Cinta bertepuk sebelah tangan sungguh menyakitkan hati Nadila Putri. Nyatanya Abdullah cinta pertamanya justru mencintai wanita lain yaitu Silfia Anwar.
Nadila pun memilih pergi meninggalkan mereka demi persahabatan.
Nadila memilih bekerja di UEA menjadi tkw, tetapi belum ada satu tahun kedua orang tuanya menyuruhnya pulang. Namun, tidak Nadila sangka ketika tiba di Indonesia justru dijodohkan dengan Abdullah.
Apakah Abdullah akan menerima Nadila? Lalu bagaimana nasib Silfia. Kita ikuti kisahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Buna Seta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33
"Non Dila..." ucap Martini senang, ketika membuka pagar ternyata majikannya dulu yang datang. Ia berharap kedatangan Dila akan mengembalikan keadaan rumah yang sudah seperti neraka ini kembali menjadi surga.
"Iya Mbak, saya mau mengantar pesanan" Dila tersenyum ke arah Martini, lalu ambil paperbag dari motor, memberikan kepada ART itu. Dila lega karena tidak bertemu orang-orang yang ingin ia hindari.
"Saya pikir Non Dila akan kembali ke rumah ini" polos Martini.
Dila hanya menanggapi dengan tersenyum masam, Martini ada-ada saja. Jika bukan karena tugas, ia tidak akan lagi datang ke rumah yang mengingatkan kisah pahitnya dulu.
"Ini notanya" Dila juga menunjukkan bon di atas box.
"Tapi..." Martini ingin mengucap kata-kata, tapi terasa berat.
"Ada apa Mbak, terima dulu sarapannya" Dila mengulang kata-kata ketika Martini tidak juga menerima paperbag.
Prank... Prank... praaannnkk...
Suara lemparan barang pecah dari dalam rumah itu, disertai teriakan seoarang wanita, dan bentakkan seoarang pria. Dila dan Martini saling pandang. Dila segera tahu apa alasan Martini yang tidak segera menerima paperbag.
"Kamu gila Bang! Ternyata rumah ini sudah atas nama Dila!" Teriakan Silfia dari kamar utama itu terdengar jelas di telinga Dila.
"Dengar Silfia, saya membuat rumah ini sebelum menikah dengan kamu! Bukankah kamu yang ngotot ingin pindah ke rumah ini? Ya sudah, terima saja jangan pernah kecewa karena jika semua harta saya berikan kepada Dila pun belum cukup untuk membayar kesalahan yang pernah kita buat!"
Dila mendengarkan pertengkaran yang membawa-bawa namanya itu kesal.
"Hampir setiap hari mereka itu bertengkar seperti itu Non" tutur Martini tanpa Dila tanya, ia pusing karena sekarang bekerja di rumah ini harus menginap atas permintaan Silfia, tapi setiap hari harus membersihkan benda pecah belah yang hancur karena dibanting Silfia.
"Yang sabar ya Mbak, kalau sudah tidak kuat bekerja, jangan dipaksakan" nasehat Dila.
"Andai saja, Non Dila tidak pergi dari rumah ini" Martini menatap lekat wajah Dila, timbul pertanyaan. Mengapa bukan wanita lembut ini yang mendampingi majikannya.
"Sudahlah Mbak, kalau gitu saya permisi saja" Dila memberikan nomor rekening catering agar Abdullah transfer saja. Kemudian pergi meninggalkan rumah itu.
Sementara Martini membawa paperbag masuk. Tiba di dalam, Abdullah sudah duduk di kursi meja makan masih ngos-ngosan tampak menenangkan emosi di hatinya. Martini meletakkan pesanan di atas meja makan tersebut tanpa berkata-kata.
Abdullah pun memperhatikan box yang bertuliskan Catering Eco, seketika ingat jika ia memesan sarapan.
"Mana pengantar makanan ini Mar?" Tanya Abdullah karena belum dia bayar.
"Sudah pergi Tuan, tapi Non Dila memberikan nomor rekening" Martini memberikan secarik kertas.
"Dila yang mengantar? Kenapa kamu tidak bilang saya, Mar" Abdullah kesal karena Martini tidak memberi tahu dirinya. Padahal ia ingin sekali bertemu mantan istrinya itu, entah seperti apa wajah wanita itu sekarang.
"Maaf Tuan, soalnya Tuan dengan Non Silfia sedang..." Martini tidak berani melanjutkan kata-katanya jika Abdullah sedang bertengkar.
"Dia sehat Mar?" Abdullah ingin tahu lebih banyak tentang Dila.
"Sehat Tuan, Non Dila sekarang semakin cantik, badanya berisi dan segar" jujur Martini.
Plok Plok Plok.
Suara tepuk tangan dari belakang, membuat Martini dan Abdullah menoleh. Tahu jika akan ada perang dunia yang sudah ribuan kali, Martini hendak meninggalkan tempat itu.
"Mau kemana, Kamu!" Silfia menghentikan langkah Martini. Dia mendengarkan percakapan itu, hatinya meradang. Abdullah nyata-nyata masih menanyakan Dila dan keadaannya. Terlebih, penuturan Martini itu membuat telinganya merah.
"Kamu sudah keterlaluan sekali, Bang!" Silfia melangkah maju, tanganya hendak menggapai kotak di atas meja. Niatnya ingin membuang makanan tersebut, tapi tangan Abdullah lebih cepat menyambar.
"Kamu berani membuang makanan ini, saya stop uang belanja satu bulan ini!" Abdullah mendelik gusar, pria itu melengos pergi, membawa makanan masuk ke mobil lalu pergi.
************
Di tengah Matahari yang sedang panasnya, Dila mengendarai motor dengan gesit melawan kecepatan di jalan yang padat. Sebagai pengantar makanan, ia harus tepat waktu dan memastikan bahwa pesanan tiba di tangan pelanggan dengan cepat. Dila memotong jalan memanfaatkan celah-celah kecil di antara kendaraan yang lain. Dila kini seperti penjelajah kota, mengetahui jalan dan gang yang berada di kota Jakarta. Namun, walaupun sudah berusaha sebaik mungkin, kadang masih juga terlambat. Seperti sekarang ini, jika biasanya jam 12 sudah tiba di Catering, kali ini hingga jam satu lebih.
"Alhamdulillah akhirnya sampai juga" gumamnya ketika membuka helm di halaman catering, walaupun siang ini tiba di tempat tidak tepat waktu, tapi masih ada waktu untuk shalat dzuhur.
Dila berjalan cepat menuju mushala, memastikan tidak berpapasan dengan Tony. Jika sudah bertemu Tony, pria itu pasti akan menagih janji tadi pagi untuk mengajak makan siang. Bukanya menolak, tapi Dila ingin shalat lebih dulu.
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh..." ucap Dila selesai Tahiyat akhir, berdoa sebentar, kemudian meninggalkan mushala.
"Humaira, perut aku sudah berteriak-teriak minta diisi, tapi nunggu kamu lamaaa..." ucap Tony terdengar lebay di telinga Dila.
"Harusnya kak Imam makan dulu saja" Dila mengatakan tidak bisa memastikan jika perjalanan pecat, kadang lancar, kadang macet.
"Mana mungkin aku membiarkan calon istri aku makan sendiri" Tony terkekeh.
Dila tidak menyahut lagi, karena ia sering kali mendengar gombalan Imam seperti itu. Kecuali mengucap kata terimakasih, karena Tony sengaja menyisihkan jatah nasi kotak untuknya. Dila kadang bingung segitu perhatian Imam kepadanya. Mereka kali ini duduk di taman yang sejuk tidak jauh dari mushala, kemudian makan.
"Dila" ujar Tony setelah meneguk air kemasan gelas, karena makan sudah selesai.
"Apa, Kak?" Dila penasaran juga karena Tony tadi pagi ingin berbicara penting kepadanya.
"Kamu sudah punya pacar?" Wajah Tony tampak serius menunggu jawaban Dila.
"Belum" Hanya itu jawaban Dila, lalu merapikan box yang sudah kosong.
"La... Jujur, aku menyukaimu sejak pertama kali kamu bekerja di tempat ini. Aku tidak mau basa basi La, maukah kamu menjadi istri aku?"
...~Bersambung~...
lihat aja Silfia jika benar itu kamu.. bersiaplah terima kehancuran mu
Lanjuuuttt thooorrr 👍
Tetap semangaaaattt 💪
silfia kah ??🤔🤔
Pastilah orang mikir kemana2
Apalagi yang memang iri dan punya niat kurang baik.. berasa dikasi asupan..
Bersyukur Tristan orangnya dewasa dan bijak.. bisa mikir positif.. klo laki2nya yang lain bisa jadi runyam..
Makanya Dila.. sebelum melakukan sesuatu mikir dulu.. jan impulsif.. 🤦🏻♀️🤦🏻♀️😤😤