Benci jadi cinta, atau cinta jadi benci?
Kisah mereka salah sejak awal. Sebuah pertemuan yang didasarkan ketidaksengajaan membuat Oktavia harus berurusan dengan Vano, seorang idol terkenal yang digandrungi banyak kalangan.
Pertemuan itu merubah hidupnya. Semuanya berubah dan perubahan itu membawa mereka ke dalam sebuah rasa. Cinta atau benci?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Suci Aulia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perang Dingin
Sejak pertengkaran kemarin, terasa ada yang berbeda dengan suasana di rumah ini. Tidak ada lagi ocehan Okta yang mengeluh saat Vano berangkat terlalu pagi, tidak ada lagi adu mulut antara mereka karena hal sepele, bahkan saling sapa pun tidak. Mereka sama-sama egois, Okta yang gengsian dan Vano yang tidak mau minta maaf duluan. Memang dua orang ini sama-sama keras kepala!.
Para asisten rumah tangga sebenarnya juga merasa gak nyaman, tapi mau bagaimana lagi. Mereka tidak punya hak lebih untuk ikut campur urusan majikannya.
Pagi itu seperti biasa, Vano dan Okta sarapan bersama. Ngambek-ngambek gini, Vano tetap memaksa perempuan itu supaya sarapan. Bukan karena perhatian, hal itu dia lakukan karena Okta sedang hamil anaknya. Dia gak mau anaknya kekurangan gizi.
Di meja makan rasanya sangat canggung. Okta yang biasanya selalu ngoceh kini menjadi pendiam. Dia cuma fokus pada makanan di piring, sedangkan Vano cuma acuh. Cowok itu sibuk menghabiskan rotinya sambil sesekali melihat chat yang masuk di ponsel. Tangannya kemudian meraih segelas susu dan meminumnya sampai tersisa setengah.
"Gue berangkat" pamit Vano seraya bangkit dari tempat duduk. Dia memakai jaket denim yang tadi dia sampirkan di sandaran kursi, lalu langsung pergi tanpa menunggu jawaban Okta.
Melihat Vano pergi, Okta langsung meletakkan sendok di tangannya dengan kasar. Menimbulkan suara yang cukup keras karena berbenturan dengan piring. Perempuan itu berdecak kesal, pengen rasanya dia menjambak rambut Vano sampai rontok. Biar otaknya kebuka dan berfungsi meskipun cuma 10%. Setidaknya dia jadi bisa mikir, salahnya dimana terus harus melakukan apa. Bukannya didiemin malah ikutan diem. Kalau gak inget dia lagi hamil, mungkin Okta sudah meracuni cowok itu dari jauh-jauh hari. Tapi hal itu tidak mungkin dia lakukan sekarang, dia gak mau anaknya lahir tanpa ayah.
"Liat muka si Vano sepet lama-lama, gak nafsu makan gue jadinya!" keluh Okta dengan kesal. Perempuan itu lalu memilih kembali masuk ke kamar, mengunci diri sampai sore sebagai bentuk ngambeknya pada si suami. Meskipun ujung-ujungnya dia keluar sendiri karena laper.
Bi Inah yang melihat kejadian itu cuma bisa geleng-geleng kepala. Perempuan paruh baya itu lalu memberesi piring-piring di meja makan yang masih menyisakan banyak makanan. "Ya gusti, suami istri jaman sekarang teh berantemnya udah kayak anak TK"
**********
"Satu pemotretan lagi ya, kalian bisa istirahat dulu terus ganti kostum baru" seorang fotografer memberi instruksi dan dijawab acungan jempol oleh Chiko sebagai perwakilan. Anggota The Boys yang lain segera melipir ke pinggir dan rebahan ria di sofa yang sudah disediakan di studio foto itu. Para asisten dengan sigap menghampiri, melayani kebutuhan mereka dan sesekali membantu stylis menata ulang kostum ataupun riasan.
Hari sudah menjelang malam, terhitung sudah ada 5 kali pemotretan dengan merek sponsor yang berbeda. Mereka cukup capek, tapi sudah biasa. Tuntutan pekerjaan membuat mereka harus rela bekerja dari pagi sampai pagi.
Vano duduk sembari melihat ponsel, di sebelahnya ada seorang stylis yang sedang membetulkan tatanan rambutnya, menyesuaikan dengan pakaian yang akan dipakai. Sambil menunggu, cowok itu melihat roomchatnya. Sepi. Kiara hari ini juga ada pemotretan baru dengan sebuah rumah mode yang dia pegang sebagai brand ambassador, jelas dia lumayan sibuk. Fokusnya kemudian beralih pada chat urutan nomer 2, nomor yang sudah dua hari ini tidak menghubunginya. Dia melihat status onlinenya, Okta baru membuka chat 5 menit yang lalu.
"Chat aja kali, Van. Gak kangen udah seharian gak ketemu istri?. Masih pengantin baru gini" melihat artis yang biasa dia tangani sedang mengamati chat yang dia ketahui adalah istrinya, stylis itu kontan berceletuk. Dia dan Vano sudah kenal sejak lama, jadi bercandaan seperti itu sudah tidak sungkan. Vano cuma menanggapi dengan kekehan.
"Nanti aja, sekalian ketemu di rumah" cowok itu menjawab dengan alibi.
"Enakan di rumah ye, Van. Bisa langsung dikeloninn" stylis itu berseloroh lagi. Vano tertawa. Bahkan setelah menikah pun dia dan Okta tidak pernah lagi melakukan itu. Mereka sama-sama sadar posisi dan kapasitas masing-masing.
Pemotretan selanjutnya di mulai. Sang fotografer menjepret beberapa foto yang dianggap memiliki angle terbaik. Cukup lama sampai akhirnya pekerjaan mereka selesai pada pukul 21.00 waktu setempat.
"Van, lo langsung balik?" Maxim bertanya saat Vano terlihat menghampiri mobilnya dan bersiap pulang. Cowok itu berbalik badan, kemudian mengangguk sebagai jawaban.
"Yoi"
"Gue sama yang lain rencananya mau party di tempatnya Lucas, lo gak mau ikut dulu?" tawarnya.
"Gak dulu deh, lain kali aja gue ikut" Vano segera masuk ke dalam mobil setelah mendapat persetujuan dari teman-temannya. Cowok itu lekas menancap pedal gas dan pergi meninggalkan tempat bernama 'NH Photography' itu.
*********
Langkah kaki tegap Vano memasuki rumah bak istana yang dia miliki sejak 5 tahun lalu itu. Rumah nampak sepi, tapi dari arah dapur dia masih bisa melihat Bi Inah sedang memberesi meja makan ditemani beberapa pelayan lain.
"Eh, Tuan udah pulang" perempuan paruh baya itu menyapanya dengan sumringah. Vano membalas dengan senyum tipis. Matanya kemudian melirik makanan-makanan yang masih utuh di meja, seperti tidak tersentuh sedikitpun.
"Ini makanannya kok masih utuh semua, Bi?" tanyanya.
"Iya, Tuan. Non Okta gak mau makan, seharian teh di kamar terus. Bibi jadi khawatir. Tadi dibujuk makan juga gak mau"
Penjelasan Bi Inah membuat Vano berdecak kesal. Kenapa perempuan itu sangat ceroboh. Masak cuma gara-gara ngambek, dia jadi mengabaikan kesehatannya sendiri.
"Siapin makanannya aja, Bi. Biar saya yang nganter ke kamarnya"
Bi Inah dengan senang hati menyiapkan makanan Okta. Lengkap dengan susu hamil yang dia letakkan di atas nampan. Vano membawanya ke kamar mereka. Tangan cowok itu bergerak membuka knop pintu, tapi ternyata pintunya dikunci dari dalam. Dia kembali berdecak.
"Ta, buka pintunya!" seru Vano.
Okta cuma menatap malas kearah pintu, perempuan itu mendengus. Dia malah menutup kedua telinganya menggunakan bantal, mencoba mengabaikan suara Vano yang kian mengeras. Tapi nyatanya dia tidak sekuat itu, dia jadi pengen mewek lagi.
"Okta!" Vano mengeram kesal. Dengan sebelah tangan yang masih membawa nampan, dia membuka kabinet di luar kamar dan mengambil kunci cadangan dari sana. Dia lalu membuka pintu itu lebar-lebar dan menutupnya kembali. Saat masuk ke dalam kamar, hal pertama yang dia lihat adalah Okta yang sedang meringkuk di kasur dengan tubuh dibuntal selimut serta wajah yang ditutupi bantal. Penampakannya kali ini lebih mirip kepompong yang gagal bermetamorfosis.
Dengan pergerakan yang amat pelan, Vano meletakkan nampan di nakas lalu berangsur duduk di tepi ranjang. Menatap Okta yang tidur memunggunginya. Dia menghela nafas panjang. Hari ini dia rela menurunkan ego dan gengsi cuma untuk perempuan ini.
"Ta.." panggilnya dengan nada rendah. Tapi Okta tidak bergeming, dia masih mempertahankan posisi tidurnya.
"Makan dulu, lo bisa sakit" Vano masih belum menyerah. Kali ini dia menyentuh bahu Okta, dan dia akhirnya tau kalau perempuan itu cuma pura-pura tidur.
"Gue tau lo belum tidur, udahan lah ngambeknya. Kalo lo gak makan kasian anak gue"
"Dia anak gue!" Okta akhirnya membalas, dengan nada super sengak. Membuat Vano jadi menelan ludah takut.
"Anak gue juga" ralatnya. Vano membuka paksa bantal yang menutupi wajah Okta sehingga dia bisa melihat wajah cantik perempuan itu yang terlihat sedikit sayu.
"Makan dulu, gue minta maaf" dan akhirnya satu kata maaf keluar dari mulut seorang Geovano Davichi. Yang akhirnya membuat pertahanan Okta runtuh. Dia memang secemen itu, dikasih perhatian dikit udah meleleh.
"Lo ngeselinnnn, lo jahat tau gak!" dengan bibir yang mencebik lucu serta mata berkaca-kaca seperti balita, Okta memukuli dada Vano berulang kali.
Vano tidak mengelak, apalagi menangkis. Dia membiarkan saja dadanya digunakan sebagai pelampiasan kekesalan perempuan itu, yang penting Okta senang.
"Iya, gue tau gue jahat, maafin yaa. Tapi gue jangan dipukulin juga dong, udah masuk KDRT nih namanya" Vano meraih sebelah tangan Okta dan menggenggamnya, membuat pergerakan perempuan itu terhenti.
"Gak mau maafin, lo minta maafnya gak ikhlas!"
"Astaga, Ta. Ini gue beneran minta maaf dengan sangat sangat tulus loh"
"Muka lo gak ada nyesel-nyeselnya!" Okta mencebik kesal, menatap sebal kearah Vano yang terlihat sedang menahan tawa.
"Emang lo maunya muka gue gimana?. Muka gue mau digimanain juga tetep sama, ganteng" dan sebuah bantal langsung terlempar ke muka Vano setelah dia mengatakan itu, Okta pelakunya.
"Jijikk!!"
Perempuan itu memalingkan muka, masih berlagak sok jutek padahal Vano tau kalau bibirnya berkedut karena menahan senyum.
"Jangan marah lagi dong.... Ngambekan banget sih lo jadi cewek" tangan Vano mencubit pipi Okta gemas, tapi langsung ditepis kasar oleh perempuan itu.
"Habisnya lo ngeselin!"
"Iya, gue emang ngeselin" Vano mesem, ikhlas terus-terusan disalahkan.
"Jadi gue dimaafin nggak?"
Okta nampak menimang, dia menatap Vano berulang kali dengan raut wajah berpikir. Memikirkan konsekuensi apa yang harus dilakukan cowok itu karena kesalahannya.
"Tapi ada syaratnya" ucap Okta.
"Apa?"
"Lo harus mau nemenin gue yoga selama seminggu, plus jadi partnernya juga"
Ngasih hukuman sekaligus modus, Okta tertawa iblis dalam hati.
bener itu amp hamidun🤔
kasian tuh sana sini musti pinter nyari jln