Bagi Dira pernikahan adalah sebuah mimpi indah. Dira tak menyangka pria yang tiba-tiba mau menikahinya di hari pernikahan, disaat calon suaminya menghilang tanpa jejak, ternyata menyimpan dendam masa lalu yang membara.
Denzo tak menikahinya karena cinta melainkan untuk balas dendam.
Namun, Dira tidak tahu apa dosanya hingga setiap hari yang ia lalui bersama suaminya hanya penuh luka, tanya dan rahasia yang perlahan terungkap.
Dan bagaimana jika dalam kebencian Denzo, perlahan tumbuh perasaan yang tidak ia duga?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ars Asta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
Dira menggeliat pelan di atas kasur, matanya perlahan terbuka. Tangannya terangkat, menekan pelipisnya yang berdenyut sakit.
Apa aku pingsan?
Dira menoleh dan melihat Denzo duduk di sofa sambil menatap ponsel di tangannya.
"Mas." Suara Dira terdengar serak.
Pria itu langsung menoleh mendengar suara Dira. Ia beranjak dari duduknya dan mendekat.
"Merepotkan," ucap Denzo dingin dan menatap tajam.
Dira menunduk. "Maaf mas."
"Tuan bubur Nona sudah siap." Suara Bi Nina terdengar dari luar.
"Masuk." balas Denzo.
Kepala pelayan itu masuk dengan membawa nampan berisi bubur, air putih dan juga obat dari Sekretaris Rei.
"Nona makan dulu ya," ucap Bi Nina duduk di pinggir kasur.
"Tolong suapin dia," perintah Denzo.
"Baik, Tuan."
Pria itu melirik Dira sebentar lalu beranjak keluar.
Bi Nina mengaduk bubur yang masih berasap itu, meniupnya pelan sebelum menyuapi Dira.
"Bi, aku tadi pingsan ya?" tanya Dira.
Kepala pelayan itu mengangkat sendok ke mulut Dira. "Iya, Non. Kamu tadi pingsan dan pas itu Tuan juga pulang. Tuan Denzo yang membawa Nona ke kamar."
"Mas Denzo?" Dira menelan bubur di mulutnya.
"Iya, Nona."
Dira tersenyum mendengar ucapan Bi Nina.
Wanita itu kembali menyuapi Dira.
"Bahkan tadi Tuan terlihat sangat khawatir, Nona."
Dira mendengarkan dengan baik, dia merasa bahagia mengetahui itu dan itu terlihat jelas saat pria itu masih berada di kamar menemaninya saat dia pingsan.
Aku sangat senang mengetahui bahwa Mas ternyata mengkhawatirkanku.
"Oh iya, Bi. Aku nggak masak makan malam buat Mas Denzo." Dira memegang lengan Bi Nina saat teringat dia belum masak dan di luar terlihat sudah gelap.
"Nona tidak perlu khawatir soal itu, pelayan sudah menyiapkan makanan untuk Tuan dan mungkin Tuan sedang makan sekarang," jelas Bi Nina.
"Tapi nanti Mas Denzo marah jika aku lari dari tanggung jawab. " Dira menggigit bibir bawahnya.
"Tuan mengerti keadaan Nona, jadi selama Nona sakit tidak perlu bekerja dulu," tutur Bi Nina.
"Jadi Nona sekarang harus istirahat, apalagi nona juga demam," sambung Bi Nina.
Kepala pelayan itu menyuapi Dira dengan lembut hingga bubur di mangkok itu habis.
"Minum dulu Nona." Bi Nina memberikan segelas air dan Dira meminumnya hingga setengah gelas.
Obat di samping air putih yang baru Sekretaris beli itu Bi Nina buka lalu ia berikan pada Dira. "Minum obat juga, Nona."
Dira hanya menurut dan meminum obat itu. "Makasih, Bi."
"Iya, Nona. Kalau begitu Nona kembali istirahat. Saya keluar dulu." pamit Bi Nina.
Nonanya hanya mengangguk singkat dengan senyum tulusnya.
Kepala pelayan itu kembali membawa nampan berisi mangkok dan gelas yang sudah kosong keluar.
Sementara Dira melanjutkan istirahatnya, kepalanya masih cukup sakit apalagi badannya juga terasa hangat pantas saja dia merasa sangat lemas. Wanita itu berharap setelah minum obat bisa merasa lebih baik.
Di sisi lain, seorang wanita mengamuk di kamarnya, berteriak dengan frustasi dan marah.
"Sial! Ternyata dia cukup bisa menarik perhatian Kak Denzo," teriaknya.
Kamarnya kini sangat berantakan, vas bunga, guci juga alat make up diatas meja ia lempar dan pecah di lantai.
Pecahan-pecahan barang itu kini memenuhi lantai.
Wajahnya Nasya memerah, tangannya terkepal kuat dan napas yang memburu.
"Aku tidak boleh kalah, aku harus bergerak lebih cepat." gumamnya.
"Aku tidak menyangka Kak Denzo bisa menyukai wanita itu."
"Baiklah karena semua telah terjadi, aku bakalan lawan kamu Dira. Sahabat?" Nasya tertawa kecil, tertawa yang terdengar licik.
"Aku akan buat trik kecil. Tidak mungkin Kak Denzo lebih percama sama kamu." Wanita itu tersenyum miring.
Nasya berjongkok, mengambil satu pecahan guci di lantai. Menatap dan memainkan pecahan tajam itu.
Tawanya kembali keluar. "Masalahnya sudah lebih jauh. Baiklah apapun hasilnya, akan aku coba."
***
Di ruangan kerja Denzo. Denzo melipat kakinya. Detak jam terasa lambat bagi Rei.
Sekretaris Rei menunduk takut.
"3 hari lagi, Ares akan ke Indonesia," ucap Denzo. Matanya menatap tajam Rei.
"Persiapkan semuanya, karena hanya dia satu-satunya yang bisa menemukan bukti itu," lanjut Denzo. Tangannya mengetuk meja.
"Baik, Tuan," balas Sekretaris Rei
"Dan jangan beritahu Nasya soal Ares," perintah Denzo.
Sekretaris Rei mengangguk paham. "Saya mengerti, Tuan."
Denzo tidak ingin Nasya tahu, karena takut wanita itu berkhianat. Bisa saja dia membantu sahabatnya itu.
"Kau boleh pulang sekarang." Tangan Denzo bergerak mengisyaratkan menyuruh Sekretaris Rei keluar.
"Tuan," Panggil Sekretaris Rei, masih menunduk.
"Ada apa?" tanya Denzo. Ia menatap pria didepannya karena seperti ingin mengatakan sesuatu.
"Saya minta maaf, tidak bisa menemukan bukti kecelakaan itu. Saya gagal, Tuan," ucap Sekretaris Rei dengan tulus. Pria itu benar-benar merasa gagal.
"Tidak, ini bukan kegagalan, karena yang kita lawan memang sangat licik," ungkap Denzo.
Semua yang mereka lakukan selama ini tidak membuahkan hasil sudah jelas menandakan lawan mereka cukup kuat dan cerdik.
Sekretaris Rei menunduk berkali-kali. "Terima kasih, Tuan."
"Sudahlah Rei, kau hanya perlu terus berada di sampingku dan melihat apakah ada hal yang mencurigakan," ucap Denzo.
"Mencurigakan? Siapa maksud Tuan?" tanya Sekretaris Rei.
ok, sekarang qm menang tapi ingat tuhan itu tdk tidur, karma tdk pernah salah alamat, Thor... perlukah saya bantu Dira 🙏