Karena kesulitan ekonomi membuat Rustini pergi ke kota untuk bekerja sebagai pembantu, tapi dia merasa heran karena ternyata setelah datang ke kota dia diharuskan menikah secara siri dengan majikannya.
Dia lebih heran lagi karena tugasnya adalah menyusui bayi, padahal dia masih gadis dan belum pernah melahirkan.
"Gaji yang akan kamu dapatkan bisa tiga kali lipat dari biasanya, asal kamu mau menandatangani perjanjian yang sudah saya buat." Jarwo melemparkan map berisikan perjanjian kepada Rustini.
"Jadi pembantu saja harus menandatangani surat perjanjian segala ya, Tuan?"
Perjanjian apa yang sebenarnya dituliskan oleh Jarwo?
Bayi apa sebenarnya yang harus disusui oleh Rustini?
Gas baca, jangan lupa follow Mak Othor agar tak ketinggalan up-nya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon cucu@suliani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perjanjian Bab 34
Kesal dengan Jarwo yang pergi begitu saja meninggalkan dirinya?
Tentu saja jawabannya adalah iya, dia begitu kesal karena suaminya itu mengambil keputusan sendiri. Bahkan, setelah Ratih menunggu sampai malam hari tiba, pria itu tak kunjung pulang. Ratih bingung harus mencari Jarwo ke mana.
Selama ini pria itu hanya tinggal di rumah, dia mengurus semua masalah pesugihan. Hanya dirinya yang selalu pergi dengan geng sosialitanya untuk bersenang-senang, jika dipikir-pikir Jarwo tidak pernah pergi untuk bersenang-senang.
Untuk membeli baju saja dia yang membelikan, pria itu keluar hanya untuk bekerja di restoran. Siang harinya hanya akan tidur, hal itu merupakan sebuah kesenangan yang berharga bagi Jarwo.
"Sialan! Karena kamu tak kembali, aku harus melakukan ritual malam ini sendirian."
Ratih belum membeli perlengkapan untuk pemujaan malam ini, akhirnya dia memutuskan untuk pergi ke pasar tradisional membeli kembang 7 rupa dan juga membeli arang serta kemenyan.
"Kamu ngapain sih bawa aku ke sini?"
Ratih baru saja selesai membeli apa yang dibutuhkan di pasar tradisional, dia tidak datang sendirian ke sana, tetapi dia datang dengan seorang pria yang biasa pergi dengan dirinya.
"Udah jangan banyak bicara, sekarang lebih baik kamu pulang bersama dengan aku ke rumah."
"Yakin pulang ke rumah kamu?"
"Ya," jawab Ratih.
"Suami kamu?"
Ratih memasukkan barang-barang yang sudah dia beli ke dalam bagasi mobil, kemudian dia menolehkan wajahnya ke arah pria itu.
"Udah gak usah berisik, pulang aja sih. Nanti kalau misalkan dia datang, bilang aja kamu itu tukang kebun yang baru."
Pria itu mendelik sebal mendengar apa yang dikatakan oleh Ratih, dia bahkan langsung berkacak pinggang sambil menatap wajah Ratih dengan tatapan tidak suka.
"Pria setampan dan segagah aku harus mengadu sebagai tukang kebun?"
"Ya, biar nantinya tidak jadi masalah."
"Helow! Coba kamu lihat wajah aku yang tampan ini, coba kamu lihat penampilan aku yang keren. Coba kamu lihat postur tubuh aku yang sudah seperti atlet ini, masa harus ngaku sebagai tukang kebun? Kamu gila?"
Ratih mengajak pria itu untuk masuk ke dalam mobil, Ratih duduk di balik kemudi, sedangkan pria itu duduk di sampingnya. Dia menangkup wajah pria itu dan mengecup bibirnya sekilas.
"Justru kalau kamu bilang kalau kamu adalah pacar aku, hal itu pasti akan membuat semuanya menjadi kacau. Paham?"
"Hem," ujar pria itu dengan bibir yang sudah maju dua Senti.
"Jangan marah, seharusnya kamu tuh bersyukur. Karena walaupun kamu dulu pernah nyakitin aku, tapi aku mau menerima kamu kembali walaupun kamu itu tak punya pekerjaan. Duda dan tak punya modal lagi," ujar Ratih.
"Ck!"
Pria itu hanya bisa berdecak, Ratih tidak peduli. Dia langsung melajukan mobilnya menuju kediamannya, karena kini sudah semakin malam. Sebentar lagi adalah waktunya untuk memberikan darah kepada para tuyul peliharaannya.
"Hiih! Banyak banget sih! Jelek banget lagi bentuknya, bikin mual."
Ratih sekarang sudah ada di rumah kecil, dia membawa enam tuyul peliharaannya yang masih berada di dalam botol ke dalam rumah itu. Lebih tepatnya kini mereka sudah berada di tempat pemujaan.
Di sana sudah ada dupa yang menyala, Ratih juga sudah menaburkan kemenyan di atas api itu sambil membaca mantra. Bahkan, dia sudah menaburkan kembang tujuh rupa pada enam botol yang berisikan tuyul itu.
"Kamu itu seharusnya tidak berkata seperti itu, Ben. Karena uang yang kamu nikmati juga hasilnya dari sini," ujar Ratih sambil memejamkan membuka tutup botolnya dan mengeluarkan isinya.
Ada bayi tuyul yang berbentuk seperti boneka, tua dan keriput karena usianya yang memang ribuan tahun. Matanya terpejam dengan tangannya yang terlipat dan juga terkepal.
"Iya sih, tapi serem juga tau kalau melihat langsung seperti ini." Beni duduk di belakang Ratih karena wanita itu nampak duduk seperti seorang sinden.
"Duduk di samping aku, bukan di belakang aku."
Wanita itu menatap Beni dengan tatapan mata yang begitu sulit untuk diartikan, Beni yang tidak mau mendapat masalah langsung duduk tepat di samping wanita itu. Dia duduk bersila dengan perasaan campur aduk.
"Aku sekarang mau tanya sama kamu, kamu sebenarnya cinta apa enggak sama aku?"
"Cinta, Yang. Masa nggak, kalau nggak aku gak akan mau minta balikan sama kamu. Aku gak akan mau senang-senang sama kamu, apalagi mengingat kamu yang masih bersuami, aku tidak akan mungkin bisa menerimanya. Apalagi kalau mengingat kamu yang sering bermesraan dengan suami kamu. Tapi, semuanya aku terima, yang penting hati kamu untuk aku."
"Seharusnya kamu yang menggantikan aku untuk memberikan darah kepada tuyul itu kalau memang cinta sama aku," ujar Ratih.
Beni meremas kedua tangannya dengan gugup, tak lama kemudian dia tersenyum sambil mengusap kedua bahu Ratih.
"Aku bukannya tidak mau menggantikan kamu, tapi kamu sendiri yang bilang kalau untuk masalah tuyul harus dikerjakan oleh suami istri. Kita kan' belum resmi dalam hubungan pernikahan, jadi maaf belum bisa bantu untuk itu."
Ratih mendelik sebal, tapi herannya dia tetap cinta terhadap pria itu. Walaupun dia sering berdebat dengan Beni, tapi entah kenapa di hatinya tetap ada nama pria itu.
Padahal dulu dia begitu terluka oleh Beni, karena pria itu memutuskan dirinya dan malah menikah dengan wanita lain. Luka hatinya terobati ketika bertemu dengan Jarwo, pria itu begitu bucin kepada dirinya dan mampu membuat dia dengan cepat jatuh cinta.
Namun, ketika dia kembali bertemu dengan Beni, apalagi pria itu sudah menjadi duda dan menyatakan masih mencintainya, Ratih luluh. Dia malah melupakan kalau dirinya memiliki hubungan yang sakral dengan Jarwo, dia sering menyempatkan waktu untuk pergi bersama dengan Beni.
Bahkan, Ratih sering memberikan uang kepada pria itu karena memang pria itu kini merupakan seorang pengangguran. Dia sudah seperti seorang tante-tante yang memelihara gigoloo, mau saja menghabiskan uang untuk pria itu.
"Sudahlah, kamu itu tidak perlu banyak bicara. Karena kita harus melakukan ritualnya sekarang," ujar Ratih pada akhirnya.
"Ya, Sayang." Beni tersenyum dengan begitu manis.
Ratih menarik napas dalam, lalu dia memejamkan matanya. Kedua tangannya mengatup di depan dada, tak lama kemudian bibirnya komat-kamit membaca mantra yang biasa dibacakan oleh Jarwo.
Beni memperhatikan apa yang dilakukan oleh Ratih, tentunya tanpa mengeluarkan suara. Tak lama kemudian Ratih mengambil bunga tujuh rupa dan menaburkannya di atas enam tuyul miliknya.
Dia lalu kembali menaburkan kemenyan pada dupa yang menyala di depannya, api langsung membesar ketika wanita Itu menaburkan kemenyan. Beni sampai kaget dibuatnya, dia sebenarnya ketakutan, tapi dia tahan rasa takut itu demi Ratih.
"Sayang, ibu datang untuk memberikan kalian makan."
Ratih membuka matanya, lalu dia mengambil pisau kecil yang terlihat begitu tajam. Mulutnya kembali komat kamit, lalu dia mengiris ujung jarinya. Darah langsung bercucuran dari ujung jarinya itu, Ratih kesakitan tapi dia tahan.
Darah itu dia tampung pada batok kelapa yang sudah mengering, setelah darah itu cukup banyak, Ratih meneteskan darahnya itu pada tuyul-tuyul peliharaannya.
Benda yang tadinya seperti boneka itu hidup, mereka bahkan menjilati darah yang menempel pada tubuh mereka. Lidah tuyul itu memanjang, terjulur dan bahkan ada yang menjilati ujung jari Ratih yang masih mengeluarkan darah.
Sebenarnya Ratih kesakitan, tetapi dia tahan demi memberikan darah kepada tuyul tuyul itu agar tetap memberikan hasil yang banyak untuk dirinya.
"Mamam!"
Tuyul-tuyul itu kegirangan, mereka semua menghampiri Ratih. Tuyul itu seperti masih kelaparan, Ratih dengan canggung mengambil pisau dan kembali mengiris ujung jari yang lainnya agar bisa memberikan darahnya.
Wanita itu meringis, berbeda dengan tuyul tuyul itu yang kegirangan dan langsung tertawa ketika tetesan demi tetesan darah mengenai tubuh mereka.
"Anak-anak pandai, nanti nyari uang sama ibu ya?"
Mereka tersenyum dengan penuh kegirangan, tetapi tak lama kemudian senyum itu luntur ketika melihat Beni. Bagi mereka bapak asuhnya adalah Jarwo, mereka tak mengenal Beni.
"Bapak! Mana Bapak? Dia bukan Bapak!"
Tuyul-tuyul itu memandang Beni dengan tatapan penuh kekesalan, Ratih jadi salah tingkah. Dia dari awal sudah diberitahukan oleh sang pemilik tuyul, kalau yang namanya tuyul itu hanya akan menerima bapak dan juga ibunya yang merupakan pasangan sah. Bukan pasangan belum menikah.
"Maaf ya, Sayang. Bapak nanti pulang," ujar Ratih berusaha untuk menenangkan para tuyul itu.
"Bapak! Kami mau bapak!"
Salah satu tuyul itu mendekat ke arah Beni, pria itu dengan cepat bersembunyi di balik tubuh Ratih. Karena pria itu sungguh ketakutan melihat banyaknya tuyul yang bergerak dengan tubuhnya yang begitu mengerikan.
ntar kamu ngamuk gak liat Jarwo bahagia dengan Tini