Alya, gadis sederhana dan salehah yang dijodohkan dengan Arga, lelaki kaya raya, arogan, dan tak mengenal Tuhan.
Pernikahan mereka bukan karena cinta, tapi karena perjanjian bisnis dua keluarga besar.
Bagi Arga, wanita berhijab seperti Alya hanyalah simbol kaku yang menjemukan.
Namun bagi Alya, suaminya adalah ladang ujian, tempatnya belajar sabar, ikhlas, dan tawakal.
Hingga satu hari, ketika kesabaran Alya mulai retak, Arga justru merasakan kehilangan yang tak pernah ia pahami.
Dalam perjalanan panjang penuh luka dan doa, dua hati yang bertolak belakang itu akhirnya belajar satu hal:
bahwa cinta sejati lahir bukan dari kata manis… tapi dari iman yang bertahan di tengah ujian.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ricca Rosmalinda26, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perjalanan Menuju Rumah
Salon itu tampak lengang sore itu.
Cahaya matahari yang menyusup melalui jendela besar menyorot lembut ke dalam ruangan beraroma wangi bunga lili. Alya duduk di kursi putar besar dengan cape putih melingkari tubuhnya. Di hadapannya, seorang perias tengah memoleskan sentuhan akhir pada wajahnya, tipis, alami, namun tetap menonjolkan kecantikan lembutnya.
Alya bukan tipe wanita yang terbiasa berdandan tebal. Tapi kali ini, ada sesuatu dalam dirinya yang ingin terlihat sedikit lebih “berbeda”. Bukan untuk memikat siapa pun, melainkan agar setidaknya dia terlihat pantas berdiri di samping suaminya nanti malam di hadapan keluarga besar Arga.
Sementara itu, Arga duduk di sofa ruang tunggu salon, mengenakan kemeja hitam dengan lengan yang digulung setengah. Satu tangan memegang ponsel, satu lagi memainkan kunci mobil. Ia sesekali menatap layar, namun pikirannya tidak benar-benar fokus pada pesan-pesan kerja yang masuk.
Setiap kali ia tanpa sengaja mengangkat pandangannya ke arah cermin besar di hadapan Alya, hatinya sempat berhenti sesaat.
Bukan karena ia ingin—tapi karena matanya, entah mengapa, tidak bisa berpaling begitu saja.
Wajah Alya tampak begitu tenang.
Tatapannya teduh, senyumnya kecil, lembut—seolah dunia di sekelilingnya tidak pernah menyakiti. Padahal Arga tahu, dialah yang paling sering membuat luka itu.
Ketika perias akhirnya berkata, “Selesai, kak,” Alya menatap pantulan dirinya di cermin. Ia tersenyum samar, mengangguk pelan, lalu berdiri.
Gaun yang ia kenakan adalah gaun panjang berwarna mutiara lembut dengan detail renda di bagian pergelangan tangan dan pinggang, sedikit berkilau ketika terkena cahaya sore. Potongannya sederhana, tidak memperlihatkan lekuk tubuh, tapi tetap tampak elegan dan berkelas. Hijabnya di lilit rapi dalam gaya yang anggun, menyesuaikan warna gaun dengan sentuhan champagne gold di pinggirannya.
Ketika Alya melangkah keluar menuju sofa tempat Arga menunggu, langkahnya perlahan namun pasti.
Arga mengangkat wajahnya dan untuk sepersekian detik, waktu seolah berhenti.
Ia tidak pernah melihat Alya seperti ini sebelumnya.
Anggun, lembut, dan... menawan.
“Aku sudah selesai, Mas,” ucap Alya pelan.
Suara itu seperti membuyarkan lamunan Arga. Ia cepat-cepat berdiri, memasukkan ponselnya ke saku, dan menegakkan tubuhnya.
“Sudah? Kalau begitu, ayo.”
Nada bicaranya tetap datar. Tapi ketika ia berbalik lebih dulu menuju pintu keluar, jari-jarinya sempat mengepal kecil, mencoba menekan perasaan yang tiba-tiba muncul entah dari mana.
Mobil melaju tenang di bawah cahaya senja yang mulai meredup.
Di dalam mobil, suasananya hening. Hanya suara radio pelan yang sesekali terdengar, memutar lagu lawas yang entah kenapa terasa menenangkan.
Alya duduk di kursi penumpang, memandangi jalan di luar jendela.
Sementara Arga di belakang kemudi, fokus pada jalan tapi sesekali melirik ke arah Alya—bukan dengan tatapan dingin seperti biasanya, melainkan tatapan yang sulit diartikan.
“Mas…”
Suara Alya memecah keheningan.
“Hmm?” sahut Arga tanpa menoleh.
“Terima kasih karena sudah mau mengantarku malam ini.”
Arga tetap menatap ke depan. “Gue suami lo, itu wajar.”
Alya mengangguk kecil. “Iya, aku tahu. Tapi aku tetap berterima kasih. Karena… mungkin Mas Arga tidak suka menghadiri acara seperti ini.”
Arga tidak menjawab.
Benar. Ia tidak suka.
Baginya, makan malam keluarga besar hanya berisi basa-basi yang melelahkan dan tatapan penuh ekspektasi dari orang-orang yang menganggap pernikahannya ini adalah hal yang indah dan bahagia.
Padahal kenyataannya, ia bahkan belum bisa menerima perempuan yang kini duduk di sampingnya.
Setelah beberapa menit keheningan lagi, Arga tiba-tiba bertanya, “Orang tuamu datang?”
Nada suaranya terdengar datar, tapi dalam hatinya, ia ingin tahu alasan kenapa tidak ada kabar dari pihak keluarga Alya.
Alya menggeleng pelan. “Tidak, Mas. Mama memang sempat menghubungi mereka. Tapi ayah dan ibu sedang berada di luar kota. Mereka sedang mengurus proyek di Surabaya.”
“Begitu,” sahut Arga singkat.
“Ayah menitip salam,” lanjut Alya dengan lembut. “Dan… beliau juga berterima kasih kepada Mas Arga.”
Arga melirik sekilas. “Berterima kasih untuk apa?”
Alya tersenyum tipis. “Untuk bantuan yang Mas Arga berikan, saat perusahaan keluarga kami hampir jatuh.”
Suara Alya melemah sedikit, ada nada getir yang ia sembunyikan di balik ketenangan wajahnya.
“Kalau bukan karena bantuan Mas Arga dan keluarga besar, mungkin kami sudah kehilangan segalanya.”
Arga diam.
Kata-kata itu seperti mengembalikan kenangan lama.
Ia teringat bagaimana pernikahan ini awalnya disepakati, bukan karena cinta, tapi karena kesepakatan bisnis dan penyelamatan nama baik keluarga.
Ia tahu Alya menerima pernikahan ini dengan ikhlas, tapi baginya… pernikahan ini hanya semacam “harga” yang harus dibayar oleh keluarganya.
“Jangan berterima kasih untuk hal itu,” katanya akhirnya, masih dengan nada dingin. “Itu keputusan orang tua, bukan gue.”
“Tetap saja,” sahut Alya lembut. “Aku ingin berterima kasih. Karena kalau bukan karena itu… aku mungkin tidak akan jadi istri Mas Arga sekarang.”
Ia menunduk sedikit, menatap tangannya yang bertaut di pangkuan.
“Aku tahu Mas Arga tidak menginginkan pernikahan ini. Tapi aku tetap berharap, semoga Allah jadikan semuanya ini baik di akhirnya.”
Arga terdiam lama.
Entah kenapa, kalimat itu seperti mengiris bagian dalam dirinya yang paling lembut.
Ia tidak tahu kenapa, tapi hatinya terasa sesak.
Ia menatap ke arah depan, mencoba menegarkan suara.
“Lo terlalu sering berharap, Alya.”
Alya tersenyum kecil, tanpa menoleh. “Iya, Mas. Tapi bukankah berharap itu bagian dari iman?”
Ia menatap ke arah langit senja di luar jendela, lalu melanjutkan dengan lirih,
“Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:
‘Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tidak ada yang berputus asa dari rahmat Allah, kecuali orang-orang kafir.’ (QS. Yusuf: 87).”
Kata-katanya menggantung di udara, lembut namun penuh makna.
Arga tak berkata apa pun. Tapi di sudut hatinya, ada sesuatu yang perlahan retak.
Sikapnya tetap kaku, wajahnya tetap dingin, tapi ada bagian dalam dirinya yang perlahan mulai bertanya-tanya…
Mungkinkah wanita yang dulu ia anggap beban, kini mulai jadi cahaya kecil yang entah mengapa menenangkan setiap kali ia melihatnya?
Mobil itu terus melaju ke arah rumah besar keluarga Maheswara di tengah senja yang mulai memerah.
Dan di antara keheningan, dua hati itu masih berjalan di jalannya masing-masing, yang satu sabar menunggu, yang satu masih belajar untuk memahami.
Namun takdir, seperti biasa, tak pernah berhenti menulis dengan cara yang halus.
aku aja klo ngomong diceramahi emosi apalagi modelan arga 🤣🤣