami sementara wujud titik-titik hitam itu makin terlihat dengan jelas. Kami harus segera pergi dari sini.
"Apa boleh buat, Jo... Coba kita naiki saja punggung harimau ini daripada menambah masalah lebih rumit," kataku.
Joan mengangguk setuju, kamipun segera naik ke punggung harimau kumbang itu dengan berbagai macam perasaan bercampur aduk jadi satu, terlebih saat harimau itu berdiri.
Raungan keras menggema, aku meraba leher harimau itu, tanpa sengaja jari-jemariku memegang sesuatu, seperti tali atau kalung... Aku mencengkeramnya kuat-kuat saat harimau itu melompat dan berlari meninggalkan Makam Keramat. Joan memelukku erat-erat pula dan kami melihat pepohonan di kanan-kiri seakan saling berkejaran, begitu cepatnya hingga menyerupai seberkas cahaya. Mata kami terpejam, tak mampu lagi melihat sekeliling. Saat mata kami terbuka, kami sudah tiba di sekitar rumah tempat kami tinggal. Disana sudah banyak orang berdatangan dan dari dalam terdengar suara ribut-ribut.
_____