Sebuah kota dilanda teror pembunuh berantai yang misterius.
Dante Connor, seorang pria tampan dan cerdas, menyembunyikan rahasia gelap: dia adalah salah satu dari pembunuh berantai itu.
Tapi, Dante hanya membunuh para pendosa yang lolos dari hukum.
Sementara itu, adiknya, Nadia Connor, seorang detektif cantik dan pintar, ditugaskan untuk menyelidiki kasus pembunuh berantai ini.
Nadia semakin dekat dengan kebenaran.
Ketika Nadia menemukan petunjuk yang mengarah ke Dante, dia harus memilih: menangkap Dante atau membiarkannya terus membunuh para pendosa...
Tapi, ada satu hal yang tidak diketahui Nadia: pembunuh berantai sebenarnya sedang berusaha menculiknya untuk dijadikan salah satu korbannya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dev_riel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Peodofil Pembunuh
Mematuhi rutinitas sangatlah riskan, khususnya jika kamu adalah seorang paedofil pembunuh yang telah menarik perhatianku.
Untungnya, tidak ada orang yang memberi tau Ethan Hunter mengenai informasi vital ini, sehingga mudah bagiku untuk melihatnya pulang dari kantor pukul 18.30, seperti yang dilakukannya setiap hari.
Dia keluar dari pintu belakang, menguncinya, lalu masuk ke mobilnya yang besar, sungguh kendaraan yang sempurna untuk mengangkut orang demi melihat-lihat rumah, atau memuat beberapa bocah yang diikat untuk dibawa ke geladak.
Dia menyetir mobilnya dan masuk ke dalam lalu lintas. Kuikuti dia pulang ke rumah batanya yang sederhana.
Lalu lintas menuju rumahnya lumayan padat. Aku berbelok ke jalan kecil sekitar satu setengah blok dan memarkir mobil sedemikian rupa agar tidak menonjol tetapi tetap bisa mengintip dengan baik.
Aku duduk di mobil sekitar sepuluh menit, waktu yang cukup lama untuk menyusun rencana dan memastikan dia tidak pergi kemana-mana.
Ketika dia keluar dari rumah dan mulai melakukan pekerjaan kecil di sekitar halaman dalam keadaan telanjang dada dan hanya mengenakan celana pendek. Aku pulang ke rumah untuk bersiap-siap.
Alih-alih menikmati makan malam yang nikmat dan berprotein tinggi, aku mondar mandir di apartemenku, bergegas ingin segera memulai tetapi masih cukup sabar untuk menunggu.
Bayang-bayang mulai menampakkan tepinya sehingga makin jelas dan kegelapan meluruh ke area abu-abu yang membuat segalanya menjadi jauh lebih fokus.
Kupaksakan diriku untuk menahan diri, merasakan Kebutuhan berguling di sekujur tubuhku dan meninggalkan kesiapan level tinggi.
Setiap hela nafas terasa seperti embusan udara dingin yang menyusup masuk dan memompaku menjadi lebih besar dan lebih terang.
Dan kini, tibalah waktunya.
Aku keluar ke malam terang. Tidak lama kemudian aku tiba di sana, di bayang-bayang yang ditutupi pagar tanaman Ethan Hunter.
Untuk sekarang aku mengamati, Sabar!
Menyedihkan rasanya bahwa Ethan Hunter tidak bisa melihat sesuatu yang bersinar terang seperti yang aku lihat, dan pikiran itu memunculkan kekuatan lain dalam diriku. Kutarik topeng sutra putihku dan aku siap memulai.
Perlahan-lahan sambil berupaya untuk tidak terlihat, aku berpindah dari kegelapan pagar tanaman dan menempatkan keyboard piano anak-anak yang terbuat dari plastik di bawah jendela.
Keyboard piano itu berwarna merah biru, dan hanya punya delapan kunci. Aku menyalakannya dan melangkah kembali ke tempatku di pagar tanaman.
Mainan itu cukup membuat semua orang gila, tetapi mungkin memberi efek ekstra kepada orang seperti Ethan Hunter yang hidup untuk anak-anak.
Aku sengaja memilih keyboard kecil itu untuk merayunya keluar. Kenyataannya, aku berharap dengan tulus bahwa dia berpikir dirinya telah ketahuan dan mainan itu datang dari neraka untuk menghukumnya.
Sepertinya rencanaku berhasil.
Sejurus kemudian, dia berdiri di sana, mulutnya menganga, rambutnya yang sudah jarang-jarang tampak seperti baru diterpa badai, sementara perutnya yang pucat keluar dari piyamanya yang kumal. Dia tidak terlalu terlihat membahayakan bagiku, tetapi aku memang bukan bocah berusia lima tahun.
Setelah beberapa saat berdiri dengan mulut terbuka dan menggaruk-garuk dirinya sendiri. Ethan Hunter akhirnya menemukan sumber suara. Dia melangkah dan membungkuk untuk menyentuh keyboard plastik berukuran kecil itu.
Dia tidak sempat terkejut sebelum aku menjeratnya dengan jala ikan seberat dua puluh lima kilogram yang kulingkarkan di tenggorokannya. Dia bangkit dan mencoba untuk berontak. Aku mengencangkan jala itu lalu dia berubah pikiran.
"Diamlah! Kamu akan bisa hidup lebih lama." aku berkata dengan nada memerintah.
Dia seolah-olah mendengar masa depannya di dalam kata-kata itu lalu berpikir bisa mengubahnya, sehingga aku menyentak tali itu dan menahannya hingga wajahnya berubah menjadi lebih gelap lalu terjatuh dalam keadaan berlutut.
Sebelum dia pingsan aku melonggarkan cekikanku.
"Sekarang, lakukan apa yang aku perintahkan. Kamu mengerti?" Kataku.
Dia tidak berkata apa-apa, hanya terbatuk-batuk dan kesulitan bernapas. Dan dia mengangguk sehingga kubiarkan dia bernapas.
Dia tidak mencoba berontak lagi saat kuseret ke dalam rumah untuk mengambil kunci mobilnya lalu masuk ke dalam mobilnya yang besar.
Aku masuk ke jok belakang, menahan jala erat-erat sembari membiarkannya bernapas untuk sekadar bertahan hidup, setidaknya untuk sekarang.
"Nyalakan mobilnya," aku memerintah dirinya.
"Apa yang kamu inginkan?" Tanyanya dengan suara parau.
"Segalanya. Nyalakan mobilnya." Kami menjawab.
"Aku punya uang." Katanya.
Aku menarik jala itu lebih keras.
"Belikan aku seorang bocah." Jawabku.
Aku menahan jala itu sekuat tenaga selama beberapa detik, terlalu kencang sehingga dia kesulitan bernapas.
Aku memberikan waktu yang cukup agar dia tau bahwa aku-lah yang memegang kendali. Ketika ku longgarkan tali itu, dia tidak berkata apa-apa lagi.
Dia mengendarai mobil ke arah yang kuperintahkan, ke jalan Old River lalu mengarah ke selatan. Sejauh ini hampir tidak ada kemacetan, tidak di malam hari seperti sekarang.
Kemudian kami berbelok ke area yang sedang di bangun di seberang anak sungai. Pembangunan ditunda karena ada tuduhan pemiliknya melakukan pencucian uang, sehingga kami tidak akan di ganggu.
Kami membimbing Ethan Hunter melalui gardu yang baru di bangun setengahnya, mengelilingi lingkaran kecil, berbelok ke timur menuju sungai, lalu ke perhentian sementara yang ada di samping trailer kecil yang mulanya adalah kantor temporer area tersebut.
Kami berbelok ke kiri menuju area kecil bagi remaja pencari kesenangan maupun orang lain, seperti aku, yang hanya menginginkan sedikit privasi.
Kami duduk untuk beberapa saat, menikmati bulan yang terpantul di atas sungai bersama seorang paedofil yang di jerat jala duduk di jok depan. Sungguh pemandangan yang indah.
Aku keluar lalu menarik Ethan Hunter. Kutarik dia begitu keras hingga terjatuh dalam keadaan berlutut dan mencakar-cakar jala yang mengelilingi lehernya.
Sejurus kutatap dia yang tercekik dan meneteskan ludah di tanah kotor, wajahnya kembali berubah gelap dan matanya memerah.
Lalu, aku seret kakinya dan aku dorong dia ke tangga kayu sebanyak tiga anak tangga kemudian masuk ke dalam trailer. Pada saat itu dia sudah menyadari apa yang akan terjadi. Ku ikat dia ke rak tertinggi, tangan dan kakinya kurekatkan dengan lakban.
Ethan Hunter mencoba berbicara, tetapi akhirnya hanya terbatuk-batuk. Aku menunggu, sekarang ada begitu banyak waktu.
"Tolonglah. Akan aku berikan apa pun yang kamu mau." Akhirnya dia memohon dengan suara seperti pasir di dalam gelas.
"Ya, tentu saja." Aku berkata.
Aku lihat efek kata-kata itu melesak ke dalam dirinya, sekalipun dia tidak bisa melihat melalui topeng sutra putih, aku tersenyum.
Aku mengeluarkan foto-foto yang kuambil dari kapal dan menunjukkan foto itu kepadanya.
Dia langsung bergeming dan mulutnya menganga.
"Dari mana kamu dapat semua itu?" Tanyanya.
Untuk orang yang akan segera dimutilasi, suaranya terdengar seperti orang yang cepat naik darah.
"Beri tau siapa yang memotret foto-foto ini."
"Kenapa?" Dia balik bertanya
Aku menggunakan gunting dari timah dan memotong dua jari pertama dari tangan kirinya. Dia menggelepar dan menjerit sementara darahnya mengalir, suatu hal yang selalu membuatku marah.
Jadi, kujejalkan bola tenis ke mulutnya lalu memotong dua jari pertama tangan kanannya.
"Tidak ada alasan khusus, kok." Kataku, dan ku tunggu hingga dia mereda sedikit.
Ketika akhirnya mereda, dia memutar matanya kepadaku dan wajahnya kini dipenuhi pengertian yang tumbuh ketika kamu telah melampaui rasa perih karena tau bahwa hal seperti itu akan berlangsung selamanya.
Aku mengambil bola tenis itu dari mulutnya.
"Siapa yang memotret foto-foto ini?" Aku bertanya.
Dia tersenyum.
"Aku harap salah satu dari anak-anak itu adalah anakmu," katanya.
Hal itu membuat sembilan puluh menit selanjutnya terasa jauh lebih berharga.