Siapa sangka, kematian konyol karena mesin penjual minuman bisa menjadi awal petualangan terbesar dalam hidup… atau tepatnya, setelah hidup.
Ketika bangun, ia bukan lagi manusia, melainkan seekor bebek rawa level 1 yang lemah, basah, dan jadi incaran santapan semua makhluk di sekitarnya.
Namun, dunia ini bukan dunia biasa. Ada sistem, evolusi, guild, perang antarspesies, bahkan campur tangan Dewa RNG yang senang mengacak nasib semua makhluk.
Dengan kecerdikan, sedikit keberuntungan, dan banyak teriakan kwek yang tidak selalu berguna, ia membentuk Guild Featherstorm dan mulai menantang hukum alam, serta hukum para dewa.
Dari seekor bebek yang hanya ingin bertahan hidup, ia perlahan menjadi penguasa rawa, memimpin pasukan unggas, dan… mungkin saja, ancaman terbesar bagi seluruh dunia.
Karena kadang, yang paling berbahaya bukan naga, bukan iblis… tapi bebek yang punya dendam..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yuyuka manawari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 27: Terkuat Karena Berusaha
War Spesies Akan Datang.
Informasi itu kudapat dari Vlad beberapa hari lalu. Ia menyampaikannya dengan wajah serius, seolah-olah kabar itu adalah beban berat yang menempel di pundaknya. Perang antar spesies, sebuah peristiwa besar yang dulu pernah disebutkan oleh Dewa RNG. Tidak lagi sekadar rumor. Kali ini sudah ada tanggal, lokasi, dan tanda-tanda jelas bahwa perang itu benar-benar akan dimulai.
Empat kerajaan akan saling bertempur. Dan kemungkinan besar, kerajaan rawa akan masuk sebagai salah satu dari empat pihak yang berperang.
Aku masih bisa mengingat detail yang Vlad sampaikan. Perang akan dimulai tepat pada tanggal yang sudah ditetapkan. Lokasinya masih dirahasiakan oleh sistem, namun tanda-tanda pergerakan sudah mulai terlihat. Aku tahu, waktuku tidak banyak.
Kerajaanku memang sudah punya perjanjian damai dengan Ratu Lira dari kerajaan musang. Ia sudah berjanji tidak akan membuat konflik denganku, dan aku juga menghindari bentrokan yang tidak perlu dengannya. Itu membuat pihak musang keluar dari daftar ancaman. Namun, masih ada dua kerajaan lain yang bisa menjadi lawan berbahaya: kerajaan buaya dan kerajaan kelinci.
Kerajaan buaya di timur sudah jelas kekuatannya, mereka terkenal dengan sisik keras dan gigi tajam. Tapi yang lebih membuatku resah adalah kerajaan kelinci. Sampai sekarang, aku belum punya informasi yang cukup tentang mereka. Vlad masih dalam pencarian, berusaha melacak keberadaan para kelinci itu. Seolah mereka sengaja menghilang dari catatan dunia, membuat keberadaan mereka misterius.
Jika kupetakan berdasarkan wilayah:
-Kerajaan barat dulunya adalah kerajaan Pekokok, tapi sekarang sudah ditinggalkan.
-Timur dikuasai oleh buaya.
-Selatan adalah wilayah musang di bawah Ratu Lira, yang letaknya berdekatan dengan kerajaan rawa milikku.
-Maka, secara logika, kerajaan kelinci pasti berada di utara.
Karena itu aku mulai mengantisipasi dengan membangun markas rahasia di barat. Bunker tersembunyi, semacam benteng darurat. Pembangunannya masih jauh dari selesai, namun setidaknya aku sudah memulai langkah berjaga-jaga.
Hari-hari berikutnya, selain menunggu kabar dari Vlad, aku menghabiskan waktuku di aula latihan bersama para bebek muda. Zaza, Poci, dan Titi. Mereka adalah pondasi awal dari kekuatan kerajaan rawa ini.
Zaza, akhir-akhir ini lebih sering pergi bersama Vlad untuk bertugas sebagai pengintai. Sayapnya lincah, paruhnya tajam, ia punya insting bertahan hidup yang jauh di atas Poci dan Titi. Karena itu aku percaya padanya untuk menjelajahi wilayah berbahaya.
Sedangkan Poci dan Titi lebih sering bersamaku di aula. Mereka berdua punya kombinasi serangan yang bagus ketika bekerja sama. Gerakan mereka sudah semakin kompak, saling menutupi celah yang ada. Namun ada masalah besar: mereka terlalu bergantung satu sama lain.
Aku sering membayangkan kemungkinan terburuk: bagaimana jika perang nanti memisahkan mereka? Bagaimana jika mereka harus bertarung sendirian di medan perang?
Dalam kondisi seperti itu, hanya Zaza yang bisa bertahan hidup. Poci dan Titi… mereka berdua masih terlalu lemah jika berdiri sendiri.
Karena itu aku menekankan latihan terpisah. Setiap hari aku memaksa mereka untuk berduel, mencoba menyerang dan bertahan tanpa bantuan.
Hari ini, aula latihan terasa lebih sepi. Zaza dan Vlad tidak ada, mereka sedang dalam misi pengintaian. Hanya ada aku, Poci, Titi, dan Violetta.
Lantai aula yang terbuat dari kayu bergemuruh setiap kali kaki Poci dan Titi menghantamnya. Mereka bergerak cepat, sesekali beradu sayap, terkadang salah satu terjatuh lalu bangkit lagi. Nafas mereka memburu, keringat membasahi bulu halus di leher.
“Lagi!” perintahku tegas.
Poci mengerang pelan, tapi kembali maju. Titi menurunkan kepalanya, mencoba menahan serangan dari depan. Gerakan mereka memang sudah lebih baik dibanding beberapa minggu lalu, tapi aku bisa melihat dengan jelas bahwa kepercayaan diri mereka goyah.
Saat aku menyebutkan kemungkinan mereka berpisah, ekspresi wajah mereka langsung berubah. Poci menunduk, paruhnya gemetar. Titi menatap lantai, sayapnya mengendur seakan kehilangan tenaga.
“Kenapa wajah kalian begitu?” tanyaku datar. “Di medan perang nanti, kalian tidak bisa berharap selalu bersebelahan. Musuh tidak akan memberi kesempatan untuk itu.”
Poci akhirnya membuka suara setelah lama hanya menunduk. Suaranya terdengar pelan, sedikit bergetar.
“Kalau kita bertiga berpisah… yang dikatakan oleh Raja memang benar. Aku yakin aku tidak bisa bertahan sendirian.”
Titi yang duduk di sampingnya segera menyahut. Ia membuka paruh dengan cepat, nadanya terburu-buru seakan takut terlambat mengutarakan isi hatinya.
“Aku setuju, Rajaku. Aku juga merasa lemah dan tidak berdaya jika dipisahkan dari mereka berdua.”
Aku menegakkan tubuhku. Paruhku perlahan membuka, dan begitu suaraku keluar, aula latihan yang berdinding batu keras itu langsung bergema. Suasana hening berubah tegang.
“Mungkin kalian sudah tahu di mana letak kekurangan kalian,” ucapku, suaraku bergetar tapi tegas. “Dulu aku pernah bilang soal itu, bukan? Dan sekarang aku ingin kalian benar-benar memikirkannya lagi.”
Aku menatap keduanya bergantian, sorot mataku tidak berpaling.
“Ketika kalian sadar ada kelemahan, jangan berhenti hanya pada pengakuan. Periksa lagi, uji lagi, hadapi lagi. Salah satu masalah terbesar kalian adalah—” aku menarik napas singkat, lalu menghentakkan kata-kata, “—kalian belum pernah bertarung melawan musuh yang benar-benar punya nafsu membunuh.”
Poci dan Titi terkejut. Dari cara sayap mereka menurun dan kepala ikut tertunduk, aku tahu ucapanku menusuk. Mereka tidak membantah, hanya terdiam.
“Perhatikan baik-baik,” lanjutku, suaraku makin dalam, “pergerakan musuh, cara musuh melihat, langkah mereka dari jauh hingga mendekat. Semua itu harus kalian pahami. Kalau tidak, kalian hanya akan jadi sasaran.”
Aku mencondongkan tubuh sedikit, memastikan ucapan ini masuk ke dalam kepala mereka.
“Tapi ada yang lebih penting dari itu… berusahalah untuk menjadi yang terbaik di bidang kalian.”
Kini mataku menatap lurus ke arah Poci.
“Poci, kemampuanmu sangat berguna. Kamu bisa membutakan pandangan musuh dengan pantulan cahaya. Tapi tanyakan pada dirimu sendiri, apa yang akan kamu lakukan jika musuh yang kamu hadapi tidak bisa dibutakan oleh cahaya itu? Kamu harus punya jawaban sebelum waktunya tiba.”
Aku kemudian menoleh ke arah Titi.
“Dan kamu, Titi. Kepala dan tubuhmu kuat, mampu menabrak musuh hingga mundur. Tapi bagaimana kalau suatu saat kamu menghadapi musuh yang tidak bisa digoyahkan begitu saja? Apa kamu hanya akan menabrak sampai tubuhmu hancur? Atau kamu sudah menyiapkan cara lain?”
Keduanya semakin menunduk. Bulu di leher mereka sedikit mengembang, tanda campuran malu dan tekanan. Aku sengaja tidak melunak.
“Aku tidak akan membantu kalian mencari jawabannya,” kataku keras. “Karena aku bukan kalian. Aku hanya seseorang yang harus kalian dampingi. Yang bisa membuktikan kemampuan itu hanya kalian sendiri. Jadi, buktikan padaku.”
Suasana di ruangan itu begitu sunyi hingga suara angin yang masuk lewat celah-celah bebatuan pun terdengar jelas.
Aku mengendurkan sedikit nada suaraku, meski tetap tegas.
“Kombinasi kalian sudah semakin membaik dari hari ke hari, itu aku akui. Tapi jangan terlena. Musuh yang akan kita hadapi akan terus menguat seiring berjalannya waktu. Dan bila kalian tidak melampaui batas kalian sendiri, kalian hanya akan tertinggal.”