Senja merasa menderita dengan pernikahan yang terpaksa ia jalani bersama seorang CEO bernama Arsaka Bumantara. Pria yang menikahinya itu selalu membuatnya merasa terhina, hingga kehilangan kepercayaan diri. Namun sebuah kejadian membuat dunia berbalik seratus delapan puluh derajat. Bagaimana kisahnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meylani Putri Putti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 31
[Sayang, kamu tolongin aku dong… aku dituduh mencelakai Senja sama Zein. Kamu datang ke sini ya… bantu aku.]
Jari Citra bergetar saat mengirimkan pesan ke Saka, tapi bukan karena takut—melainkan karena panik melihat tatapan Zein yang mulai menusuk, seperti baru menemukan celah.
---
Penyelidikan dimulai. Kepala produksi berdiri tegak di depan para kru, clipboard di tangan, wajah serius tanpa sedikit pun ruang toleransi. Satu per satu kru dipanggil, ditanya, diperiksa.
Zein dan Senja berdiri agak di belakang, memperhatikan semuanya dengan napas tertahan.
Ketika giliran kru baru itu dipanggil, pemuda itu seperti kehilangan warna. Keringatnya menetes dari pelipis, jatuh di atas lantai studio yang dingin.
“Coba jelaskan,” suara kepala produksi menggema. “Siapa yang suruh kamu longgarkan baut rigging itu?”
Pemuda itu menunduk. Bahunya bergetar.
“S–saya… saya disuruh seseorang…”
Tatapannya melirik ke satu arah.
Ke arah Citra.
Citra langsung menurunkan dagu, bibirnya bergetar, mata memerah… seperti orang yang siap menangis karena tuduhan palsu. Seolah dialah korban dari kekacauan ini.
Pemuda itu menghirup napas, bersiap bicara—
TUUUT!
Pintu studio terbuka keras, hampir memantul kembali.
Saka muncul.
Langkahnya mantap, napasnya teratur, tapi aura yang mengikutinya tajam seperti angin badai. Rahangnya mengeras. Matanya menyapu ruangan tanpa berkedip.
Semua orang refleks menoleh.
Termasuk Senja.
Citra hampir bersorak. Leganya terlalu kentara, matanya berbinar, bahunya rileks. “Dia datang… dia datang menolongku,”desisnya tanpa seorang pun yang mendengar.
Ia buru-buru menghampiri, suara dibuat lirih dan manis, “Sayang… terima kasih sudah datang.”
Tangan Citra terulur, hendak menggenggam tangan Saka.
Namun Saka menepisnya seolah itu sentuhan asing.
Zein yang berdiri dekat Senja menegang, mata dingin menilai gerak-gerik Saka.
Rara otomatis menarik Senja sedikit ke belakang, melindunginya tanpa suara.
“Kenapa kau datang kesini? Siapa yang mengundangmu?” tanya Zein, nadanya datar tapi tajam.
Saka berhenti tepat di depan mereka semua.
“Aku datang menjemput istriku,” ucapnya. Suaranya tenang… tapi berat.
Tatapannya bukan ke Citra, melainkan Ke Senja.
Keheningan jatuh begitu cepat hingga suara napas sendiri terdengar keras.
Senja membeku. Zein pun terkejut, bukan hanya karena ucapannya, tetapi karena cara Saka mengatakannya.
Tetapi yang paling terbakar adalah Citra.
Wajahnya memanas, bibirnya kaku.
“S–sayang? Kau bicara apa?” suaranya pecah. “Aku yang memintamu datang. Kenapa kau malah mau menjemput Senja?”
Saka tak menjawab. Ia berjalan melewati Citra seperti melewati bayangan.
Senja berdiri kaku, matanya membesar sedikit ketika Saka berhenti di depannya.
Tanpa penjelasan, Saka meraih tangan Senja—pelan, hampir hati-hati. Sentuhan yang tidak pernah ia lakukan sebelumnya.
“Sayang… ayo kita pulang,” ucapnya lembut, nyaris tidak dikenali.
Senja terdiam.
Ia menunduk agar tak ada yang melihat keterkejutannya. ‘Sejak kapan Saka bicara seperti itu?” batinnya bertanya.
Ada nada ketakutan dan ragu sekaligus di napasnya.
“Maaf, Mas… aku harus menyelesaikan pekerjaanku,” ujarnya. Suaranya bergetar.
Saka menarik napas panjang, lalu menatap Zein.
“Aku tahu dia terikat kontrak. Tapi hari ini dia hampir celaka. Dia pasti masih syok. Sebagai suami, aku ingin memastikan dia baik-baik saja. Bisa syutingnya dilanjutkan besok?”
Zein menatapnya lama.
Ini bukan Saka yang ia kenal—yang biasanya ketus, kasar, dan tak peduli.
Saka menggenggam tangan Senja lebih erat.
“Ayo. Kita pulang sekarang.”
Wajah Senja menegang.
Ia melirik ke sekeliling—Zein, Rara, para kru—semua menatapnya.
Ia tahu Saka bukan tipe yang mau menunggu, apalagi dipermalukan.
Dengan napas pendek, ia mengangguk.
Langkahnya mengikuti Saka keluar dari studio.
Saat melewati Citra, Senja tidak menunduk… tidak menghindar.
Ekspresinya datar, cuma itu.
Sementara Citra tampak seperti disiram air mendidih—wajah merah, bibir bergetar, matanya penuh amarah dan malu yang menyesakkan.
Dan ruangan itu kembali sunyi… tapi kali ini sunyi yang dipenuhi bara.
---
Pintu mobil tertutup dengan bunyi thuk yang terdengar lebih keras dari biasanya. Senja duduk tegak, tangan di pangkuan, jari-jarinya saling meremas tanpa ia sadari. Saka masuk dari sisi pengemudi, menutup pintu pelan… terlalu pelan untuk ukuran Saka.
Mesin mobil menyala, tapi tak ada yang bergerak.
Tak ada yang bicara.
Hanya dengungan AC dan detak jam tangan Senja yang terasa menggema.
Saka menghela napas perlahan, lalu menoleh.
“Sabuk pengamanmu,” katanya.
Nada suaranya datar—bukan dingin tetapi… hati-hati.
Senja mengangguk, buru-buru menarik sabuk pengaman. Suara klik saat terkunci justru menambah kecanggungan itu.
Mobil mulai melaju keluar dari area studio.
Saka menatap lurus ke jalan, jarinya mengetuk setir sekali-dua kali. Ia seperti menahan banyak hal, tapi tak tahu dari mana memulai.
Senja memperhatikannya dari sudut mata.
Bahunya tegang. Jemarinya menggenggam roda kemudi lebih kuat dari biasanya.
“Apa yang sebenarnya dia lakukan di studio tadi? Kenapa bersikap seperti itu?” batinnya. Ia menelan ludah, menatap jendela.
Mobil terus melaju pelan melewati jalanan yang padat di sore itu, Senja masih menatap keluar jendela, mencoba mengatur napas yang terasa lebih berat dari biasanya.
Tiba-tiba, Saka memperlambat mobil hingga hanya merayap di jalan.
“Senja,” panggilnya.
Senja menoleh perlahan.
Saka menelan ludah, suaranya terdengar lebih rendah dari biasanya, hampir serak. “Aku…”
Ia berhenti sejenak, tangannya menggenggam kuat setir sebelum akhirnya melepaskannya perlahan.
“Aku minta maaf.”
Senja terpaku.
Saka melanjutkan, masih menatap lurus ke jalan—seperti takut melihat reaksi Senja.
“Maaf karena selama ini aku selalu kasar. Kata-kataku… sikapku…”
Ia menarik napas panjang, terlihat berusaha keras menahan sesuatu yang selama ini ia pendam.
“Aku tahu itu menyakitimu.”
Senja membeku begitu kencang sampai-sampai ia lupa bernapas.
Kata-kata itu… bukan lagi asing. Itu tak mungkin keluar dari mulut Saka. Pria yang selama ini hanya tahu memerintah dan melukai dengan kalimat dingin.
Kini suaranya justru terdengar seperti seseorang yang sedang melepas batu besar dari dadanya.
Di pangkuannya, jemari Senja meremas rok makin erat.
“Mas…” hanya itu yang keluar, lirih.
Saka akhirnya menoleh sedikit, cukup untuk memperlihatkan matanya yang tidak setajam biasanya. Ada ketegangan di sana—ketakutan yang halus, yang tersembunyi.
“Aku salah,” ulangnya pelan. “Sangat salah.”
Senja mengerjap, dua kali.
Jantungnya berdetak terlalu cepat. Rasanya seperti duduk di samping orang asing—atau seseorang yang baru saja membuka pintu ke tempat yang selama ini terkunci rapat.
Bibirnya terbuka, namun tidak ada kata yang keluar.
"Maaf karena kemarin aku memaksamu," lanjut Saka. "Kau tahu kan, seorang pria nyaris tidak bisa menahan libidonya, aku.. aku hanya menggunakan alasan itu untuk menghukum mu, padahal .. yang sebenarnya aku membutuhkan mu Senja... sangat membutuhkan mu sebagai seorang istri."
Untuk kesekian kalinya mata Senja terbuka lebar mendengar ucapan itu. benarkah itu sebuah pengakuan atau hanya permainan kata kata untuk melukainya lebih dalam lagi