Maya hanya ingin satu hal: hak asuh anaknya.
Tapi mantan suaminya terlalu berkuasa, dan uang tak lagi cukup.
Saat harapan habis, ia mendatangi Adrian—pengacara dingin yang kabarnya bisa dibayar dengan tubuh. Dengan satu kalimat berani, Maya menyerahkan dirinya.
“Kalau aku tidur denganmu... kau akan bantu aku, kan?”
Satu malam jadi kesepakatan. Tapi nafsu berubah jadi candu.
Dan
permainan mereka baru saja dimulai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EvaNurul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
LUKA YANG DI BUKA PAKSA
Bau wangi saus tiram dan bawang putih tumis memenuhi udara restoran. Denting sendok-garpu dan suara pelayan memanggil pesanan bercampur dengan dengung pendingin ruangan. Maya berdiri di belakang meja kasir, berusaha mengatur napas setelah adu kata panas barusan dengan Reza. Dadanya masih naik-turun. Setiap kali ia mengangkat kepala, tatapan pria itu tetap terpaku padanya dari meja di pojok—dingin, menghitung, dan penuh ego.
Reza belum pergi. Ia duduk santai, lengan disandarkan ke kursi, seolah memiliki hak untuk berada di sini. Maya mencoba mengalihkan diri dengan menghitung uang kembalian, tapi telinganya tetap menangkap suara langkah sepatu hak yang mantap memasuki restoran.
Tok. Tok. Tok.
Maya menoleh secara refleks, dan pandangannya terpaku pada sosok perempuan yang baru masuk. Elegan, bergaun krem selutut, rambut disanggul rapi. Langkahnya ringan tapi percaya diri. Sejenak, Maya mengira itu salah satu pelanggan kaya yang tersesat mencari makan siang, tapi tatapan wanita itu langsung mengarah pada Reza.
Reza berdiri, menyambutnya dengan senyum tipis—senyum yang dulu pernah membuat Maya lemah, tapi kini hanya membuat perutnya mual. Pria itu membungkuk sedikit, memberi kecupan singkat di pipi perempuan itu.
Pipinya panas. Maya bahkan belum sempat memproses rasa marahnya sebelum perempuan itu berbalik, berjalan ke arahnya. Tatapannya tenang, tapi setiap langkah terasa seperti pisau yang mendekat.
"Kamu Maya, kan?" suara perempuan itu lembut, namun terdengar seperti ujian yang sudah tahu jawabannya.
Maya menegakkan punggung. "Iya. Ada yang bisa saya bantu?" Nada suaranya kaku, berusaha menjaga profesionalisme meski jantungnya menghantam tulang rusuk.
Perempuan itu menatapnya dari ujung kepala hingga kaki, lalu tersenyum kecil—senyum yang lebih mirip evaluasi. "Aku cuma ingin bicara sebentar. Tentang Nayla."
Nama itu membuat perut Maya mengeras. Ia merasakan semua pegawai dan pelanggan di sekitar mereka mencoba pura-pura tidak mendengar, padahal telinga mereka jelas terfokus.
"Aku dengar kamu sedang memperjuangkan hak asuh Nayla di pengadilan," lanjut perempuan itu. "Aku juga ingin kamu tahu… kami serius ingin dia tinggal bersama kami."
Maya mengerutkan kening. "Kami?"
Perempuan itu melirik sekilas ke arah Reza yang berdiri beberapa langkah di belakangnya. "Aku dan suamiku."
Kata itu—suami—jatuh seperti batu ke dada Maya.
"Maksud kamu… Reza?" suaranya nyaris berbisik.
"Ya." Perempuan itu tersenyum datar. "Kami menikah beberapa tahun lalu."
Maya merasa darahnya berhenti mengalir. "Kalian… menikah?" Napasnya tercekat. "Kamu tau nggak kalau dia… belum menceraikan aku?"
Perempuan itu mengangkat alis sedikit. "Tentu aku tahu. Tapi… kami menikah secara agama. Itu sah untuk kami. Aku pikir kamu pasti akan tahu juga, cepat atau lambat."
Kepala Maya berdengung. Suara pelanggan, denting piring, bahkan bunyi kipas angin di dapur mendadak terdengar jauh. Ia menatap Reza yang hanya berdiri di sana, wajahnya tanpa rasa bersalah sedikit pun.
Perempuan itu melanjutkan, nadanya lebih pelan, seolah mencoba menenangkan—padahal justru menusuk. "Aku tidak bisa punya anak. Sudah bertahun-tahun mencoba, semua usaha gagal. Nayla… bisa mengisi kekosongan itu. Aku ingin merawatnya. Memberinya rumah yang lebih baik, masa depan yang lebih cerah."
Maya menahan napas, matanya mulai panas. "Nayla punya rumah. Punya aku."
Reza akhirnya ikut bicara, suaranya rendah tapi penuh sindiran. "Maya, kamu tahu sendiri kamu nggak bisa kasih Nayla apa-apa selain perjuangan dan penderitaan. Lihat hidup kamu sekarang. Restoran kecil, kos sempit, utang menumpuk. Sementara kami bisa memberikan semua yang dia butuhkan."
"Semua?" Maya menatapnya tajam. "Kamu pikir uang bisa ganti setiap malam aku nemenin dia tidur? Ganti pelukan saat dia mimpi buruk? Ganti tawa kecilnya waktu aku nyuapin dia makan? Dia bukan piala yang bisa kamu pajang di rumah."
Perempuan itu menghela napas, lalu mengeluarkan foto Nayla dari tas tangan—foto yang jelas diambil dari media sosial. Ia meletakkannya di meja kasir. "Kalau kamu mau, kita bisa bicarakan ini baik-baik. Tapi kalau tidak…" Ia menatap Maya lurus, dingin. "Kami akan ambil lewat pengadilan."
Maya menggenggam meja kasir sampai buku jarinya memutih. "Kalian nggak akan pernah bisa ambil dia dariku. Selama aku masih bernapas."
Keheningan menegang di udara. Pegawai restoran menatap dari balik pintu dapur. Pelanggan pura-pura menunduk, tapi matanya melirik ke arah mereka.
Reza menyentuh lengan perempuan itu. "Ayo, kita pergi."
Sebelum berbalik, ia menatap Maya dengan senyum sinis—senyum yang mengatakan ini hanyalah permulaan.
Mereka berjalan keluar, meninggalkan aroma parfum mahal yang menyengat di udara. Maya berdiri mematung, telinganya masih berdengung, dadanya sesak. Ia baru saja mengetahui bahwa mantan—atau tepatnya, suami yang belum menceraikannya—telah menikah lagi. Dan perempuan itu sekarang ingin mengambil anak yang selama ini menjadi satu-satunya alasan Maya bertahan.
Untuk pertama kalinya, ancaman mereka terasa bukan sekadar gertakan. Mereka akan melakukan apa pun.
kamu harus jujur maya sama adrian.