NovelToon NovelToon
Darah Di Tanah Hujan

Darah Di Tanah Hujan

Status: sedang berlangsung
Genre:Kutukan / Misteri / Horor / Roh Supernatural
Popularitas:394
Nilai: 5
Nama Author: Siti Nuraida

Hujan tak pernah berhenti di Desa Waringin.
Sudah tiga puluh tahun, langit di atas desa itu selalu kelabu — dan setiap kali petir menyambar, satu orang akan lenyap begitu saja.

Penduduk hidup dalam ketakutan, tapi juga dalam penyangkalan. Mereka menanam bunga di kuburan kosong, berpura-pura tak tahu bahwa tanah di bawah mereka haus darah.

Suatu malam, Rendra, seorang fotografer urban legend, datang ke desa itu mencari adiknya yang terakhir kali mengirim pesan dari sana sebelum hilang.

Namun sejak langkah pertamanya, ia disambut aroma besi dari air hujan, wajah-wajah tanpa ekspresi, dan anak kecil yang berkata lirih:

“Kalau hujannya merah, jangan keluar, Kak.”

Semakin Rendra menggali, semakin ia sadar bahwa hujan di desa itu bukan anugerah — tapi kutukan dari darah ratusan korban ritual pengorbanan yang disembunyikan pemerintah desa dulu.

Dan di balik semua itu, “Yang Basah” menunggu…
Menunggu darah baru untuk menggantikan yang lama.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Nuraida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 6 — Lonceng Malam Kedua

Rendra duduk di lantai kayu yang dingin dan lembap di kamarnya. Waktu terasa melambat, seolah setiap detik adalah tetesan air yang jatuh dari atap. Di luar, hujan turun tanpa henti, iramanya seperti detak jantung desa yang lamban dan sakit.

Ia telah mematikan lampu minyak. Kamarnya hanya diterangi oleh cahaya remang-remang dari jendela yang buram—tempat tulisan mengerikan itu masih terukir samar: “AKU ADIKMU, KAK.” Rendra enggan menyentuhnya, takut menghapus jejak komunikasi terakhir (atau pertama) dari adiknya yang telah berubah.

Ia mengecek jam tangannya, jam analog yang sudah berkarat. Waktu menunjukkan pukul 23.00. Kurang dari dua puluh menit menuju waktu terlarang: 23.17. Waktu ketika lonceng tua di balai desa akan berdentang sekali, dan satu jiwa akan "dipanggil" oleh Yang Basah.

Rendra tidak bisa tidur. Ia tidak bisa pergi. Ia telah melihat mata Rani, atau mata entitas yang merasukinya. Ia telah diberi peringatan oleh Nyai Melati, dan ia telah dihadapkan pada pengkhianatan ayahnya. Semua misteri ini kini berpusar di sekitar satu tempat: lubang rahasia di bawah akar Pohon Waringin raksasa.

Malam ini adalah waktu yang tepat. Saat warga desa bersembunyi dalam ketakutan ritual, saat perhatian Yang Basah terfokus pada "panggilan" yang akan datang, ia akan menggali.

Ia mengenakan jaketnya, memastikan kamera analog ayahnya tergantung aman di lehernya. Ia meraih tasbih kayu yang diberikan Nyai Melati—benda itu terasa dingin dan bergetar samar di tangannya—dan memasukkannya ke saku jaket. Ia juga menyelipkan sekop kecil lipat yang ia bawa untuk dokumentasi lapangan.

Rendra membuka kunci pintu perlahan. Pintu berderit kecil, dan suara itu terasa memekakkan telinga dalam keheningan yang mencekam.

Ia melangkah keluar, langsung disambut oleh kelembaban yang menusuk dan bau besi yang sangat kuat. Malam itu adalah malam tergelap yang pernah ia alami. Lampu minyak di rumah-rumah warga sudah lama dipadamkan. Desa itu mati.

Rendra bergerak cepat, tetapi hati-hati, kakinya tenggelam sedikit ke dalam lumpur tebal di setiap langkah. Ia berjalan menuju lapangan di tengah desa, tempat Sumur Tua berada.

Saat ia mencapai sudut jalan, ia melihat pemandangan yang membuat langkahnya terhenti. Di balik tirai hujan, di depan rumah yang ia yakini milik Dimas, ada bayangan.

Bayangan itu adalah sosok Dimas.

Anak itu berdiri di depan pintu rumahnya yang sedikit terbuka. Ia tidak bergerak. Tubuhnya kaku, menatap lurus ke arah langit kelabu yang menumpahkan air. Dimas tidak seperti anak yang ketakutan. Ia tampak pasrah.

Rendra bersembunyi di balik tumpukan kayu basah, jantungnya berdebar kencang. Ia ingin memanggil Dimas, memperingatkannya, tetapi ia tahu suaranya bisa menarik perhatian entitas yang lebih besar.

Tiba-tiba, Dimas mengangkat tangannya yang kurus. Ia menjatuhkan batu-batu kecil yang selalu ia pegang, benda yang katanya untuk mengusir arwah haus darah. Batu-batu itu jatuh ke lumpur dengan bunyi "cepluk" yang lemah, dan kemudian hening.

Dimas melangkah keluar dari teras. Ia berjalan menuju tengah jalan. Ia berjalan ke arah yang berlawanan dari Sumur Tua. Ia berjalan menuju Kuburan Air, rawa tempat korban lonceng malam sebelumnya ditemukan tanpa mata dan lidah.

Rendra tahu, Dimas bukan hanya berjalan. Ia sedang dipanggil.

Rendra harus bergerak. Ia harus menyelamatkan anak itu. Ia melangkah keluar dari tempat persembunyiannya.

“Dimas!” panggil Rendra, suaranya parau.

Anak itu tidak menoleh. Ia terus berjalan dengan langkah yang lambat dan pasti, seolah-olah ditarik oleh tali yang tak terlihat.

Rendra mulai berlari, menerjang lumpur. “Dimas! Berhenti!”

Tepat saat Rendra hampir meraih bahu Dimas—

DENTANG.

Lonceng tua di balai desa berbunyi. Tepat pukul 23.17. Hanya satu dentang.

Dentang itu bukan hanya suara. Itu adalah gelombang kejut yang dingin, yang membuat udara di sekitarnya bergetar.

Saat lonceng itu berbunyi, hujan tiba-tiba berhenti. Total, mendadak, seperti keran raksasa di langit ditutup.

Keheningan yang mengikuti begitu mematikan sehingga Rendra bisa mendengar napasnya yang terengah-engah. Di tengah keheningan itu, ia bisa merasakan kehadiran dingin yang kembali menyelimuti desa.

Dimas berhenti. Ia berdiri di tengah jalan, kini hanya berjarak lima meter dari Rendra.

“Dimas! Kembali!” Rendra berbisik, panik. Ia tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

Dimas perlahan menoleh. Wajahnya tidak lagi polos. Matanya kosong, tetapi penuh air. Air mata yang tidak menetes, tetapi hanya menggenang di rongga matanya yang cekung.

Kemudian, dengan suara yang asing—suara yang terdengar seperti air yang mengalir di batu-batu sungai, suara yang bukan milik Dimas—anak itu berbicara:

“Kami haus, Kak.”

Rendra tertegun. Yang Basah berbicara melalui Dimas.

“Rani tidak cukup. Dagingnya dingin. Kami butuh yang lain. Yang hangat. Yang membawa rahasia.”

Rendra mencengkeram tasbih kayu di sakunya. “Apa yang kau inginkan? Ambil aku! Biarkan dia pergi!”

Sosok Dimas itu tersenyum. Senyum yang menyeringai, basah, dan mengerikan.

“Kau akan datang. Kau membawa hadiah. Kau membawa foto-foto Ayahmu. Tapi dia akan pergi dulu. Dia adalah anak dari pengkhianat pertama. Darahnya harus melunasi hutang masa lalu.”

Tiba-tiba, suara gemericik air yang familiar terdengar. Kali ini, tidak hanya satu sumber. Itu datang dari segala arah: dari atap-atap, dari selokan, dari lumpur di bawah kaki Rendra.

Lumpur di sekitar kaki Dimas mulai bergerak.

Gemericik itu semakin keras, semakin dekat.

Di Kuburan Air, rawa yang hanya berjarak beberapa langkah dari Dimas, air keruh itu mulai bergejolak. Sesuatu bergerak di bawah permukaan yang gelap.

Rendra melihat ke sana. Dari Kuburan Air, sesuatu muncul. Bukan sosok tunggal, tetapi tangan-tangan. Tangan-tangan yang keriput dan pucat, terbuat dari lumpur dan sisa-sisa kain basah. Tangan-tangan itu meraih ke udara, seolah meminta.

Tangan-tangan itu kemudian menunjuk lurus ke arah Dimas.

Dimas, atau entitas yang menguasainya, mengangkat tangannya yang dingin, seolah merespon panggilan.

“Sudah waktunya,” kata suara air dari mulut Dimas.

Tangan-tangan dari Kuburan Air itu tiba-tiba bergerak cepat. Salah satunya meraih pergelangan kaki Dimas.

Dimas tidak melawan. Ia hanya memejamkan matanya, dan setetes air, yang terlihat seperti air mata, keluar dari matanya yang menggenang.

“Maaf, Kak Rendra,” bisik Dimas dengan suara yang sangat, sangat lemah, suara aslinya yang polos, sesaat sebelum ia ditarik.

Dalam sekejap mata, Dimas menghilang. Ia diseret dengan cepat ke dalam Kuburan Air yang bergejolak, lumpur menyelimutinya dalam hitungan detik.

Rendra berlari. Ia menerjang lumpur, mencoba meraih tempat terakhir Dimas terlihat. Ia mengulurkan tangan, berteriak, tetapi yang ia temukan hanyalah air keruh yang kini berputar, dan lumpur yang dingin.

Ia menggali lumpur itu dengan tangan kosong. Ia menggali dan menggali, tetapi lumpur itu tidak berdasar. Tangan-tangan dari Kuburan Air itu telah menarik Dimas ke kedalaman yang tidak bisa ia jangkau.

Rendra berhenti, terengah-engah, tubuhnya gemetar karena dingin dan horor. Ia memandang ke Kuburan Air, matanya pedih. Ia baru saja menyaksikan anak kecil yang polos menjadi korban kedua Yang Basah, korban dari hutang darah yang seharusnya tidak menjadi miliknya.

Ia gagal menyelamatkan Dimas. Ia gagal menghentikan lonceng malam itu.

Tiba-tiba, ia menyadari. Hujan kembali turun. Pelan, perlahan, tetapi intens. Dan bau besi itu kini berlipat ganda, sangat tajam, seolah udara itu sendiri terbuat dari karat dan darah.

Rendra mengangkat tangannya, membiarkan air hujan membasuh wajahnya yang dipenuhi lumpur. Ia melihat ke tangannya, ke lumpur yang ia pegang. Di lumpur itu, ada sisa-sisa kain lusuh, dan beberapa helai rambut hitam yang pendek.

Ia kalah. Dimas telah menjadi korban lonceng malam ini.

Rendra berdiri tegak. Ketakutannya yang tadi berlebihan, kini berubah menjadi kemarahan yang membara.

Ia menoleh ke arah Pohon Waringin Raksasa. Lubang rahasia itu. Di sana, di bawah akar yang meliuk, terkubur bukti kejahatan yang tidak pernah diakui. Bukti yang menjadi bahan bakar bagi Yang Basah.

Rendra mencengkeram sekop lipatnya. Ia tidak akan menunggu fajar. Ia akan menggali sekarang.

Ia akan mencari tahu apa yang dicari adiknya, apa yang difoto ayahnya, dan apa yang membuat Dimas harus membayar dengan nyawanya.

Ia melangkah pergi dari Kuburan Air yang baru saja menelan nyawa, menuju pohon tua yang menyimpan rahasia kematian massal. Langkahnya kini penuh tekad. Ia adalah fotografer yang mencari kebenaran, dan malam ini, ia akan mencetaknya dengan darah dan lumpur.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!