Kisah seorang gadis bernama Kanaya, yang baru mengetahui jika dirinya bukanlah anak kandung di keluarga nya saat umurnya yang ke- 13 tahun, kehadiran Aria-- sang anak kandung telah memporak-porandakan segalanya yang ia anggap rumah. Bisakah ia mendapatkan kebahagiaannya kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jeju Oranye, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BUK- 35 : Kanaya dijemput
Areksa tak memperdulikan lagi Aria yang pergi, fokusnya hanya kepada Kanaya, sementara Rayyan, Javier dan Jendra juga pergi dari sana dengan dengusan dingin.
"Cobalah beberapa dulu, setelah itu kasih tau abang. Abang akan menunggu di sini. "
Kanaya merasa sedikit sungkan, namun akhirnya ia hanya mengangguk. Para pelayan tokoh melayaninya dengan baik dan profesional. Tidak hanya membawa kaca besar mereka juga membuat ruang ganti dadakan untuk bisa Kanaya menjajal baju dengan nyaman.
Tak butuh waktu lama untuk Kanaya menentukan baju pilihannya, Areksa beberapa kali memberikan saran dan Kanaya menerimanya.
Lima set baju sudah Kanaya pilih salah satunya adalah pilihan Areksa untuk nya. "Kak, sudah, " kata Kanaya.
Areksa bangkit. "Sudah ya?" lalu menatap manager butik.
"Berapa yang adik saya pilih? "
"Lima set, tuan. Tiga gaun dan dua setelan. "
Areksa manggut-manggut, membenamkan tangan di saku celananya. "Ya sudah, sisanya bungkus saja. Saya borong semua..." ucapnya santai seolah tanpa beban.
Kanaya sontak menoleh padanya dengan wajah tercengang. "Kak?... "
Sementara sang manager butik yang tentu merasa untung memasang wajah sumringah. "Baik tuan! " ia menjabat tangan areksa. "Terimakasih tuan, senang bekerja sama dengan anda. "
Areksa mengangguk. Mereka melakukan transaksi pembayaran secara digital, di sisi lain Kanaya masih tak percaya kakaknya benar-benar memborong semua baju di tokoh itu. "
"Anggap ini hadiah dari kakak ya, harus kamu terima, " kata Areksa menoleh dan tersenyum pada sang adik. Memperlihatkan ruang tengah mereka yang kini di penuhi oleh puluhan tas belanja.
Kanaya masih tercengang. "Tapi ini terlalu banyak kak.. jadi boros. "
Wajah areksa langsung berubah, seketika ia berubah menjadi sedikit kesal bukan pada Kanaya tapi dirinya sendiri. Dulu, ia tak pernah mengatakan tidak pada apapun yang diinginkan Aria, tak pernah segan untuk menggelontorkan uang puluhan juta untuk memenuhi semua yang diinginkan Aria namun ia lupa untuk memanjakan Kanaya dengan hal yang serupa.
Menyadari sikap pilih kasihnya ada sejak dulu membuat areksa marah dengan dirinya sendiri, itu sebabnya ia ingin menebusnya.
"Abang tahu, ini mungkin tidak sebanding dengan semua yang sudah kamu alami. Tapi Abang ingin kamu tahu, kamu pantas mendapatkan semua ini, " katanya pada Kanaya dengan menatap adiknya itu, begitu serius dengan ucapannya setelah beberapa saat merenungkan diri.
Kanaya merasa terenyuh, hatinya terasa menghangat dan hangatnya seolah menjalar ke seluruh hatinya.
"Terimakasih bang. "
Areksa kembali tersenyum, mengacak rambut Kanaya, sekilas. "Sama-sama."
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Sementara itu hingga malam, Aria sama sekali tak keluar dari kamar nya. Sebelumnya mulai dari Rayyan, Javier hingga terakhir jendra mencoba untuk mengetuk pintunya dan mengajaknya keluar namun alasan yang di utarakan Aria tetap sama, ia tak ingin menemui siapa- siapa dulu.
"Ini pasti semua karena si anak pungut! " cibir Rayyan dengan decakkan sinis.
"Iyah gegara Aria yang salah mengira namun kak Reksa membela si anak pungut itu sampai segitunya, " timpal Rayyan.
"Ini tak bisa di biarkan, atau Aria akan terus mengurung dirinya dan tak ingin makan... "
Namun mereka tak ada yang menyahut, hanya diam saling melirik dengan berbagai pikiran yang mencokol di kepala masing-masing.
Malam itu meja makan lagi- lagi terasa sepi. Lagi-lagi kursi Aria kosong membuat sang kepala keluarga menatap ke empat anak- anaknya.
"Di mana Aria? "
"Di kamar nya, pah. " sahut Jendra, pendek.
Wajah tuan areksa mengeras. "Kali ini apa lagi alasannya tidak ikut makan malam? padahal hanya makan malam ini kita bisa berkumpul bersama karena biasanya papa sibuk. Kenapa lagi adik mu itu? "
Namun tak ada satupun dari putranya yang menjawab pertanyaannya itu, nyonya tania pun memilih tak membuka suara. Sedikit kesal, tuan abiyasa melirik ke arah Bi Aty, pelayan yang paling dekat dengan Aria.
"Bi Aty," panggil Tuan Abiyasa. "Tolong panggilkan Aria, suruh dia makan."
Bi Aty, yang memang memihak Aria, berjalan ke kamar gadis itu dan kembali beberapa menit kemudian dengan wajah dibuat cemas.
"Maaf, Tuan. Nona Aria tidak mau makan. Wajahnya pucat sekali, dia bilang perutnya sakit," lapor Bi Aty, melebih-lebihkan keadaan Aria.
Nyonya Tania langsung panik. "Aria sakit? Ya Tuhan, kenapa dia bisa begitu? apa yang terjadi padanya sebelum nya? "
Rayyan, Javier, dan Jendra kompak melayangkan tatapan tajam ke arah Areksa.
"Gara-gara Kak Reksa, sih," gerutu Jendra. "Pasti Aria sedih karena kejadian tadi siang. "
"Kak Reksa keterlaluan," tambah Javier. "Seharusnya Kakak tahu Aria itu sensitif."
Rayyan menghela napas, "Nggak usah dibikin rumit, deh. Sa, sana bujuk Aria. Kamu satu-satunya orang yang bisa bikin dia mau makan."
Saat itulah, Kanaya lewat. Ia hendak ke dapur untuk mengambil makan malamnya sendiri. Langkahnya terhenti saat ia mendengar namanya disebut.
"Dan Kanaya," Rayyan melanjutkan, suaranya terdengar sinis. "Seharusnya kamu juga sadar diri. Kalau Aria tidak ada, kamu tidak akan pernah bisa mendapatkan perhatian dari Areksa!"
"Cukup!" suara Areksa terdengar dingin dan tajam. "Kanaya tidak bersalah. Dia bahkan tidak ada di sini saat kita membahasnya!"
Rayyan mendengus. "Ya, tapi dia penyebabnya. Kalau saja dia tidak..."
"Berhenti, Rayyan," potong Areksa. "Kamu tahu aku tidak suka kalau kamu menyalahkan Kanaya."
Rayyan menatap Areksa tajam, tetapi tidak melanjutkan. Ia tahu, Areksa tidak main-main.
"Sudah, sudah," Nyonya Tania menengahi. "Yang penting sekarang Aria mau makan. Rayyan benar, Areksa. Pergi bujuk adikmu."
Areksa menatap Kanaya sekilas, lalu beranjak dari kursinya. Di kamar Aria, Areksa mengetuk pintu. Aria yang mendengar suara Areksa langsung menangis kencang. "Pergi! Aku benci Kakak!"
"Aria buka pintunya, kakak minta maaf. " Bujuk Areksa. "Kamu harus makan. "
Setelah berdebat cukup lama, akhirnya Aria membuka pintu. Matanya sembab, wajahnya masih memerah karena marah, tapi ia berusaha memasang wajah paling menyedihkan.
"Aku cuma mau makan kalau Kakak yang suapi," kata Aria dengan nada manja. "Aku nggak mau sama yang lain."
Areksa menghela napas. "Baiklah. Ayo makan."
Aria tersenyum penuh kemenangan. Ia keluar dari kamarnya dan berjalan ke ruang makan bersama Areksa dengan wajah yang sudah kembali sumringah. Saat melewati Kanaya yang hendak ke kamarnya sendiri, Aria sengaja melirik dan tersenyum sinis, seolah berkata, "Lihat? gue tetap yang paling penting buat keluarga ini. "
Namun Kanaya hanya menatap nya datar dan tidak perduli.
...----------------...
Keesokan paginya saat hendak berangkat ke sekolah, Kanaya sudah bersiap awal sekali. Hari ini dia begitu bersemangat karena latihan nya untuk lomba akan di mulai hari ini dan berlangsung sampai seminggu hingga perlombaan nya nanti di minggu depan.
Dan lebih bahagia nya lagi, butik L'vouge sudah membalas dm nya dan meminta nya untuk bertemu dengan nya di sebuah cafe yang ternyata dekat dengan sekolahnya. Dua peluang sudah datang dan meminta nya, Kanaya tidak akan menyia- nyiakan kesempatan besar ini.
Di halaman rumah, Kanaya sudah bersiap dengan sepeda pemberian mbak Ratmi.
Sebenarnya Areksa ingin mengantar nya, tapi ternyata kakaknya itu memiliki tugas dari kantor yang harus ia selesai kan segera dan Kanaya tidak ingin menuntutnya.
Di depan sana, Rayyan, Javier dan Aria berada di mobil seolah tengah mengejeknya, Jendra pun di atas motornya melewati dengan tersenyum sinis bersama santi yang dia bonceng.
Namun Kanaya tak peduli, dia tetap fokus kepadanya.
Hingga di depan gerbang, Kanaya terkejut saat melihat sebuah motor besar berwarna hitam mengkilat tiba- tiba sudah ada di depan nya.
Dan lebih kaget lagi saat siapa penumpang motor itu. Seorang pemuda berperawakan tinggi memakai seragam SMA dengan tas yang di sampirkan ke punggung.
Tanpa melihat wajahnya yang memakai helm fullface itu, Kanaya sudah bisa menebak siapa pengendara itu.
Sang pemuda membuka kaca helmnya. "Hello partner-- oh enggak, ralat... "
"Hello Kanaya partner, pagi ini gue dateng buat jemput lo. "
Dengan gaya petantang petenteng yang sangat Kanaya hafal.
****
penasaran rahasia besar ayah ny.. wkwk
semoga kebahagiaan menyertai mu nay