Dion hanya ingin menuntaskan misinya di Rumah Hantu Batavia, tapi malam pertamanya di penginapan tua itu berubah menjadi teror yang nyata. Keranda tua terparkir di depan pintu, suara langkah basah menggema di lorong, keran bocor, pintu bergetar, dan bayangan aneh mengintai dari balik celah.
Saat ponselnya akhirnya tersambung, suara pemilik penginapan tidak kunjung menjawab, hanya dengkuran berat dan derit pintu yang menyeret ketakutan lebih dalam. Sebuah pesan misterius muncul, “Hantu-hantu yang terbangun oleh panggilan tengah malam, mereka telah menemukanmu.”
Kini Dion hanya bisa bersembunyi, menggenggam golok dan menahan napas, sementara langkah-langkah menyeramkan mendekat dan suara berat itu memanggil namanya.
”Dion...”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon J Star, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berbeda dari Sebelumnya
“Mereka datang sekarang?” Dion mengangkat alis, sama sekali tidak gentar mendengar kabar dari Julian mengenai para seniornya.
“Aku mempertaruhkan nyawaku dengan menyampaikan informasi ini,” ujar Julian dengan suara bergetar. “Para senior berencana merekam video konyol di dalam Rumah Hantu Mas, lalu mengunggahnya ke internet demi membuat Senior Tiara tertawa. Kuharap Mas tidak marah, bagaimanapun juga, jurusan kami hanya memiliki lima kelas dengan total tujuh mahasiswi. Yang Mas buat menangis adalah gadis tercantik dari semuanya, jadi tolong berhati-hatilah!”
Belum sempat Dion menjawab, Julian mendengar langkah kaki mendekat dan buru-buru menutup telepon.
’Ingin membuat video lucu di dalam Rumah Hantuku?’ Dion menyimpan ponselnya sambil menyunggingkan senyum licik. ’Mahasiswa kedokteran memang dikenal memiliki nyali lebih besar dari kebanyakan orang. Sangat kebetulan, mereka akan menjadi kelinci percobaan yang sempurna untuk skenario baruku. Kita lihat nanti, siapa yang justru akan tertawa.’
Setelah istirahat makan siang, Dion turun ke bawah untuk membuka gerbang. Seperti yang ia duga, antrean panjang kembali terbentuk. Pengunjung yang melewatkan kesempatan di pagi hari, kini berbondong-bondong datang. Ada yang sengaja hadir setelah menonton video dan siaran langsung Dion, ada pula yang diseret keluarga atau teman, sementara sebagian hanya dilandasi rasa penasaran.
Antrean panjang itu sendiri sudah cukup untuk menimbulkan kesan, jika banyak orang rela menunggu, berarti atraksi ini pasti layak dicoba.
“Harga tiket dua puluh ribu rupiah per orang, dan untuk pengalaman terbaik, kami sarankan masuk dalam kelompok tiga orang,” kata Dion seraya menjaga ketertiban. Ia tetap berkoordinasi dengan Dinda di dalam, keduanya bekerja tanpa henti melayani gelombang pengunjung.
Menjelang pukul tiga sore, tujuh pemuda dengan penampilan modis memasuki Bangunan Kota Tua, dan mereka berjalan lurus menuju Rumah Hantu seolah menjalankan misi khusus.
Masing-masing tampak memiliki kepribadian berbeda, anehnya mereka tidak banyak berbicara satu sama lain. Mereka berdiri dalam antrean dengan sikap serius, menciptakan suasana yang kontras dengan keriuhan pengunjung lain.
Beberapa menit kemudian, saat kelompok sebelumnya keluar sambil saling berpegangan untuk menenangkan diri, salah satu dari tujuh pemuda itu yang bertubuh paling tinggi melangkah ke arah Dion.
“Mas, enam tiket,” ucapnya dengan suara dalam dan berat.
Dion menatapnya sekilas lalu melirik kelompok di belakangnya, “Tapi ada tujuh orang di antara kalian.”
“Yang satu ini hanya bertugas membawa kami ke sini.” Pemuda tinggi itu mendorong Julian ke depan.
“Mas, aku tidak akan masuk,” sahut Julian cepat, wajahnya pucat oleh trauma pengalaman sebelumnya. Ia tersenyum kikuk pada Dion sebelum buru-buru menyelinap ke balik kerumunan.
Dion tersenyum tipis, “Karena sudah sampai di sini, bagaimana mungkin aku membiarkanmu berdiri sendirian di luar? Ambillah, ini gratis.” Ia menyerahkan tujuh tiket sekaligus, “Kalian semua dari Universitas Kedokteran Jakarta kan? Senang berjumpa dengan kalian.”
Sikap ramah Dion membuat beberapa dari mereka tampak sedikit merasa malu.
“Julian, karena Bos sudah memberimu tiket, tidak sopan jika menolak kebaikannya,” kata pemuda tinggi itu sambil membagikan tiket kepada teman-temannya. Tapi yang terjadi berikutnya menimbulkan tanda tanya bagi pengunjung lain. Bukannya segera masuk, kelompok mahasiswa itu justru berkumpul di luar seolah sedang melakukan rapat taktis.
“Julian dan aku akan menjadi satu kelompok, Leon dan Rian menjadi kelompok kedua. Vano, Sinta, dan Lingga, kalian bertiga membentuk kelompok terakhir. Semua orang sudah menghafal strategi yang diunggah di forum sebelum keberangkatan kan?”
“Sudah, semuanya di luar kepala,” jawab yang lain serempak.
“Tata letak set sudah digambar oleh Julian, kita semua telah mempelajari setiap trik yang ditawarkan tempat ini. Bersiaplah, jangan tunjukkan sedikit pun rasa takut. Kita tidak boleh mempermalukan nama Universitas Kedokteran Jakarta.”
“Dimengerti!”
“Baiklah, mulai sekarang, masukkan diri kalian dalam kondisi mental yang tepat. Bangkitkan adrenalin! Atur napas seolah-olah kalian hendak terjun dari pesawat atau melakukan bungee jumping, dan buat setiap sel tubuhmu hidup!”
“Benar, jadilah garang, jadilah tangguh! Lebih garang daripada hantu yang paling menyeramkan! Jangan pernah gentar menghadapi apa pun!”
“Apakah kalian masih ingat sumpah yang kita ucapkan saat pertama kali diterima di universitas?”
Mereka serempak menjawab lantang, “Hati lurus menuntun jalan yang benar! Universitas Kedokteran Jakarta, Juru Bicara Kehidupan dan Kematian!”
“Bagus, sekarang ayo kita buktikan!”
Pidato itu begitu penuh semangat hingga membuat pengunjung lain yang menonton tidak bisa menahan diri untuk ikut bertepuk tangan. Bahkan Dion, dalam hati mengakui kekompakan mereka.
Julian dan pemuda tinggi itu berpisah dari kelompok, “Kami berdua akan memimpin jalan, tunggu kabar baik dari kami,” ujar pemuda tinggi itu dengan penuh percaya diri.
Keduanya melangkah menuju pintu masuk dengan semangat berkobar.
“Hanya kalian berdua?” tanya Dion.
“Aturanmu menyebutkan maksimal tiga orang per kelompok kan?” jawab pemuda itu mantap.
“Oh, itu hanyalah aturan untuk skenario Pernikahan Hantu, jangan terlalu memikirkan detail kecil itu. Kalian bertujuh boleh masuk sekaligus, aku tidak ingin kalian membuang waktu hanya untuk menunggu giliran,” ujar Dion sambil memimpin kelompok itu memasuki Rumah Hantu yang terasa jauh lebih dingin dibanding udara luar.
“Pertama-tama, kalian semua perlu menandatangani perjanjian penolakan di meja ini. Perjanjian tersebut berisi pelepasan hak untuk menuntut pihak Rumah Hantu atas segala bentuk cedera, baik yang nyata maupun dugaan, sebelum kalian diizinkan melanjutkan.”
“Tunggu, perjanjian ini tidak ada sebelumnya,” kata Julian sambil melangkah mendekati meja.
“Itu karena kamu adalah pengunjung pertamaku yang pingsan di dalam atraksi,” jawab Dion dengan senyum ramah, sebelum menoleh ke arah kelompok mahasiswa lain. “Aku yakin Julian sudah menceritakan pada kalian sejarah singkat tempat ini, jadi tidak akan mengulang kembali rinciannya. Namun, izinkan aku memberikan sedikit pengingat sekaligus peringatan.”
Senyumnya perlahan menghilang, Dion mengeluarkan ponsel dan membuka laman berita pagi. “Kasus di Apartemen Seroja empat tahun lalu akhirnya terungkap, tetapi masih ada satu pembunuh yang belum tertangkap. Tentu saja, hal itu tidak ada kaitannya dengan kita. Hanya saja, ketika aku datang bekerja pagi ini, pintu Rumah Hantu ini terbuka begitu saja, seolah seseorang telah masuk diam-diam. Apartemen Seroja dan Gedung Kota Tua sama-sama berada di sisi barat kota, semoga saja aku hanya berlebihan dalam berprasangka.”
Dengan hanya beberapa kalimat, Dion berhasil menanamkan keraguan dalam benak mereka. Ia tidak perlu meyakinkan kelompok Julian sepenuhnya, yang dibutuhkan hanyalah menyelipkan sugesti. Pada akhirnya, imajinasi manusia sering kali mampu melahirkan ketakutan yang lebih besar daripada kenyataan.
Setelah semua mahasiswa menandatangani perjanjian, Dion memimpin mereka ke lantai tiga. Perlahan, ia mendorong pintu besar yang mengarah ke skenario Pembunuhan Tengah Malam.
Begitu pintu terbuka, embusan udara dingin menyergap. Koridor panjang tampak gelap, seolah-olah tatapan mata tersembunyi mengikuti langkah mereka dari balik pintu yang terbuka separuh. Jalan itu mengarah pada tangga yang seakan tidak berujung, dengan belokan-belokan sempit menyerupai labirin. Langit-langitnya terlihat hangus, dan di sepanjang dinding terdapat goresan-goresan kasar, seperti bekas tangan seseorang yang berusaha mati-matian menggaruk jalan keluar.
Semangat kelompok itu meredup setengahnya, mereka berdiri terpaku, saling berpandangan, sebelum serempak menoleh pada Julian.
“Di mana rumah kuno yang kau ceritakan?”
“Ini sama sekali berbeda dari kisahmu.”
“Aku bahkan berlatih semalaman hanya untuk mengangkat tutup keranda.”
Tatapan penuh tuntutan itu hampir membuat Julian menangis, lalu dengan gugup menoleh ke arah Dion berharap mendapat pertolongan, namun pria itu hanya mengabaikannya.
“Tema skenario ini adalah Pembunuhan Tengah Malam,” jelas Dion dengan suara datar. “Tolong jangan mengambil gambar, dan jika ada yang melanggar, dia akan menanggung sendiri segala konsekuensinya. Pintu keluar tersembunyi di dalam set, dan kalian memiliki waktu dua puluh menit. Jika ingin menyerah, cukup teriak ke arah kamera, dan aku akan datang menjemput kalian.”
Setelah mereka semua masuk ke dalam koridor, Dion menutup pintu perlahan. Sebelum berbalik meninggalkan mereka, ia tersenyum tipis dan berucap, “Selamat menikmati.”