NovelToon NovelToon
Diam-Diam Mencintaimu

Diam-Diam Mencintaimu

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Fantasi Wanita
Popularitas:372
Nilai: 5
Nama Author: Nildy Santos

Jenia adalah seorang gadis dari keluarga sederhana yang pintar, ceria, sangat cantik dan menggemaskan. namun tiada satupun pria yang dekat dengannya karena status sosialnya di yang di anggap tidak setara dengan mereka. namun selama 6 tahun lamanya dia sangat menyimpan rasa suka yang dalam terhadap seorang pria yang tampan, kaya raya dan mapan sejak mereka duduk di bangku kuliah.. akankah ia akan mendapatkan pria pujaannya itu?? kita akan mengetahuinya setelah membaca novel ini.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nildy Santos, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

episode 19

Bastian memanggil namanya pelan, membuat Jenia menoleh.

Suara itu lembut tapi tegas masih sama seperti dulu.

“Aku tahu alasanmu kembali ke Indonesia bukan hanya untuk bisnis. Kamu ingin memulai hidup baru, kan?”

Jenia menatapnya, mencoba menahan emosi. “Apa itu masalah, Bastian?”

Bastian tersenyum miring. “Tidak. Justru aku… senang kamu kembali.”

Ia mencondongkan tubuh sedikit ke depan. “Aku ingin memperbaiki semuanya, Jen. Aku sadar, selama ini aku terlalu bodoh. Aku kehilanganmu tanpa pernah benar-benar mengenalmu.”

Hening.

Jenia menunduk, kedua tangannya menggenggam ujung meja.

“Bastian…” suaranya bergetar halus. “Kamu tahu betapa beratnya aku melupakan masa lalu itu? Bertahun-tahun aku berusaha untuk berhenti berharap. Dan sekarang kamu datang lagi, seolah waktu lima tahun itu tidak berarti apa-apa.”

Bastian menatapnya dalam. “Justru karena waktu itu, aku baru tahu apa artinya kehilanganmu.”

Beberapa detik berlalu tanpa suara.

Hanya degup jantung yang terasa bergema di antara mereka.

Akhirnya, Jenia berdiri. Ia berjalan ke arah jendela, menatap keluar seolah mencari ketenangan di antara hiruk pikuk kota.

“Aku tidak tahu apakah aku masih punya tempat di hidupmu, Bast. Sekarang semuanya sudah berbeda. Aku bukan Jenia yang dulu.”

Bastian ikut berdiri. “Aku tahu. Dan justru itu yang membuatku semakin ingin mengenalmu lagi.”

Mata mereka bertemu, dan waktu seakan berhenti sesaat.

Setelah Bastian pergi, Jenia duduk diam di ruang kerjanya.

Ia memandangi cangkir kopi di depannya yang sudah dingin, sementara pikirannya berkecamuk.

Apakah ia benar-benar berubah? Atau hanya nostalgia yang membuatnya kembali?

Namun di sudut hatinya, ada sesuatu yang hangat sesuatu yang selama ini ia kira telah mati perlahan… kini mulai berdenyut lagi.

Sejak pertemuan di butik itu, suasana hati Jenia tak lagi sama.

Setiap kali ia menatap meja kerjanya, ia bisa mengingat tatapan Bastian tatapan yang dulu pernah membuatnya jatuh cinta tanpa harapan.

Kini tatapan itu kembali hadir, tapi dengan makna berbeda.

Selama beberapa minggu setelahnya, Bastian terus berusaha mendekati Jenia.

Awalnya lewat urusan pekerjaan: rapat bersama, kolaborasi desain untuk lini pakaian formal, hingga pertemuan dengan sponsor. Tapi perlahan, perhatian kecilnya mulai terasa pribadi.

Setiap pagi, Jenia selalu menemukan bunga segar di mejanya tanpa kartu nama.

Namun ia tahu siapa pengirimnya.

Bastian tidak pernah menyebutkan, tapi tatapan matanya setiap kali mereka bertemu sudah cukup menjelaskan segalanya.

Suatu sore, saat hujan turun deras di luar butik, Jenia masih sibuk menyelesaikan konsep desain baru.

Tiba-tiba pintu butik terbuka, dan Bastian muncul dengan payung hitam di tangannya.

Air hujan masih menetes dari rambutnya, membuat wajah tampannya terlihat semakin tenang namun misterius.

“Kenapa belum pulang?” tanya Bastian lembut, menaruh payung di dekat pintu.

Jenia tidak langsung menjawab. “Masih ada yang harus aku selesaikan.”

Bastian mendekat, lalu meletakkan secangkir kopi di meja.

“Kalau begitu, biar aku temani. Aku juga butuh alasan untuk tidak pulang terlalu cepat,” katanya dengan nada tenang namun penuh arti.

Jenia hanya tersenyum tipis, lalu kembali fokus ke komputernya.

Ia tahu arah pembicaraan ini. Ia tahu, Bastian tidak sedang bicara soal kopi atau kerja.

Hening memenuhi ruangan, hanya suara hujan yang menetes di luar.

Bastian duduk di kursi seberang, memperhatikan Jenia tanpa berusaha menyembunyikan pandangannya.

“Kamu tahu,” ucapnya akhirnya, “aku dulu tidak pernah mengerti kenapa kamu begitu diam di sekitarku. Tapi sekarang aku sadar… mungkin kamu terlalu banyak menahan perasaan sendiri.”

Jenia berhenti mengetik.

Kata-kata itu membuat dadanya sesak sesaat.

Ia menatap Bastian pelan.

“Apa kamu datang untuk menebus masa lalu, Bast? Atau karena kamu tidak terbiasa kehilangan sesuatu yang dulu kamu anggap biasa?”

Bastian menatapnya lama. Wajahnya serius, suaranya dalam.

“Aku datang karena aku tidak mau menyesal untuk kedua kalinya.”

Sejak malam itu, Bastian makin sering hadir di hidup Jenia.

Ia tidak lagi sekadar bos atau kolega tapi seseorang yang mencoba menyusup perlahan ke dalam hari-harinya.

Ia mengantar Jenia pulang, mengingatkan untuk makan, bahkan datang ke acara fashion show milik Jenia hanya untuk duduk di barisan paling belakang, diam tapi penuh perhatian.

Namun Jenia tetap menjaga jarak.

Bukan karena ia tidak merasakan apa-apa, tapi karena ia ingin memastikan apakah cinta kali ini sungguh nyata, atau hanya bayangan masa lalu yang dibungkus penyesalan.

Suatu malam, Leony datang ke butik dan menemukan Jenia termenung di balkon.

“Kamu tahu, Jen… kadang cinta itu datang dua kali. Pertama untuk mengajarkan luka, dan kedua untuk menguji keberanian,” ucap Leony lembut.

Jenia menatap langit malam yang mulai gelap.

“Kalau begitu, mungkin sekarang saatnya aku melihat apakah Bastian datang untuk mengobati, atau untuk melukai lagi.”

Di sisi lain, Bastian berdiri di depan jendela kantornya, menatap foto lama yang baru ia temukan foto organisasi kampus enam tahun lalu.

Di sana, ada Jenia muda, tersenyum malu di barisan belakang.

Bastian menggenggam foto itu erat.

“Kali ini… aku tidak akan membiarkanmu pergi lagi, Jen.”

Acara peluncuran lini busana terbaru Jenia menjadi salah satu event paling bergengsi tahun itu.

Bertempat di ballroom hotel mewah di Jakarta, para tamu penting, investor, influencer, dan jurnalis memenuhi ruangan.

Lampu-lampu kristal berkilau, sorotan kamera berputar, dan musik lembut mengiringi langkah para model yang berjalan anggun di atas catwalk.

Di antara keramaian itu, seseorang menarik perhatian semua orang Bastian , pemilik jaringan mall terbesar di Asia Tenggara, sekaligus pria yang selama ini dikenal dingin dan tak tersentuh oleh gosip asmara.

Namun malam ini, Bastian datang bukan sebagai tamu kehormatan tapi sebagai pendukung diam-diam seorang desainer bernama Jenia Pradipta Prameswari.

Ketika Jenia naik ke panggung untuk memberikan sambutan, sorakan tepuk tangan menggema.

Gaun hitam sederhana yang ia kenakan membuatnya terlihat elegan dan berkelas.

Namun matanya sempat membulat ketika melihat seseorang berdiri di barisan depan Bastian, dengan jas hitam dan ekspresi tenang yang sulit dibaca.

Setelah acara berakhir, media berkerumun di area red carpet.

Dan di sanalah kejadian yang membuat semua orang membicarakannya selama berminggu-minggu terjadi.

Saat salah satu wartawan bertanya,

“Pak Bastian, apakah benar Anda adalah sponsor utama di balik kesuksesan acara malam ini?”

Bastian tersenyum tipis, lalu melirik ke arah Jenia yang berdiri beberapa meter darinya.

“Sponsor utama? Tidak. Aku hanya seseorang yang percaya pada bakat seorang perempuan hebat.”

Semua kamera langsung menyorot ke arah Jenia.

Desainer muda itu hanya bisa membeku, menatap Bastian yang kini melangkah mendekat dengan penuh keyakinan.

“Dan perempuan itu… adalah Jenia Pradipta Prameswari”

Sorak tepuk tangan bergemuruh, sebagian penonton berbisik-bisik.

Sementara Jenia, hanya bisa terdiam jantungnya berdebar cepat, bukan karena sorotan media, tapi karena tatapan tulus pria yang dulu membuatnya menangis diam-diam selama bertahun-tahun.

Malam itu, Jenia berdiri di balkon hotel, mencoba menenangkan diri.

Angin malam berhembus lembut, membawa aroma parfum bunga dari taman di bawah.

Ia masih belum bisa percaya bahwa Bastian mengucapkan kata-kata seperti itu di depan publik.

“Kenapa kamu lakukan itu, Bast?”

suara Jenia bergetar pelan ketika Bastian tiba-tiba muncul dari arah pintu balkon.

Bastian berdiri di hadapannya, tangan di saku jas, wajahnya tenang namun matanya menyimpan sesuatu yang dalam.

“Karena aku sudah terlalu lama bersembunyi di balik alasan bisnis. Aku ingin orang tahu… bahwa aku menghargaimu bukan hanya karena pekerjaanmu, tapi karena dirimu.”

Jenia menunduk. “Orang akan salah paham.”

Bastian tersenyum kecil.

“Biar saja. Mungkin selama ini, aku memang perlu disalahpahami… asalkan kamu tahu yang sebenarnya.”

Suasana hening beberapa saat.

Lalu Bastian menatapnya lebih dalam.

“Aku tidak mau hanya berdiri di antara penonton lagi, Jen. Aku ingin berdiri di sampingmu.”

Kata-kata itu menembus pertahanan hati Jenia yang selama ini ia jaga rapat.

Ia mengalihkan pandangan, menahan air mata yang mulai menggenang.

“Kamu datang terlambat, Bast… terlalu banyak yang sudah berubah.”

“Kalau aku datang terlambat, izinkan aku mengejarmu seumur hidupku,” jawab Bastian lirih.

Dan malam itu, di bawah cahaya kota yang berkilau, Jenia menyadari sesuatu

mungkin cinta yang dulu membuatnya menangis kini datang kembali, bukan untuk melukai,

tapi untuk menyembuhkan.

Namun di sudut pikirannya, ia masih bertanya-tanya:

Apakah ia benar-benar siap membuka pintu hatinya untuk orang yang dulu menjadi alasan ia menutupnya?

1
[donel williams ]
Aku bisa tunggu thor, tapi tolong update secepatnya.
Fathi Raihan
Kece banget!
Celty Sturluson
Ga sabar buat kelanjutannya!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!