Alea, seorang wanita muda dan cantik, terpaksa menikahi Rian melalui perjodohan. Namun, kebahagiaan yang diharapkan pupus ketika Rian mengkhianatinya dengan berselingkuh dengan Gina. Patah hati, Alea memutuskan untuk bercerai dan meninggalkan Rian. Takdir berkata lain, bis yang ditumpangi Alea mengalami kecelakaan tragis. Di tengah kekacauan, Alea diselamatkan oleh Ben, seorang pria berkarisma dan berstatus sebagai bos besar yang dikenal dingin dan misterius. Setelah sadar, Alea mendapati dirinya berada di rumah mewah Ben. Ia memutuskan untuk berpura-pura hilang ingatan, sebuah kesempatan untuk memulai hidup baru. Ben, yang ternyata diam-diam mencintai Alea sejak lama, memanfaatkan situasi ini. Ia memanipulasi keadaan, meyakinkan Alea bahwa ia adalah kekasihnya. Alea, yang berpura-pura hilang ingatan tentang masa lalunya, mengikuti alur permainan Ben. Ia berusaha menjadi wanita yang diinginkan Ben, tanpa menyadari bahwa ia sedang terperangkap dalam jaring-jaring cinta dan kebohongan. Lalu, apa yang akan terjadi ketika ingatan Alea kembali? Apakah ia akan menerima cinta Ben, atau justru membenci pria yang telah memanipulasinya? Dan bagaimana dengan Rian, apakah ia akan menyesali perbuatannya dan berusaha merebut Alea kembali?
LELANG
Ben pulang ke rumah. Pikirannya langsung tertuju pada Alea. Ia langsung menuju kamar mereka.
Ben membuka pintu perlahan dan melihat Alea sudah tertidur pulas di ranjang. Wajahnya tampak damai, seolah beban hidupnya menghilang sejenak.
"Alea," gumam Ben lirih, nyaris tanpa suara. Ia mendekat dan duduk di tepi ranjang, mengamati wajah Alea dengan tatapan lembut.
"Aku melakukan ini untukmu, Alea," batin Ben. "Aku tidak ingin kau terluka lagi."
Ben mengulurkan tangannya dan menyentuh lembut rambut Alea. Ia merasakan kehangatan tubuh Alea yang menenangkan.
"Kau sudah terlalu banyak menderita," batin Ben. "Aku akan melakukan apa pun untuk membuatmu bahagia."
Ben menatap wajah Alea dengan penuh harap. "Alea, wanitaku," batin Ben dengan sungguh-sungguh. "Semoga kamu benar-benar bisa tulus menerimaku."
Ben menarik selimut untuk menutupi tubuh Alea dengan lebih rapat. Ia ingin memastikan Alea merasa nyaman dan aman.
Ben beranjak dari ranjang dan berjalan menuju kamar mandi. Ia berganti pakaian dan membersihkan diri dengan cepat.
Setelah selesai, Ben kembali ke kamar Alea. Ia mematikan lampu dan berbaring perlahan di samping Alea. Dengan hati-hati, ia menarik Alea ke dalam pelukannya.
Alea menggeliat sedikit dalam tidurnya, lalu menyusup lebih dalam ke pelukan Ben. Ben merasa hatinya menghangat.
"Selamat malam, Alea," bisik Ben sambil mencium lembut puncak kepala Alea. "Aku akan menjagamu."
Ben memejamkan matanya dan memeluk Alea erat-erat. Ia merasa damai dan tenang berada di dekat Alea. Ia berharap bisa terus seperti ini selamanya.
***
Pagi itu, Ben sudah berada di kantornya, berusaha fokus pada pekerjaannya. Namun, pikirannya masih tertuju pada Alea dan Rian.
Tiba-tiba, pintu kantornya diketuk. Ben mempersilakan masuk. Asistennya, David, masuk dengan wajah serius.
"Maaf mengganggu, Pak," kata Marco. "Saya membawa kabar penting."
Ben mengernyitkan dahi. "Kabar apa?" tanyanya.
"Saya sudah menyelidiki tujuan Rian datang ke kota ini," jawab David.
Ben terdiam sejenak, menunggu David melanjutkan.
"Ternyata, Rian datang ke kota ini untuk mengambil barang berharga milik Alea di pelelangan," kata David.
Ben terkejut mendengar kabar itu. "Barang berharga milik Alea?" tanyanya dengan nada tinggi. "Barang apa?"
"Menurut informasi yang saya dapat, barang itu adalah peninggalan berharga dari ibu Alea," jawab David.
Ben terdiam. Ia tahu betapa berharganya barang itu bagi Alea.
"Apa Rian tahu bahwa barang itu akan dilelang?" tanya Ben.
"Sepertinya begitu, Pak," jawab David. "Dia berencana untuk membelinya kembali."
Ben menghela napas. Ia merasa dilema. Di satu sisi, ia ingin Alea mendapatkan kembali barang berharganya. Di sisi lain, ia tidak ingin Rian mendekati Alea.
"Baiklah," kata Ben. "Terima kasih atas informasinya. Awasi terus gerak-gerik Rian. Jangan biarkan dia mendekati Alea."
"Siap, Pak," jawab David. Ia kemudian pamit undur diri.
Ben terdiam di kursinya, memikirkan apa yang harus ia lakukan. Ia harus bertindak cepat sebelum Rian berhasil mendapatkan barang itu dan mendekati Alea.
la tahu betapa berharganya barang itu bagi Alea. Ia ingin merebut barang itu dari Rian, tapi ada masalah besar.
"Sial," gumam Ben. "Aku bahkan tidak tahu barang yang mana peninggalan ibu Alea."
Ben merasa frustrasi. Ia tidak bisa membiarkan Rian mendapatkan barang itu, tapi ia juga tidak tahu bagaimana cara menemukannya di antara ratusan barang yang akan dilelang.
"Aku harus merebut barang itu," batin Ben. "Tapi bagaimana caranya?"
Ben mulai berpikir keras. Ia mempertimbangkan beberapa pilihan, tapi semuanya memiliki risiko.
"Jika aku membawa Alea, dia pasti bisa menunjukkan barangnya," pikir Ben. "Tapi itu berarti Alea dan Rian akan bertemu. Aku tidak bisa membiarkan itu terjadi."
Ben menggelengkan kepalanya. Ia tidak ingin mengambil risiko itu.
"Tapi jika aku pergi sendiri, aku tidak akan tahu barang yang mana milik ibu Alea," pikir Ben lagi. "Aku bisa saja salah membeli barang lain."
Ben merasa dilema. Ia terjebak di antara dua pilihan sulit.
"Aku harus menemukan cara lain," batin Ben. "Harus ada cara lain untuk mendapatkan barang itu tanpa melibatkan Alea atau Rian."
Ben memanggil David kembali ke kantornya.
"David, cari tahu semua informasi tentang barang-barang yang akan dilelang," perintah Ben. "Fokus pada barang-barang antik dan perhiasan. Mungkin ada petunjuk tentang peninggalan ibu Alea di sana."
"Siap, Pak," jawab David . Ia segera keluar untuk menjalankan perintah Ben.
Ben menghela napas. Ia merasa tegang dan khawatir. Ia tahu bahwa waktu semakin menipis. Ia harus segera menemukan cara untuk merebut barang itu sebelum Rian bertindak.
Ben sedang duduk di kursinya, memijat pelipisnya. Pikirannya masih berkecamuk memikirkan cara untuk merebut barang peninggalan ibu Alea.
Tiba-tiba, telepon di mejanya berdering. Ben melihat nama asisten rumah tangganya tertera di layar.
"Halo?" jawab Ben dengan nada lelah.
"Maaf mengganggu, Tuan," kata asisten rumah tangganya. "Nyonya Alea ingin berbicara dengan Anda."
Ben terkejut. "Alea? Ada apa?" tanyanya.
"Saya tidak tahu, Tuan," jawab asisten rumah tangganya. "Nyonya hanya bilang ingin berbicara penting dengan Anda."
Ben terdiam sejenak. Ia merasa ragu. Ia tidak yakin apakah ia siap untuk berbicara dengan Alea.
"Baiklah," kata Ben akhirnya. "Sambungkan teleponnya."
Asisten rumah tangganya menyambungkan telepon ke Alea.
"Halo, Ben?" suara Alea terdengar lembut di seberang sana.
Ben menarik napas dalam-dalam. "Halo, sayang," jawabnya. "Ada apa?"
"Aku ingin bertemu denganmu," kata Alea. "Ada yang ingin aku bicarakan."
Ben terdiam. Jantungnya berdegup kencang. Ia tidak tahu apa yang ingin Alea bicarakan, tapi ia merasa firasat buruk.
"Kapan?" tanya Ben akhirnya.
"Bisakah kita bertemu sekarang?" tanya Alea.
Ben terkejut. "Sekarang? Tapi aku sedang di kantor," jawabnya.
"Aku tahu," kata Alea. "Bolehkah aku ke kantor mu? Atau kamu bisa kembali dulu? Itupun kalau kamu tidak keberatan,"
Ben terdiam. Ia tidak bisa menolak permintaan Alea.
"Baiklah," kata Ben akhirnya. "Kamu jangan kemana-mana sayang. Aku akan kembali."
"Terima kasih, Ben," kata Alea. "Aku tunggu."
Alea menutup telepon. Ben mengembalikan ponsel dengan tangan gemetar. Ia merasa gugup dan khawatir. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi.
Ben tiba di rumah dengan perasaan campur aduk. Ia melihat Alea sudah menunggunya di depan pintu, wajahnya tampak cemas.
"Alea," sapa Ben dengan lembut.
Alea menoleh dan langsung menghampiri Ben. Tanpa basa-basi, ia langsung bertanya dengan nada khawatir.
"Ben, saat kau menemukanku... apa ada tasku?" tanya Alea dengan tatapan penuh harap.
Ben terkejut dengan pertanyaan Alea. Ia tidak menyangka Alea akan menanyakan hal itu.
"Tas?" tanya Ben bingung. "Tas apa?"
"Tasku," jawab Alea dengan nada mendesak. "Tas yang berisi barang-barang pentingku. Apa kau melihatnya?"
Ben berusaha mengingat-ingat kejadian saat ia menemukan Alea. Ia memang tidak melihat tas apa pun.
"Maaf, Alea," kata Ben nada menyesal. "Aku tidak melihat tas apa pun saat menemukanmu."
Alea tampak kecewa mendengar jawaban Ben. Wajahnya semakin puyang at.
"Tidak mungkin," gumam Alea. "Tasku pasti ada di suatu tempat."
"Apa yang ada di dalam tas itu?" tanya Ben penasaran.
Alea terdiam sejenak, lalu menatap Ben dengan tatapan serius.
"Di dalam tas itu ada surat-surat penting, uang, dan... foto dan kalung ibuku," jawab Alea dengan suara bergetar.
Ben terkejut mendengar jawaban Alea. Ia tahu betapa berharganya barang peninggalann ibu bagi Alea.
"Aku akan membantumu mencari tas itu," kata Ben dengan nada sungguh-sungguh. "Kita akan mencarinya bersama-sama."
Alea menatap Ben dengan tatapan ragu.
"Kau yakin?" tanya Alea. "Ini akan sulit."
"Aku yakin," jawab Ben. "Aku akan melakukan apa pun untuk membantumu."
Alea mengangguk pelan. "Terima kasih, Ben," katanya dengan nada tulus.
Ben tersenyum. Ia merasa lega bisa membantu Alea. Ia tahu bahwa ini adalah kesempatan baginya untuk memperbaiki hubungannya dengan Alea.
Setelah mendengar Alea menyebutkan tentang kalung ibunya yang ada di dalam tas, Ben tiba-tiba merasa ada petunjuk penting. Ia teringat percakapannya dengan David tentang barang peninggalan ibu Alea yang akan dilelang.
"Kalung," gumam Ben dalam hati. "Mungkinkah barang yang dicari Rian adalah kalung yang tadi disebutkan Alea?"
Ben merasa jantungnya berdegup kencang. Ia merasa yakin bahwa ia telah menemukan titik terang.
"Aku harus memastikan ini," batin Ben.
Ben mengeluarkan ponselnya dan segera menghubungi David.
"David, segera cari tahu informasi tentang kalung yang akan dilelang," perintah Ben dengan nada mendesak. "Fokus pada kalung yang memiliki nilai sejarah atau sentimental bagi keluarga Alea."
"Siap, Pak," jawab David. "Akan saya laksanakan secepatnya."
Ben menutup telepon dan menghela napas. Ia merasa sedikit lega karena telah menemukan petunjuk. Namun, ia juga merasa khawatir. Jika dugaannya benar, maka Rian pasti akan berusaha mendapatkan kalung itu dengan segala cara.
"Aku tidak boleh membiarkan itu terjadi," batin Ben. "Aku harus merebut kalung itu dari Rian sebelum dia mendekati Alea."
Ben menatap Alea dengan tatapan penuh tekad.
"Alea, aku akan membantumu menemukan barangmu," kata Ben dengan nada sungguh-sungguh. "Aku janji."