Perjanjian

Perjanjian

Perjanjian Bab 1

Satu Januari, Selasa pon, tahun 1985.

"Tin! Tini!"

Warto berlari-lari seperti orang kesetanan, dadanya turun naik dengan napas yang tersenggal-senggal. Lalu, pria itu menggedor-gedor pintu rumah yang terbuat dari kayu sambil meneriaki nama Rustini.

"Tin! Buruan keluar, aku mau ngomong sama kamu."

Rustini baru saja selesai salat subuh, dia melipat mukena yang sudah dia pakai dan segera menghampiri Warto.

"Ada apa sih, Kang? Kenapa pagi-pagi buta seperti ini berteriak-teriak dengan begitu kencang? Apa ada hal yang terjadi?"

Warto menepuk-nepuk dadanya, dia kesulitan untuk bernapas. Rustini yang melihat akan hal itu langsung mengambil air putih, lalu memberikannya kepada Warto.

"Bapak kamu loh, Kang Sardi. Pingsan di tempat sabung ayam," jawab Warto.

"Hah? Pingsan? Bapak pingsan karena apa?"

Walaupun bapaknya itu sering begadang, tetapi terlihat sangat sehat. Makanya Rustini merasa kaget ketika mendengar bapaknya pingsan di tempat sabung ayam.

"Ngak tau," jawab Warto salah tingkah.

Rustini menjadi curiga dibuatnya, dia tahu kalau tetangganya itu pasti menyembunyikan sesuatu hal dari dirinya. Kembali Rustini bertanya.

"Katakan saja, Kang. Jangan ada yang ditutup-tutupi, apa yang sebenarnya terjadi terhadap bapak? Kenapa bisa-bisanya bapak pingsan di tempat sabung ayam?"

Rustini merupakan anak piatu, dia hanya tinggal bersama dengan ayahnya saja. Dalam kesehariannya Rustini hanya membuat sapu lidi, uang yang dihasilkan juga tidak seberapa.

Sardi merupakan ayah dari Rustini, pria itu bekerja sebagai kuli bangunan. Kadang kerja dan kadang tidak, kesehariannya lebih banyak dihabiskan di tempat sabung ayam. Atau di tempat judi.

Ibu Rustini meninggal ketika melahirkan wanita itu, kini dia sudah berusia dua puluh tahun. Wanita itu belum menikah dan belum berani dekat dengan seorang pria, karena dia hanya anak orang tidak punya.

"Anu, Tin. Bapak kamu kalah taruhan sabung ayam, mana kalah taruhannya gede lagi. Makanya dia langsung pingsan," jawab Warto jujur.

"Astagfirullah! Kenapa sih bapak susah banget dibilanginnya? Padahal sudah berkali-kali Tini bilang jangan suka main sabung ayam, apalagi main judi. Begini kan' jadinya."

"Udah jangan ngomong terus, Tin. Mending sekarang kita ke tempat sabung ayam, takutnya nanti bapak kamu keburu mati kalau tidak buru-buru diselamatkan."

"Iya," jawab Rustini pada akhirnya.

Rustini dan juga Warto pergi ke tempat sabung ayam menggunakan motor milik Warto, motor jadul berwarna merah putih milik pria itu mengantarkan keduanya menuju tempat itu.

"Astagfirullah! Bapak!" teriak Rustini saat melihat keadaan ayahnya yang sudah tidak sadarkan diri.

Dia meminta tolong kepada warga yang ada di sana untuk membawa bapaknya itu menuju mantri setempat, mereka menggunakan gerobak untuk membawa Sardi menuju rumah mantri yang ada di sana.

Saat mantri memeriksa keadaan Sardi, ternyata pria itu mengalami stroke. Bibirnya miring ke kiri, tangan kiri dan juga kaki kirinya tidak bisa digerakkan. Bahkan, pria itu kesulitan untuk berbicara.

"Ya Allah, apa ada kesempatan untuk sembuh Pak Mantri?"

"Kesempatan untuk sembuh selalu ada, yang terpenting pak sardi mau melakukan terapi dan rajin meminum obat."

"Biaya obat sama terapinya pasti mahal ya, Pak Mantri?"

"Sangat mahal, obatnya juga tidak ada sama saya. Harus diperiksa ulang ke rumah sakit besar yang ada di kota agar bisa mendapatkan obat dari sana, atau Neng Tini bisa membelinya di apotek sesuai dengan resep dari saya. Tapi tak bisa sebagus obat dari rumah sakit yang ada di kota," jelas Dokter.

"Terus, kalau untuk biaya terapinya kira-kira berapa?"

"Sangat mahal, selain itu di sini tidak ada tempat untuk terapi. Harus pergi ke rumah sakit besar, atau tempat-tempat terapi khusus untuk orang stroke yang ada di kota."

"Duh Gusti! Aku kudu piye?"

Rustini pusing setengah mati mendengar apa yang dikatakan oleh dokter, dia ingin mengobati bapaknya tapi terkendala akan biaya.

"Kalau belum ada uang bisa dirawat secara mandiri di rumah saja," ujar Pak Mantri.

"Ya udah, dibawa pulang aja dulu. Nanti kalau saya punya uang, saya akan datang ke kota untuk membawa bapak berobat."

"Ya," jawab Pak Mantri.

Setelah melakukan pemeriksaan, Sardi dibawa pulang ke rumahnya. Rumah sederhana yang hanya ada dua kamar saja, rumah yang terbuat dari bilik bambu. Kalau musim dingin akan terasa begitu dingin, sedangkan musim panas akan terasa begitu panas.

"Bapak kenapa juga harus main sabung ayam? Jadinya kan' kayak gini," ujar Rustini sambil menatap wajah bapaknya yang belum sadarkan diri.

Selama ini yang Rustini ingat bapaknya itu memang senang sekali berjudi, senang sekali taruhan main sabung ayam. Dia sudah berkali-kali mengingatkan ayahnya itu, tetapi sayangnya tidak pernah didengar.

Walaupun Rustini merasa kesal terhadap sang ayah, tetapi dia tetap mengurusi ayahnya itu. Dia mengelap tubuh ayahnya dengan air hangat dan mengganti bajunya yang kotor, setelah itu dia menyiapkan makanan seadanya untuk ayahnya.

Tak lama kemudian Sardi sadar, Rustini dengan sabar memberikan bapanya air minum. Lalu, dia menyuapi bapaknya itu. Rustini sempat mengajak ayahnya untuk berbicara, tetapi pria itu begitu kesulitan untuk mengeluarkan kata-kata.

"Tini sudah berkali-kali bilang, Pak. Bapak itu nggak boleh judi lagi, Bapak nggak boleh main sabung ayam lagi. Kalau udah begini siapa coba yang repot, siapa nanti yang mau cari uang? Penghasilan Tini tak seberapa," ujar Tini.

Sardi hanya bisa menangis mendengar putrinya berbicara, entah rasa bersalah yang dia rasakan, atau rasa kesal terhadap putrinya itu. Atau mungkin rasa kasihan, Rustini tidak tahu.

"Bapak harus cepat sembuh, Tini nggak bisa beliin obat untuk Bapak. Apalagi ngajak Bapak buat terapi ke kota, obatnya mahal."

Sardi hanya bisa menganggukkan kepalanya, karena mencoba berbicara juga tetap saja tidak jelas. Rustini tidak paham dengan apa yang dikatakan oleh ayahnya itu.

Tok! Tok! Tok!

Di saat Rustini sedang berbicara dengan bapaknya, bunyi ketukan pintu depan terdengar dengan begitu nyaring. Bahkan terkesan tidak sabar untuk dibukakan, Rustini dengan cepat bangun dan membuka pintu rumah itu.

"Juragan Bahar, ada apa ya datang ke rumah saya?"

Juragan Bahar merupakan seorang rentenir yang tinggal di kampung itu, ketika ada orang yang kepepet butuh uang, pasti akan meminjam kepada juragan Bahar walau pun bunganya sangatlah tinggi.

"Mana Bapak kamu?"

Bukannya menjawab pertanyaan dari Rustini, pria itu malah kembali bertanya. Melihat kekesalan di wajah juragan Bahar, Rustini menjadi was-was dibuatnya.

"Ada apa ya, Juragan? Apa Bapak saya melakukan kesalahan?"

"Bapak kamu itu punya utang sama saya, setiap kali judi pasti minjem uang sama saya. Utangnya sepuluh juta, itu belum sama bunganya."

Dada Rustini terasa begitu sesak, dia bahkan memukul-mukul dadanya dengan air mata yang mulai mengalir di kedua pipinya.

"Besar sekali hutangnya," ujar Rustini lirih.

Jika rumah itu dijual saja, paling hanya laku dua juta. Jika digabungkan dengan kebun yang ada di belakang rumahnya, paling hanya ada uang sekitar dua juta setengah. Lalu, dari mana dia mencari sisanya untuk membayar hutang?

"Itu kamu tahu hutang bapak kamu banyak! Cepat bayar!"

"Ta---- tapi saya tidak punya uang Juragan," ujar Rustini dengan wajah memelas.

"Saya tidak mau tahu, cepat bayar!"

Rustini bersujud di hadapan juragan Bahar, dia meminta pengampunan atas ayahnya. Sungguh saat ini dia tidak memiliki uang banyak, hanya memiliki uang tujuh ratus rupiah saja. Itu pun hasil menjual sapu lidi, bingung sekali Rustini saat ini harus apa.

"Tolong berikan waktu kepada saya dan juga bapak saya, pasti saya akan membayarnya secara mencicil."

"Mencicil? Hahahahahahaha, seumur hidup kamu juga tidak akan pernah lunas, Tini!" bentak Juragan Bahar sambil tertawa dengan begitu kencang sekali.

"Maaf, Juragan. Tapi beneran saya pasti akan bayar walaupun dengan cara mencicil, saya akan mencari pekerjaan. Tolong berikan saya waktu," pinta Rustini mengiba.

Juragan Bahar berdecih, tak lama kemudian pria itu memindai penampilan dari Rustini. Tubuh wanita itu terlihat kurus, tetapi dadanya sangat besar. Bokongnya juga aduhai, air liur pria itu sampai hampir menetes.

"Gak perlu bayar juga bisa," ujar Juragan Bahar.

"Loh, kok gitu?" tanya Rustini heran karena setahunya juragan Bahar itu terkenal penggila uang dan juga wanita. Rasanya tidak mungkin akan mengikhlaskan uang sebesar sepuluh juta.

Terpopuler

Comments

kaliaa🐈🐈‍⬛👯

kaliaa🐈🐈‍⬛👯

HEIII THOR AKU KETINGGALAN🤣🤣🤣baru nyadar ada yang baru..xixixixixi

2025-08-15

1

💜⃞⃟𝓛 S҇ᗩᑎGGITᗩ🍒⃞⃟🦅༄⃞⃟⚡

💜⃞⃟𝓛 S҇ᗩᑎGGITᗩ🍒⃞⃟🦅༄⃞⃟⚡

dasar rentenir mata keranjang
itu modus saja
moso rumah di hargai 2 juta ,

2025-08-07

0

Ass Yfa

Ass Yfa

rumah 2 jt..dizaman aku baru lahir 85...itu wajar seh

2025-08-13

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!