Putri Rosella Lysandrel Aetherielle, anak bungsu Kerajaan Vermont, diserahkan sebagai tawanan perang demi menyelamatkan tahta dan harga diri keluarganya.
Namun yang ia terima bukan kehormatan, melainkan siksaan—baik dari musuh, maupun dari darah dagingnya sendiri.
Di bawah bayang-bayang sang Duke penakluk, Rosella hidup bukan sebagai tawanan… melainkan sebagai alat pelampiasan kemenangan.
Dan ketika pengkhianatan terakhir merenggut nyawanya, Rosella mengira segalanya telah usai.
Tapi takdir memberinya satu kesempatan lagi.
Ia terbangun di hari pertama penawanannya—dengan luka yang sama, ingatan penuh darah, dan tekad yang membara:
“Jika aku harus mati lagi,
maka kau lebih dulu, Tuan Duke.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Luo Aige, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jejak di balik kabut
Berita tentang kematian Valdrosh menyebar jauh lebih cepat dari yang Rosella perkirakan.
Malam ini, gadis itu berencana kabur dari barak militer demi mencari kehidupannya sendiri. Namun, sebelum itu, ada satu hal lain yang harus ia selesaikan.
Pagi dan siang berlalu tanpa ampun, dan ketika malam kembali menyelimuti, Rosella beraksi lagi. Bedanya kali ini, ia sama sekali tidak kembali ke barak militer. Mungkin saja kabar tentang hilangnya dirinya kini tengah menjadi buah bibir di seluruh kamp.
Sementara itu, di sisi lain, Duke Orion memerintahkan seorang dokter forensik untuk menyelidiki kematian Jenderal Valdrosh.
“Apa yang terjadi sebelum Jenderal Valdrosh meninggal?” tanya dokter forensik itu, suaranya tenang namun penuh wibawa. Wajahnya menunjukkan pengalaman panjang di bidangnya.
Orion melirik ke arah Kaelric dan Veyrund, memberi isyarat agar mereka yang menjelaskan.
“Dua hari lalu, kami bersenang-senang. Menikmati tarian … meminum anggur,” ujar Kaelric, terdengar sedikit gugup. “Valdrosh bilang dia merasa sangat mabuk—padahal dia peminum tangguh. Baru satu tegukan, dia sudah mengeluh pusing.”
“Benar,” timpal Veyrund. “Tapi siapa sangka, keesokan paginya aku menemukannya tergeletak tak berdaya … muntah darah.”
Sang dokter forensik, Dr. Lucas Arvendral, menunduk memeriksa catatan dan kembali menatap mereka. “Tidak ada riwayat penyakit jantung, peminum berat. Ada kemungkinan besar … Jenderal Valdrosh diracuni.”
“Diracuni?” Kaelric mengulang, terkejut.
Lucien mengangguk mantap.
“Apakah kau yakin?” tanya Orion, matanya menyipit tajam.
“Saya yakin, Yang Mulia. Jika seseorang tanpa riwayat penyakit jantung akut meninggal mendadak dan dinyatakan terkena serangan jantung … bukankah itu mencurigakan?” jawab Lucas serius.
Kaelric terdiam sejenak, lalu matanya melebar, mengingat sesuatu. “Wanita rendahan itu …! Putri tak tahu diri itu! Pasti dia! Pasti dia yang meracuni Valdrosh! Aku harus menghabisinya sekarang juga!”
Ia hendak beranjak, namun Varron cepat menghadang. “Minggir!” bentak Kaelric.
“Jenderal, semua belum terbukti. Kita tidak boleh menuduh orang sembarangan,” kata Varron tegas.
“Menuduh? Siapa lagi yang mencekoki Valdrosh minuman kalau bukan wanita sialan itu?!” Kaelric membalas garang.
Varron melirik ke arah Duke Orion, mencari keputusan. Orion hanya mengangguk pelan … lalu mengedipkan matanya sekali.
Kemarahan Kaelric semakin menjadi. Veyrund, yang berdiri di sisi lain, ikut bergerak mengikuti. Keduanya meninggalkan ruangan, tekad mereka jelas, menghakimi Rosella.
Sementara Orion melanjutkan penyelidikannya, suasana ruang strategi terasa berat. Api dari obor di sudut ruangan berkedip-kedip, memantulkan bayangan panjang di dinding.
“Bagaimana kau tahu jika dia diracuni?” tanya Orion lagi, kali ini nada suaranya lebih serius, matanya mengunci pada Dr. Lucas Arvendral.
Lucien menatap sang Duke singkat sebelum menjawab, “Mungkin saja iya … mungkin saja tidak. Hal itu hanya bisa dipastikan jika saya melakukan autopsi terhadap Jenderal Valdrosh.”
Orion langsung menimpali, “Lakukan autopsi.”
“Yang Mulia,” Varron menyahut cepat, nada suaranya hati-hati namun tegas, “keluarga Duskbane tidak akan mengizinkan.”
Orion menoleh perlahan, tatapannya setajam belati. “Apakah aku terlihat memerlukan izin mereka?”
Keheningan menyelimuti ruangan. Varron menelan ludah, lalu mengangguk tipis. “Baik, akan saya atur.”
Lucas hanya menunduk sedikit, mencatat sesuatu di buku kulitnya.
Namun sebelum pembicaraan itu bisa berlanjut, suara langkah tergesa-gesa terdengar di luar koridor. Semakin dekat … hingga BRAK! pintu ruang strategi terbuka keras.
Seorang prajurit muda masuk dengan napas terengah-engah, wajahnya pucat. Matanya menyapu ruangan sebelum akhirnya jatuh pada sosok Duke Orion.
“Y–Yang Mulia!” suaranya bergetar. “Tawanan… Putri Rosella… kabur dari ruang tahanan!”
Ruangan itu seketika membeku. Varron menoleh cepat, sementara beberapa perwira saling berpandangan tak percaya. Api obor seolah meredup, menyisakan ketegangan yang menusuk.
Orion berdiri perlahan dari kursinya, mantel hitamnya bergeser mengikuti gerakan itu. Tatapannya menusuk prajurit yang baru saja memberi laporan, suaranya berat dan terkendali.
“Sejak kapan?”
“P–penjaga sel ditemukan pingsan, Yang Mulia. Kami baru menyadarinya saat pergantian jaga … dia sudah tidak ada di tempat.”
Orion menghela napas panjang, seolah menahan amarah. Lalu ia menoleh pada Varron.
“Tutup semua akses keluar dari kompleks barak. Perintahkan regu patroli menyisir setiap lorong, gudang, dan jalur pasokan. Tidak ada satu pun yang bergerak tanpa sepengetahuan kita.”
“Siap, Yang Mulia!” Varron memberi hormat tegas sebelum bergegas keluar, perintahnya langsung menggema di halaman barak.
Lucas menatap Orion, tapi tidak berkata apa-apa. Sementara sang Duke berdiri diam, sudut bibirnya terangkat tipis—sebuah senyum miring yang hanya dia tahu artinya. Rosella .…
~oo0oo~
Suara langkah tergesa menggema di halaman dalam barak. Veyrund sedang memeriksa persediaan senjata ketika seorang prajurit mendekat, wajahnya pucat.
“Jenderal! Tawanan perempuan… Putri Rosella … dia menghilang!”
Veyrund mendongak tajam. “Sejak kapan?” suaranya rendah, bergetar menahan amarah.
“Penjaga sel ditemukan pingsan sejak malam sebelum fajar, Jenderal. Kami baru menyadarinya pagi ini … setelah kekacauan soal kematian Jenderal Valdrosh sedikit mereda.”
Belum sempat prajurit itu menambahkan, Kaelric—yang berdiri tak jauh—melangkah mendekat. “Berarti dia sudah punya banyak waktu untuk menjauh.”
Veyrund langsung meraih pistolnya, matanya menyipit. “Bagi pasukan jadi dua. Aku ke sisi barat, Kaelric ke timur. Cari sampai dapat.”
Kaelric mengangguk singkat, lalu menarik pistol dari holsternya sebelum berlari meninggalkan halaman.
Di sisi hutan timur
Kabut pagi menyelimuti pepohonan di belakang barak. Embun menetes dari dedaunan, membasahi tanah yang licin. Kaelric bergerak cepat, matanya menyapu jejak kaki samar di tanah basah, telinganya waspada menangkap suara sekecil apa pun.
Tiba-tiba, di antara bunyi ranting patah, terdengar gemerisik dari semak di depannya. Nalurinya langsung bekerja; ia mengangkat pistol, melangkah pelan mendekati sumber suara.
Namun sebelum ia sempat melihat siapa di balik semak itu, dinginnya moncong pistol menempel di pelipisnya dari belakang. Napas lembut namun terengah terdengar di dekat telinganya.
“Lepaskan senjatamu … Jenderal,” suara Rosella pelan, tapi mengandung ancaman yang nyata.
Kaelric membeku sejenak. Ia bisa merasakan getaran halus di genggaman Rosella—tanda gadis itu gugup, namun tetap memaksakan kendali.
“Berani sekali kau membalikkan keadaan seperti ini,” Kaelric berkata tenang, matanya melirik ke samping.
“Diam … dan maju tiga langkah,” Rosella menekan pistolnya lebih kuat. “Atau peluru ini akan mengakhiri masalahmu dan masalahku sekaligus.”
Jauh di kejauhan, samar-samar terdengar suara Veyrund memanggil. Tapi di sini, di tengah kabut hutan, hanya ada Rosella … dan Kaelric yang untuk pertama kalinya berada di ujung ancaman.
Moncong pistol dingin itu menempel di pelipisnya. Kaelric berdiri kaku, tapi tatapannya tetap mengunci Rosella dari sudut mata.
“Kau pikir bisa lolos sendirian di luar sana?” suaranya rendah, dalam, seolah mencoba menembus lapisan ketenangan gadis itu. “Turunkan senjatamu, Putri. Aku bisa—”
Klik!
Suara pelatuk yang ditarik terdengar nyaring, memotong kata-katanya. Burung-burung di dahan terdekat beterbangan, dan hutan kembali tenggelam dalam keheningan yang mencekik.
Kaelric terdiam sepersekian detik, rahangnya mengeras. Rosella mencondongkan tubuh sedikit, jarak wajah mereka hanya sejengkal. Mata hazel itu berkilat—penuh tekad dan kegelisahan, seperti binatang buruan yang siap menerkam pemburu.
“Aku tidak butuh perlindunganmu, Jenderal,” bisiknya, suaranya dingin namun bergetar tipis. “Langkahkan kakimu sekali saja … dan kita lihat siapa yang masih berdiri.”
~oo0oo~
Siang itu, matahari menggantung tinggi di atas barak militer Ashguard Hall, memanggang batu-batu halaman hingga memantulkan cahaya menyilaukan. Udara panas membuat para prajurit berkeringat di balik zirah, namun kegiatan mereka berjalan normal—sampai teriakan panik dari arah pagar timur memecah rutinitas.
Dua penjaga yang sedang berpatroli muncul tergesa, napas memburu, mata mereka lebar penuh kepanikan. Mereka memanggil bantuan, dan langkah kaki pasukan yang mendekat terhenti begitu melihat apa yang terbujur di tanah berumput dekat batas hutan.
Jenderal Kaelric.
Tubuhnya tergeletak miring, seragam militernya ternoda darah yang mulai menghitam, mengering di serat kain. Di pelipis kanannya menganga lubang tembak jarak dekat—bersih, dingin, mematikan. Burung gagak berputar rendah di atas kepala, mengeluarkan suara serak yang membuat udara siang terasa lebih berat.
Seorang prajurit berlutut di sisinya, jemarinya gemetar saat menyentuh tanah becek di dekat kepala sang jenderal. “Dia … dia sudah dingin .…” ucapnya parau, matanya tak berani menatap wajah pucat itu terlalu lama.
Tak jauh dari tubuhnya, setengah tersembunyi di balik dedaunan, tergeletak sebuah pistol. Cahaya matahari memantul pada ukiran khas lambang keluarga Duskbane di pegangannya. Begitu melihatnya, para penjaga saling bertukar pandang—wajah mereka menegang. Semua tahu, itu adalah senjata pribadi milik mendiang Jenderal Valdrosh.
“Bagaimana bisa …?” bisik salah satu dari mereka, nadanya nyaris tercekat. “Valdrosh sudah mati .…”
Tanpa buang waktu, pistol itu dibungkus dengan kain dan dibawa menuju ruang strategi.
Di dalam, Duke Orion berdiri di depan meja peta, tangannya bertumpu pada permukaan kayu, sementara Varron dan beberapa perwira menunggu instruksi. Pintu terbuka keras, membuat semua kepala menoleh.
“Yang Mulia,” salah satu penjaga memberi hormat, napasnya masih terengah. “Kami menemukan Jenderal Kaelric di dekat batas hutan … mati tertembak di pelipis. Dan … ini.”
Ia membuka gulungan kain. Pistol dengan ukiran Duskbane berkilau dingin di bawah cahaya obor.
Ruangan mendadak sunyi. Orion menatap senjata itu tanpa berkedip, jemarinya perlahan menyusuri ukirannya seakan mencoba meraba jejak tangan terakhir yang memegangnya. Udara di ruangan terasa menekan; para perwira saling melirik, menunggu reaksi sang Duke.
“Di mana tepatnya kalian menemukannya?” tanya Orion, suaranya datar namun mengandung ketajaman yang membuat punggung siapa pun merinding.
“Di tanah, tak jauh dari tubuh Jenderal Kaelric, Yang Mulia. Tidak ada jejak jelas menuju atau meninggalkan lokasi.”
Orion mengangguk perlahan. Sorot matanya berubah—dingin, tajam, seolah potongan terakhir dari teka-teki kini sudah di tangannya. Sudut bibirnya terangkat sedikit, membentuk senyum miring yang hanya dia pahami.
Dan di dalam kepalanya, nama itu muncul lagi… jelas, tak terbantahkan.
Rosella.
.
.
.
Bersambung ....