Ayla tumbuh sebagai gadis yang terasingkan di rumahnya sendiri. Sejak kecil, kasih sayang kedua orang tuanya lebih banyak tercurah pada sang kakak, Aluna gadis cantik yang selalu dipuja dan dimanjakan. Ayla hanya menjadi bayangan, tak pernah dianggap penting. Luka itu semakin dalam ketika ia harus merelakan cinta pertamanya, Arga, demi kebahagiaan sang kakak.
Tidak tahan dengan rasa sakit yang menjerat, Ayla memilih pergi dari rumah dan meninggalkan segalanya. Lima tahun kemudian, ia kembali ke ibu kota bukan sebagai gadis lemah yang dulu, melainkan sebagai wanita matang dan cerdas. Atas kepercayaan atasannya, Ayla dipercaya mengelola sebuah perusahaan besar.
Pertemuannya kembali dengan masa lalu keluarga yang pernah menyingkirkannya, kakak yang selalu menjadi pusat segalanya, dan lelaki yang dulu ia tinggalkan membuka kembali luka lama. Namun kali ini, Ayla datang bukan untuk menyerah. Ia datang untuk berdiri tegak, membuktikan bahwa dirinya pantas mendapatkan cinta dan kebahagiaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cumi kecil, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 11 MENYUSUN RENCANA.
Malam itu, Alya berdiri di balkon apartemennya. Angin malam berhembus lembut, membawa aroma kota yang tak pernah tidur. Lampu-lampu gedung tinggi berkilauan, namun di balik cahaya itu, hatinya justru diselimuti gelap.
Ucapan Papah Darma siang tadi masih membekas. Fitnah keji yang dilemparkan ke hadapan orang luar membuat harga dirinya hancur. Dan sikap Aluna yang selalu merendahkan, yang dengan puas menohok luka lamanya membakar amarah yang sudah lama terkubur.
Selama ini, Alya selalu memilih pergi. Menghindar. Menjauh dari sumber sakit hati. Tapi kali ini, tidak lagi. Kali ini, ia akan melawan.
Tangannya mengepal di pagar balkon. Matanya berkilat dingin. “Jika mereka ingin menjatuhkanku, maka aku akan pastikan mereka yang jatuh lebih dulu.”
Namun ia sadar, melawan keluarga Papah Darma dan Aluna bukan perkara mudah. Mereka punya nama besar, kekuasaan, juga posisi yang kuat di lingkaran bisnis maupun sosial.
Alya tidak bisa sendirian. Ia butuh senjata.
Dan senjata itu bernama Arga.
Bayangan lelaki itu kembali menari di pikirannya. Malam di hotel, tatapan penuh rindu, sentuhan yang masih membekas di kulitnya… semua itu membuat Alya menggigit bibirnya sendiri. Ada bagian dari dirinya yang ingin menyerah pada perasaan lama, namun suara lain di kepalanya lebih keras berbisik. Gunakan dia.
Dengan Arga di sisinya, Aluna tidak akan punya tempat. Seluruh keluarga Darma akan terguncang. Dan balas dendamnya akan terasa lebih manis, karena ia mengalahkan mereka dengan cara yang paling menyakitkan: merebut sesuatu yang paling berharga bagi Aluna.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Pagi berikutnya, Alya duduk di ruang kerjanya. Asisten pribadinya, Dinda, masuk dengan membawa beberapa dokumen.
“Bu Alya, ini undangan pertemuan bisnis dari keluarga Wijaya. Mereka meminta Ibu hadir bersama salah satu perwakilan perusahaan.”
Alya mengangguk, menerima undangan itu. Namun pikirannya melayang ke tempat lain. Nama keluarga Wijaya adalah salah satu lingkaran bisnis yang juga sering bersinggungan dengan perusahaan keluarga Arga. Itu artinya, ada kemungkinan besar Arga akan hadir.
Sudut bibir Alya terangkat tipis. Kesempatan pertama.
“Dinda,” katanya kemudian, “persiapkan semuanya. Aku akan hadir. Dan pastikan gaun terbaikku siap untuk malam itu.”
Dinda mengangguk tanpa curiga, lalu keluar.
Begitu pintu tertutup, Alya bersandar di kursinya. Matanya menatap kosong ke langit-langit.
“Arga…” bisiknya lirih. “Aku akan mendekatimu. Aku akan membuatmu kembali berada di sisiku. Bukan hanya karena aku merindukanmu… tapi karena lewat dirimu, aku akan membuat Aluna dan keluarga itu berlutut.”
Senyum dingin terukir di wajahnya. Sebuah senyum yang berbeda dari Alya yang dulu senyum seorang wanita yang siap menggunakan cinta sebagai senjata, dan balas dendam sebagai tujuan.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Gedung pertemuan keluarga Wijaya malam itu dipenuhi cahaya kristal lampu gantung yang memantul di permukaan marmer. Musik lembut mengalun dari sudut ruangan, menciptakan suasana elegan. Para tamu hadir dengan setelan terbaik mereka, berbaur dalam percakapan bisnis yang diselipi senyum diplomatis.
Alya memasuki ruangan dengan gaun hitam berpotongan sederhana namun elegan. Rambutnya digelung rapi, memperlihatkan leher jenjangnya. Setiap langkahnya penuh percaya diri, menebarkan aura yang sulit diabaikan. Beberapa kepala menoleh, beberapa tatapan terpaku lebih lama dari seharusnya.
Namun Alya tidak peduli pada mereka. Matanya hanya mencari satu wajah.
Dan di seberang ruangan, ia menemukannya.
Arga.
Ia berdiri bersama dua direktur, tubuh tegapnya dalam setelan abu-abu yang pas di tubuh. Meski sikapnya tenang, tatapannya jelas berubah ketika melihat Alya melangkah masuk. Ada kejutan, ada rindu, ada sesuatu yang menahan langkahnya untuk segera menghampiri.
Alya tersenyum tipis, pura-pura tidak menyadari tatapan itu. Ia justru berjalan menuju meja hidangan, mengambil segelas anggur merah. Ia tahu, semakin ia terlihat tidak peduli, semakin Arga akan mendekat.
Dan benar saja. Tak sampai beberapa menit, suara bariton yang dulu selalu menenangkan hatinya terdengar di belakang.
“Alya.”
Perlahan, ia menoleh. Senyum manis, namun matanya menyimpan ketegasan. “Arga.”