:"Ya Allah, kalau Engkau tidak mengirimkan jodoh perjaka pada hamba, Duda juga nggak apa-apa ya, Allah. Asalkan dia ganteng, kaya, anak tunggal ...."
"Ngelunjak!"
Monica Pratiwi, gadis di ujung usia dua puluh tahunan merasa frustasi karena belum juga menikah. Dituntut menikah karena usianya yang menjelang expired, dan adiknya ngebet mau nikah dengan pacarnya. Keluarga yang masih percaya dengan mitos kalau kakak perempuan dilangkahi adik perempuannya, bisa jadi jomblo seumur hidup. Gara-gara itu, Monica Pratiwi terjebak dengan Duda tanpa anak yang merupakan atasannya. Monica menjalani kehidupan saling menguntungkan dengan duren sawit, alias, Duda keren sarang duit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Monica , isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
7
Hujan rintik-rintik sore itu membasahi halaman rumah kontrakan Monica. Ia baru tiba, mengenakan jaket abu-abu, sepatu sedikit basah karena menghindari genangan air. Aroma lavender dari diffuser menyambutnya di rumah mungilnya, memberikan rasa aman. Monica meletakkan tas dan menuju dapur untuk membuat teh. Pikiran tentang Teddy masih menghantuinya.
Belum sempat air mendidih, ponselnya berdering. Nama Teddy Indra Wijaya membuat dadanya mencelos. Ia mengangkat dengan ragu, "Halo?"
"Monica, kamu udah pulang?"
"Baru aja. Ada apa, Pak?"
Jeda hening. "Aku di depan rumah kamu."
Monica menoleh ke jendela. Mobil hitam itu sudah familiar. Jantungnya berdebar lebih cepat. Ia membukakan pintu. Teddy turun dari mobil, mengenakan kemeja biru tua dan celana bahan hitam. Wajahnya lelah, namun tatapannya hangat. Ia membawa kantong kertas.
"Aku nggak niat ganggu. Cuma... aku lewat tadi, sekalian nitip makanan buat kamu."
Ia menyodorkan kantong itu. Aroma nasi bakar dan ayam bumbu rujak tercium. Monica menerimanya kikuk, "Terima kasih… tapi kenapa repot-repot?"
"Karena aku tahu kamu suka lupa makan kalau lagi banyak pikiran."
Monica menunduk, tersenyum tipis. Teddy benar. Ia bahkan belum makan siang.
Setelah jeda canggung, Monica berkata, "Mau masuk sebentar?"
Teddy mengangguk. Mereka duduk di meja makan. Suara hujan menambah suasana sunyi yang menenangkan. Monica menyiapkan teh. Teddy diam, menatap meja, lalu berkata pelan, "Monica, aku minta maaf."
"Minta maaf soal apa?"
"Soal terlalu cepat menyatakan perasaan. Aku tahu kamu masih ragu. Dan aku akan kasih kamu waktu. Tapi aku juga nggak mau jadi pengecut yang mundur cuma karena takut ditolak."
Monica menggigit bibir. Matanya terasa panas, bukan karena sedih. Perasaannya diguncang habis-habisan.
"Pak Teddy…"
"Hm?"
"Kalau saya bilang saya juga punya rasa, tapi belum siap, Bapak akan menunggu?"
Teddy menatapnya teduh. "Aku bukan anak muda lagi, Mon. Aku nggak suka main-main. Tapi aku juga tahu... cinta itu bukan soal buru-buru. Aku akan menunggu. Tapi bukan selamanya."
Kalimat itu seperti alarm. Manis, namun penuh batas waktu.
Monica mengangguk, "Saya nggak janji akan cepat, tapi saya akan jujur. Dan saya nggak akan lari."
Teddy tersenyum tenang, tanpa tekanan. Hujan masih turun di luar, namun di hati Monica, kehangatan tumbuh perlahan—sebuah keyakinan yang belum utuh, namun mulai menunjukkan jalan.
Setelah Teddy pulang, Monica termenung di sofa. Gelas tehnya dingin, namun pikirannya hangat oleh percakapan mereka. Entah sejak kapan, Teddy mulai mengambil ruang dalam hidupnya.
Esoknya, suasana kantor kembali normal. Monica profesional seperti biasa, namun bayang-bayang senyum Teddy masih ada dalam benaknya.
Pukul 10.00, saat menyusun proposal, Nita datang tergopoh-gopoh, "Mon, aku dengar dari satpam semalam kamu dijemput Pak Teddy?!"
Monica mengerjap, "Nggak dijemput. Dia cuma mampir sebentar."
"Sebentar? Ih, jangan bohong. Satu kompleks udah pada tahu kalau dia mampir bawa makanan. Duh, romantis banget sih, Mon. Duda mapan, ganteng, perhatian. Aku sih yes!"
Monica tertawa kecil, "Kamu ini gosipnya menang cepet dari wartawan infotainment."
"Tapi serius, Mon. Kamu beneran nggak tertarik?"
Monica menghela napas, menutup laptopnya, "Bukan nggak tertarik, Nit. Aku cuma takut. Dia terlalu... segalanya."
"Dan kamu merasa nggak cukup?"
Monica menunduk, "Mungkin."
Nita menggenggam tangannya, "Mon, kamu perempuan yang baik, mandiri, punya hati tulus. Jangan biarkan rasa rendah diri menutupi peluang kebahagiaanmu. Teddy itu bukan cowok SMA. Dia pasti tahu kamu punya nilai."
Perkataan Nita seperti tamparan lembut.
Sore harinya, sepulang kerja, Monica mampir ke toko buku. Bukan untuk membeli novel, tapi ia ingin mencari buku tentang… menjadi istri kedua. Bukan karena ia ingin, tapi karena takut. Ia tahu status duda bisa membawa banyak cerita.
Saat membaca sinopsis, suara mengagetkannya, "Monica?"
Monica menoleh. Matanya membesar. Seorang perempuan berusia 40-an, mengenakan blazer hitam dan celana putih, berdiri di hadapannya. Wajahnya cantik dan elegan.
"Eh, maaf... saya—"
"Aku Amanda. Mantan adik ipar Teddy."
Monica menelan ludah. Dunia seakan berhenti. Amanda tersenyum manis, namun matanya tajam.
"Aku sering dengar namamu. Kamu dekat dengan Mas Teddy, ya?"
Monica tak tahu harus menjawab apa.
Amanda melanjutkan, "Nggak usah tegang, Monica. Aku cuma penasaran... karena selama ini, belum ada yang berhasil bikin Mas Teddy buka hatinya lagi. Kamu perempuan pertama yang bikin dia datang ke rumah sambil senyum-senyum sendiri. Hebat, ya."
Nadanya tenang, namun Monica mencium kecanggungan.
"Aku nggak tahu harus bilang apa, Mbak," jawab Monica.
"Nggak apa-apa. Aku cuma ingin bilang satu hal." Amanda menatap lurus. "Mas Teddy itu baik. Tapi jangan kira hatinya kosong. Kamu harus siap... menghadapi bayang-bayang masa lalunya."
Amanda pergi, meninggalkan Monica mematung. Bayang-bayang masa lalu? Monica merasa masuk ke kehidupan Teddy bukan hanya tentang belajar mencintai, tapi juga… menerima kisah yang belum tentu mudah untuk ditanggung bersama.