Xander tubuh dengan dendam setelah kematian ibunya yang di sebabkan kelalain sang penguasa. Diam-diam ia bertekat untuk menuntut balas, sekaligus melindungi kaum bawah untuk di tindas. Di balik sikap tenangnya, Xander menjalani kehidupan ganda: menjadi penolong bagi mereka yang lemah, sekaligus menyusun langkah untuk menjatuhkan sang penguasa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona Jmn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua Dunia
Dring! Dring!
Xander masih tenggelam dalam mimpi. Suara ponsel yang berdering keras sama sekali tak diindahkan. Baginya, hari libur adalah waktu berharga untuk tidur lebih lama.
Namun, dering itu tak kunjung berhenti, memaksanya membuka mata dengan malas. Tangannya terulur meraih ponsel di atas nakas.
"Hm..." hanya suara deheman yang keluar, tanpa niat mengecek siapa penelponnya.
"Kamu belum bangun, Nak?" suara lembut dari sebrang sana membuat mata Xander terbuka penuh. Sekilas ia menatap layar, dan nama Ibu Arum terpampang jelas.
"Iya, Bu. Ada apa telepon pagi-pagi begini?" tanyanya dengan suara serak.
"Pagi? Ini sudah jam sepuluh, Nak, bukan pagi lagi,'' sahut Ibu Arun sambil terkekeh kecil. Dari kejauhan, terdengar suara Adit, putrnya menggoda:
"Dasar kebo."
Xander spontan menoleh ke jam dinding–jarumnya memang sudah lewat pukul sepuluh.
"Ibu tunggu di rumah, ya. Ibu masak banyak. Tidak ada alasan menolak." ucapan Ibu Arum terdengar tegas, lalu sambungan diputus sepihak.
Xander tersenyum kecil. Tidak ada pilihan lain selain bangkit dan bersiap. Baginya, Ibu Arum bukan hanya Ibu dari sahabatnya–ia sudah menganggapnya seperti Ibu kandung sendiri.
••●••
Lima belas menit kemudian, Xander sudah rapi. Motor sportnya melaju pelan menuju rumah Adit. Dari kejauhan, ia melihat Adit di teras, tengah sibuk memakai sepatu.
"Bu... anak kandung ibu sudah datang," seru Adit dengan nada tinggi.
Xander hanya tersenyum miring. Ibu Arum memang selalu memperlakukan dirinya seperti putra sendiri.
Tak lama, Ibu Arum muncul dari dalam. "Akhirnya kamu datang juga, Xander!" katanya antusias, langsung memeluknya hangat.
"Hm.. hm..." Adit mencibir, pura-pura cemburu.
Ibu Arum melirik sinis pada putranya, lalu kembali menatap Xander. "Cepat makan siang, Nak. Ibu sudah masak banyak untukmu."
"Iya, Bu. Terima kasih," jawab Xander tulus.
Di balik cibirnya, Adit sebenarnya ikut tersenyum. Ia tak keberatan ibunya seperti itu dekat dengan Xander. Baginya, Xander sudah seperti adik sendiri.
"Ibu, masuk dulu ya, Nak. Jangan lupa makan banyak," pesan Ibu Arum sebelum kembali ke dapur.
"Iya, Bu," jawab Xander.
••●••
"Bukannya lo shift malam?" tanya Xander ketika menghampiri Adit.
"Iya, tapi Ibu Rangga sakit. Jadi gue tukeran nanti malam dia yang jaga," jelas Adit sambil menenteng tas kerjanya. "Gue duluan ya, Anak kandung."
Xander hanya tersenyum miring. "Hati-hati di jalan.''
Adit mengangguk lalu pergi dengan motornya.
Xander pun masuk ke rumah—rumah yang sudah ia anggap miliknya sendiri. Di meja makan, berjejer masakan yang menggugah selera.
“Makan, Nak,” kata Ibu Arum yang sibuk mengaduk telur balado di dapur.
“Pesanan banyak ya, Bu?” tanya Xander sambil duduk.
“Iya, catering Ibu sedang ramai.”
“Syukurlah. Xander senang dengarnya,” jawabnya, lalu menyantap masakan dengan lahap. “Masakan Ibu memang selalu paling enak.”
Ibu Arum hanya terkekeh kecil. Ia melanjutkan pekerjaannya, sementara Xander membereskan piring kotornya.
“Ibu nggak ada rencana cari pekerja?” tanya Xander, menyarankan.
“Belum, Nak. Selama masih kuat, biar Ibu urus sendiri.”
Saat itu, wajahnya berubah sedikit gusar. “Aduh, habis lagi...”
“Apa yang habis, Bu?”
“Bumbu-bumbu. Padahal masakan belum selesai.”
“Sini, biar Xander belikan di pasar,” tawar Xander sigap.
“Tidak merepotkan?”
“Tidak, Bu. Santai saja.”
Ibu Arum pun menuliskan daftar belanja, lalu memberikannya. “Ini, Nak. Seperti biasa di toko langganan, ya.”
“Iya, Bu.”
Xander segera meluncur ke pasar. Hanya butuh lima menit hingga ia tiba. Setelah membeli semua bumbu, ia hendak kembali, tapi tiba-tiba pasar mendadak riuh. Orang-orang berlarian ke arah gang dekat tempat sampah.
Xander menahan langkah, lalu bertanya pada seorang pria paruh baya yang ikut berlari.
“Pak, ada apa?”
“Di dekat tong sampah... ada wanita tua ditemukan ditusuk seseorang!” jawab pria itu tergesa, lalu kembali berlari.
Xander berdiri terpaku. Tatapannya langsung menajam, sorot matanya berubah dingin.