Hidup Arabella hancur ketika pamannya tega menjualnya pada Edward Frederick, seorang mafia berkedok Ceo yang terkenal kejam, dingin, dan arogan, hanya demi melunasi hutang akibat kebangkrutan perusahaan.
Dengan kaki kanan yang cacat karena kecelakaan di masa lalu, Arabella tak punya banyak pilihan selain pasrah menerima perlakuan sang suami yang lebih mirip penjara ketimbang pelindung.
Perlahan, keduanya terseret dalam permainan hati, di mana benci dan cinta tipis perbedaannya.
Mampukah Arabella bertahan dalam pernikahan tanpa cinta ini? Ataukah justru dia yang akan meluluhkan hati seorang Edward Frederick yang sekeras batu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 33
Edward mengira Julia kembali untuk melanjutkan perdebatan yang belum selesai. Ia mendesah, sudah bersiap menolak dengan dingin.
Namun ketika daun pintu terbuka, ternyata bukan Julia yang muncul.
“Paman, bisakah kita bicara sebentar?” suara itu milik Alex.
Bocah itu berdiri di ambang pintu dengan wajah tenang.
“Ada sesuatu yang ingin aku katakan sebelum aku kembali ke mansion Papa,” lanjutnya sambil melirik ke dalam untuk memastikan bahwa Ara tidak mendengar percakapan mereka.
“Mau secepat ini kembali?” tanyanya, menutup pintu perlahan dan memberi isyarat agar Alex mengikutinya ke ruang kerja di sisi barat mansion.
Begitu sampai, Edward duduk di kursi kulit hitam besar yang menjadi singgasananya.
Sementara Alex duduk di seberang, menyandarkan tubuhnya dengan sikap dewasa yang kontras dengan usianya yang akan menginjak tujug tahun.
“Paman tahu,” ucap Alex perlahan, “tujuanku datang kemari adalah untuk mencari ketenangan. Tapi ternyata, justru aku mendapatkan keributan. Aku butuh konsentrasi penuh, dan suasana rumah ini terlalu banyak konflik.”
Edward menghela napas, bibirnya melengkung membentuk senyuman tipis.
“Keributan tidak bisa dihindari, Alex. Apalagi jika sumbernya adalah wanita seperti Julia.”
Alex menunduk sebentar, lalu tersenyum kecil. “Aku setuju denganmu, Paman.”
Dalam hati, Edward sebenarnya kagum. Entah bagaimana Diego, pria yang terkenal kasar dan tempramental, bisa memiliki putra secerdas dan setenang ini.
Ada sesuatu dalam diri bocah itu yang membuat Edward diam-diam merasa iri. Mungkin bukan iri akan kecerdasannya, tapi pada cara Alex bisa menahan diri, membaca situasi dengan cepat, dan tetap logis bahkan di tengah kekacauan.
“Nah, sekarang katakan,” Edward bersandar di kursinya, melipat tangan di depan dada. “Apa yang ingin kau tunjukkan, bocah?”
Alex tak menjawab. Ia hanya menggeser iPad-nya ke depan meja.
Layar itu menyala, menampilkan serangkaian foto yang tersusun rapi.
“Paman lihat ini,” ucap Alex datar.
Edward memiringkan kepala, mengambil iPad itu, dan menatap layar dengan seksama. Dalam sekejap, rahangnya mengeras.
Foto-foto itu sangat jelas, dimana Julia sedang bersama seorang pria, di hotel mewah, dalam posisi yang tidak bisa disalahartikan. Tatapan mata mereka terlalu mesra untuk sekadar teman bisnis.
“Foto-foto ini kuambil dari akun seorang fotografer yang mencoba menjualnya secara anonim. Ia mengira bisa mendapat uang dengan mengancam seseorang di lingkaran bisnis keluarga kita. Tapi aku lebih cepat.” Alex berbicara lagi, suaranya tenang tapi tajam seperti pisau.
“Bocah kecil seperti kau bermain di dunia gelap seperti itu?”
Alex mengangkat bahu santai. “Aku tidak bermain, Paman. Aku hanya melindungi nama keluarga. Tante Julia sudah membuat suasana rumah ini kacau, dan aku tidak suka melihat tante Ara diremehkan.”
“Dan kau pikir aku belum tahu soal ini?” katanya datar. “Aku sudah tahu semuanya, bahkan sebelum kau menunjukkannya padaku.”
Alex sedikit terkejut, tapi tidak menyangkal. Ia hanya menatap balik dengan rasa ingin tahu.
“Jadi, Paman tidak berniat melakukan apa pun?”
“Bukan begitu. Aku hanya menunggu waktu yang tepat. Dalam dunia kita, Alex, satu langkah terburu-buru bisa mematikan seluruh strategi. Biarkan ular berpikir bahwa ia sedang aman, sampai aku sendiri yang memotong kepalanya,” ucap Edward.
Kata-kata itu membuat Alex tersenyum kecil. Awalnya, Edward itu bodoh karena jadi budak cinta Julia.
“Kau dan papa memang benar-benar bersaudara,” ujarnya. “Dingin, tapi mematikan.”
Edward menatap bocah itu cukup lama sebelum akhirnya ikut tersenyum samar.
“Dan kau… terlalu cepat dewasa untuk anak seumuranmu.”
“Aku tidak punya pilihan lain, Paman. Dunia yang kami tinggali tidak ramah pada orang yang lambat berpikir.”
Beberapa detik hening. Edward kemudian berdiri, lalu berjalan ke arah jendela besar dan menatap ke luar.
Salju mulai kembali turun di luar sana.
“Alex,” panggilnya pelan. “Kau tahu kenapa aku diam saja meski tahu Julia berkhianat?”
“Tidak,” jawab Alex menatapnya, menunggu jawaban.
“Karena aku tidak mau Ara tahu. Aku tidak mau dia berpikir bahwa rumah ini tempat penuh kebusukan.”
Alex menatap pamannya yang berdiri di balik bayangan lampu meja, dan untuk pertama kalinya ia melihat sisi manusia dalam diri Edward.
Sisi yang selama ini tersembunyi di balik dinginnya tatapan dan kerasnya nada bicara.
“Paman.”
“Apa?”
“Tante Ara beruntung.”
Edward tak menjawab. Ia hanya menatap jauh ke luar jendela, lalu berbalik.
“Kalau begitu, kapan kau pulang ke mansion?”
“Besok pagi. Aku ingin pamit langsung pada tante Ara.”
Edward mengangguk. “Baik. Tapi Alex, berhentilah menyelidiki hal-hal berbahaya sendirian. Dunia mafia tidak butuh anak yang terlalu pintar, tapi butuh anak yang tahu kapan harus berhenti,” ucapnya sembari menepuk bahu bocah itu.
“Kau salah, Paman. Dunia mafia justru butuh keduanya,” balas Alex tersenyum samar. “Kalau bisa jangan sampai jatuh cinta, karena cinta akan membuat kalian seperti orang bodoh!”
Edward tertawa, tawa yang jarang sekali terdengar darinya.
“Kau benar-benar darah Diego,” gumamnya. “Keras kepala dan brilian.”
Alex berdiri, merapikan ipad di tangannya.
“Kalau begitu, aku izin beristirahat. Dan terima kasih sudah mempercayaiku.”
Edward hanya mengangguk pelan. Saat pintu tertutup, keheningan kembali menyelimuti ruang kerja itu.
Ia menatap kembali foto-foto Julia di layar iPad, lalu menekan tombol delete dengan satu jari.
“Brengsek!” bisiknya “Beraninya kau mengkhianati kesetiaanku selama ini! Aku harus memastikannya sebelum mengambil keputusan.”
si detektif kecil kayak Conan 😄😄😄..
badannya aja yg pitik ga sama isi kepala nya,,
dari pada uncle mu yg 1/2 ons
aihhh mau ngapain merek apa Edward mau ngetes lolipop nya Sam Jul Jul