Calista Blair kehilangan seluruh keluarganya saat hari ulang tahunnya ke-10. Setelah keluarganya pergi, ia bergabung dengan pembunuh bayaran. Tak berhenti di situ, Calista masih menyimpan dendam pada pembantai keluarganya, Alister Valdemar. Gadis itu bertekat untuk membunuh Alister dengan tangannya untuk membalaskan dendam kematian keluarganya.
Suatu saat kesempatan datang padanya, ia diadopsi oleh Marquess Everhart untuk menggantikan putrinya yang sudah meninggal menikah dengan Duke Alister Valdemar, sekaligus sebagai mata-mata musuhnya itu. Dengan identitasnya yang baru sebagai Ravenna Sanchez, ia berhasil menikah dengan Alister sekaligus untuk membalas dendam pada pria yang sudah membantai keluarganya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fatayaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kehilangan
Malam yang dingin tengah menyelimuti kekaisaran Calestria. Di suatu daerah, jauh dari hiruk pikuk ibu kota, sebuah kediaman tengah mengadakan pesta sederhana, walaupun tak begitu mewah, namun suasana terasa begitu hangat dengan kebersamaan keluarga.
Gadis muda bersurai silver itu menatap dengan bersemangat kue ulang tahun yang terletak di atas meja di depannya. Kue bertingkat dua dengan krim merah muda dan putih itu tidak terlalu mewah, namun tidak juga bisa dibilang sederhana.
Gadis muda yang biasa di panggil Calista itu tersenyum lebar saat ia akan memotong kue ulang tahunnya yang ke-10. Ia kemudian memberikan kue pertama itu pada ibunya, kemudian tak lupa pada ayah dan kakak laki-lakinya.
Tak seperti tahun-tahun sebelumnya yang diadakan dengan mewah, Di ulang tahunnya yang ke-10 ini, Calista sendiri yang meminta agar perayaan ulang tahunnya diadakan dengan sederhana, hanya dihadiri keluarganya.
Axel, kakak laki-laki Calista yang terpaut 5 tahun diatasnya memberikan sebuah kotak hadiah berukuran kecil warna putih dengan pita pink diatasnya “Tupai kecil, ini hadiah dari kakak, kau bisa membukanya!”
Calista mengerucutkan bibir mendengar panggilan aneh untuknya, “Berhenti memanggilku seperti itu!” ucapnya kesal.
“Apa kau tidak suka panggilan itu?” Axel memutar bola matanya seraya berfikir sejenak, “Bagaimana kalau musang, sepertinya itu lebih cocok untuk mu, hewan itu juga suka mencuri buah,” ucap Axel sembari tertawa renyah. Bukan tanpa alasan Axel memanggilnya seperti itu, karena walaupun seorang perempuan, Calista sangat gemar memanjat pohon untuk memetik buah di sekitar kediaman, walaupun sudah dilarang dan beberapa kali jatuh pun, gadis itu tak pernah jera.
“Axel, berhenti mengejek adik mu!” peringat Count Blair, ayahnya, membuat Axel seketika berhenti tertawa.
“sudah-sudah, biarkan Calista membuka hadiahnya,” ucap sang ibu menjadi penengah.
Calista mulai membuka hadiah yang kakaknya berikan. Sebuah pin rambut bunga azalea, namun yang membuat aksesori itu unik adalah ujung pinnya yang tajam, seolah di buat khusus sebagai senjata perlindungan.
“Bagaimana, cantik bukan? Aku memesan desain khusus agar ujungnya dibuat runcing. Kalau suatu saat nanti seseorang mau mencelakaimu, kau bisa menggunakan itu untuk mempertahankan diri,” ujar pemuda berambut pirang itu tersenyum lebar.
Calista memandangi hadiah kakaknya itu dengan senyuman, “Ini sangat cantik, terima kasih kak.”
Setelah pesta selesai, Calista bersiap untuk tidur di kamarnya. Gadis itu tak segera tidur. Ia masih mencoba hadiah yang kakaknya berikan, juga sebuah gaun dan boneka, hadiah dari orang tuanya. Ia dengan senangnya menatap cermin sembari memakai pin rambut itu, juga gaun baru yang orang tuanya berikan. Gadis itu mulai menguap beberapa kali, ia pun melepaskan gaunnya dan membereskan untuk kemudian beranjak tidur.
“Calista, Calista. Ayo bangun,” terdengar suara samar-samar memanggil nama gadis yang masih setengah sadar itu.
Calista berusaha membuka matanya yang lengket, ia melihat ibunya yang berusaha membangunkannya dengan panik. Namun mengapa ibunya itu membangunkannya larut malam begini? Padahal ia baru saja tertidur beberapa menit yang lalu.
“Ada apa bu?” ucap Calista seraya mengucek matanya yang masih memerah.
“Kita harus segera pergi dari sini. Ayo ikut ibu!” ujar Amelia terlihat pucat. Wanita bersurai silver itu menarik lengan putrinya untuk turun dari ranjang. Ia kemudian dengan tergesa-gesa memakaikan gaun coklat sederhana untuknya.
“Tapi bu, kita mau pergi ke mana malam-malam begini,” tanya Calista heran.
Ibunya tak menjawab, selesai mengganti pakaian putrinya itu, Amelia melangkah keluar bersama Calista. Mereka berjalan cepat dilorong menuju sebuah ruangan tak jauh dari kamar Calista berada.
Wanita itu kemudian membuka sebuah pintu rahasia yang ada disana. Terlihat sangat gelap, tak ada satupun penerangan di lorong itu. Amelia kemudian mengambil sebuah tempat lilin yang ada dimeja. Calista bukan lagi anak kecil polos yang tidak menyadari situasi. Jika ibunya membawanya ke lorong rahasia, itu artinya situasi saat ini tengah genting
“Ibu, ayah dan kakak ada dimana?” tanya Calista khawatir.
“Mereka sudah menunggu di luar, kita akan menyusul mereka,” ujar ibunya terlihat pucat. Amelia menyuruh Calista untuk mengikutinya dari belakang, sementara ia memandu di depan memasuki lorong gelap itu.
Saat keduanya berhasil keluar, terdengar suara dentingan pedang beradu tak jauh dari tempat keduanya berada. Karena penasaran dengan situasinya, Calista mengintip sedikit di balik sebuah pohon. Matanya sontak membulat melihat pasukan dengan pakaian serba hitam dan penutup wajah itu menyerang kediamannya. Terlihat juga api mulai membesar di sekitar bangunan, menjalar membakar kediamannya. Sementara Ayahnya berusaha menyerang pasukan musuh, dibantu dengan beberapa prajurit. Jika dilihat sekilas saja, pasukan ayahnya kalah jumlah dengan pasukan hitam itu.
Mata Calista menangkap momen ketika sebuah pedang menusuk dada kakaknya, Calista sontak terhenyak melihat tubuh kakaknya itu limbung ketanah dengan tubuh bersimbah darah. Menyadari Axel terluka, sang ayah menatap kearah putranya itu, namun karena lengah, salah seorang pasukan hitam menusuk perut ayahnya.
“AYAH!” pekik Calista. Ia tidak dapat membendung air matanya keluar. Saat gadis kecil itu akan melangkah pergi menuju ayahnya, Amelia menahannya.
“Calista, ayo kita harus segera pergi dari sini!” Amelia segera menarik lengan putrinya itu pergi menjauh dari tempat kejadian.
“Tapi bu, ayah, kakak mereka…”
“Kita harus menyelamatkan diri sebelum mereka mengejar kita,” ucap Amelia memotong cepat kalimat putrinya seraya menatap ke depan.
Namun sayangnya, salah seorang pasukan hitam menyadari kepergian Calista dan Amelia, dia kemudian memerintahkan beberapa rekannya untuk mengejar keduanya.
Beberapa anak panah melesat kearah kedua orang itu, namun sayangnya saat tengah berlari, satu anak panah melesat, mengenai punggung Amelia, membuatnya tersungkur ke tanah.
“IBU!” pekik Calista panik saat tau ibunya terkena anak panah.
Amelia berusaha berdiri dibantu Calista, mereka berlari dengan tertatih-tatih, hingga akhirnya mereka terjebak di tepi tebing. Tidak ada jalan lain, didepan mereka sekarang hanya ada sungai yang mengalir deras.
Pasukan itu berlari mendekat, namun anak panah mereka terus ditembakkan. Disaat terdesak itu, Amelia berusaha melindungi Calista dari anak panah itu dengan memeluknya. Tubuh wanita itu semakin melemah, entah sudah berapa banyak anak panah mengenai pungungnya, sementara Calista hanya menangis di pelukan ibunya, tak tau harus berbuat apa.
“Sebenarnya siapa mereka, kenapa mereka menyerang kita, bu?” tanya Calista sembari menangis tersedu sedu.
Saat masih berada dalam pelukan ibunya, dari kejauhan, mata Calista menangkap seseorang bersurai hitam menunggang kuda ke arahnya. Pemuda itu terlihat tidak asing, rupanya ia adalah Alister valdemar. Seorang bangsawan ibu kota, yang sudah beberapa kali mengunjungi kediamannya. Apa pria itu yang merencanakan semua ini, tapi kenapa, ia melakukannya?
Dengan sisa tenaganya, Amelia mengalungkan sebuah kalung pada putrinya, wanita itu kemudian berujar, “Calista, kau harus berjanji untuk tetap hidup,” pesan Amelia dengan lemah untuk terakhir kalinya. Wanita itu mendorong tubuh putrinya ke aliran sungai yang ada di bawah.
“TIDAK! IBU!” pekik Calista, tubuhnya mulai hanyut.
Aliran deras air sungai menghanyutkan tubuh kecil Calista. Suhu dingin air itu seolah membekukan setiap inci di tubuhnya, tak terhitung berapa banyak air masuk ke dalam mulutnya. Kesadaran gadis itu kian menghilang, matanya tak lagi bisa terbuka. Apakah hidupnya akan berakhir begitu saja?