“Aku rela jadi debu… asal Ibu tetap hidup.”
Kevia rela ayahnya menikah lagi demi ibunya bisa tetap menjalani pengobatan. Ia pun rela diperlakukan seperti pembantu, direndahkan, diinjak, dianggap tak bernilai. Semua ia jalani demi sang ibu, wanita yang melahirkannya dan masih ingin ia bahagiakan suatu hari nanti.
Ardi, sang ayah, terpaksa menikahi wanita yang tak ia cintai demi menyelamatkan istri tercintanya, ibu dari putri semata wayangnya. Karena ia tak lagi mampu membiayai cuci darah sang istri, sementara waktu tak bisa ditunda.
Mereka hanya berharap: suatu hari Kevia bisa mendapatkan pekerjaan yang layak, membiayai pengobatan ibunya sendiri, dan mengakhiri penderitaan yang membuat mereka harus berlutut pada keadaan.
Agar Kevia tak harus lagi menjadi debu.
Agar Ardi tak perlu menjadi budak nafsu.
Tapi… akankah harapan itu terkabul?
Atau justru hanyut… dan menghilang seperti debu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
31. Pria dari Masa Lalu
Dengan kasar, Rima menghempaskan sapu yang ia genggam ke lantai.
“Pergi! Masuk ke kamarmu sebelum aku berubah pikiran!” teriaknya pada Kemala, matanya masih penuh api.
“Kevia, cepat bawa ibumu,” bisik Ardi sambil menahan amarah.
Dengan terburu-buru, Kevia memapah Kemala masuk kembali ke kamar. Rima berbalik, suaranya dingin menusuk. “Awas saja kau berani temui dia lagi,” katanya pada Ardi, lalu melangkah pergi bersama Riri yang mendengus puas.
Ardi berdiri kaku. Tangannya terkepal begitu keras hingga buku-buku jarinya memutih, dadanya naik turun menahan badai yang sejak lama berputar di dadanya.
"Dia selalu mengawasi setiap langkahku… tapi aku harus cari celah. Jika aku bisa membuat usahanya besar, aku juga bisa menjatuhkannya. Lebih baik hancur bersama… daripada keluargaku terus diinjak-injak."
Matanya berkilat. Bukan lagi mata seorang pria yang menyerah, tapi seorang ayah yang siap melawan meski harus mempertaruhkan segalanya.
Sementara itu, dari lantai atas terdengar dentuman keras. Rima membanting pintu kamarnya hingga engsel bergetar.
Napasnya memburu ketika melangkah ke meja rias. Ia menatap pantulan wajahnya di cermin. Cantik, sehat, berkuasa, tapi bukan itu yang ia lihat.
"Kenapa… kenapa wanita penyakitan itu tak juga mati?"
Rima menunduk.
"Akkhhh..."
Tiba-tiba ia memekik dan menyapu seluruh peralatan makeup di meja rias. Botol parfum pecah, serbuk bedak beterbangan, lipstik berjatuhan ke lantai.
"Aku sudah mengurung mereka, menyiksa mereka… tapi Ardi tetap melihat perempuan itu! Kemala yang lemah, pucat, tinggal tulang! Apa yang dia lihat darinya, hah?!"
Rima menggigit bibirnya sampai berdarah. Air matanya jatuh, bukan karena sedih, melainkan marah. Bayangan malam-malam menyesakkan itu berkelebat di kepalanya.
Malam ketika Ardi mimpi basah sambil mendesahkan nama Kemala.
Malam ketika suaminya hanya bisa menunaikan kewajiban setelah menelan obat biru. Ketika Ardi menindih tubuhnya, tapi bibir lelaki itu justru meracau nama Kemala.
Pelukan itu keras, panas karena kimia, tapi dingin di hatinya. Kosong, karena diisi bayangan perempuan lain.
Kebutuhannya memang terpenuhi, tapi dengan harga sakit hati yang tak terukur. Karena di setiap desah lelaki itu, nama yang keluar bukanlah namanya.
Dia menutup wajahnya dengan kedua tangan, tertawa getir bercampur isak. “Dia milikku. Mau sampai kapan pun, Ardi tetap milikku… meski aku harus menyiksanya habis-habisan.”
Di luar kamar itu, dunia tampak kontras.
Di teras samping rumah, Ardi terduduk diam. Tatapannya kosong menembus remang malam. Ia hanya bisa menatap siluet putri dan istrinya dari kejauhan. Hanya bisa melihat, tak berani mendekat. Rasa rindu dan bersalah menikam dada.
Sementara di kamar yang suram, Kemala duduk di sisi ranjang. Tangannya gemetar saat menyeka dan mengoles balsem ke memar di punggung Kevia. Setiap goresan luka di tubuh putrinya serasa menggores jantungnya sendiri.
“Maafkan Ibu…” bisiknya lirih, air mata jatuh satu per satu membasahi pipinya yang pucat.
Kevia berbalik, meraih tangan ibunya dan menggenggam erat. Meski tubuhnya masih terasa nyeri, sorot matanya mantap.
“Ini salahku, bukan salah Ibu. Aku yang membuat Riri dihukum. Ibu jangan pikirkan apa pun. Ibu harus tetap bertahan… demi aku, demi Ayah. Aku rela menderita asal aku masih bisa melihat dan memeluk Ibu.”
Tangis Kemala pecah. Ia mendekap putrinya sekuat tenaga, seolah ingin melindunginya dari seluruh dunia.
“Ibu tak akan menyia-nyiakan pengorbananmu… juga pengorbanan Ayahmu,” gumamnya di antara isak.
Malam itu, di bawah atap yang sama, tiga hati bergejolak.
Ardi dengan tekad gelap yang kian membara.
Rima dengan cinta obsesif yang menjelma racun.
Kemala dan Kevia dengan pelukan rapuh namun penuh harapan.
Dan tak seorang pun tahu… kapan benturan besar itu akan pecah.
***
Hari-hari berganti. Tahun demi tahun terlewati. Kevia dan keluarganya masih terkurung dalam bayang-bayang Rima.
Kevin? Ia tetap menjaga jarak di kelas, pura-pura tak peduli. Tapi diam-diam, lewat pesan singkat dan pertemuan kilat di belakang sekolah, ia tetap menggenggam Kevia dengan caranya sendiri.
Sore itu, langit muram, jalanan sepi hanya diisi suara ranting yang digoyang angin. Kevia berjalan pulang seorang diri, langkahnya berat tapi tenang.
Lalu—
TIINNN!!!
BRAKKK!!!
Suara klakson bercampur benturan keras memecah kesunyian, memantul di dinding rumah-rumah. Kevia refleks menoleh.
Di pertigaan, sebuah motor terkapar. Truk besar oleng menghantam pohon. Asap tipis mengepul dari kap mesin.
“Ya Tuhan…” Kevia terperanjat, lalu berlari menghampiri.
Seorang pria tergeletak di aspal, kakinya tertindih motor. Napasnya berat, wajahnya meringis menahan sakit.
Kevia menjatuhkan tasnya. “Aku bantu!” serunya. Dengan sekuat tenaga ia mencoba mengangkat motor itu. Tubuhnya gemetar, tapi berhasil sedikit menggeser. Cukup membuat sang pria menarik kakinya keluar.
Pria itu terengah, tapi tak bersuara.
Kevia menunduk, panik. “Gimana keadaanmu? Kau baik-baik saja?!”
Hening. Hanya suara napas kasar.
Kevia mengangkat wajahnya, dan saat matanya benar-benar menatap pria di depannya—
Darahnya membeku.
“Om…” bisiknya lirih.
Wajah itu. Garis rahang yang sama. Tatapan mata yang pernah menolongnya lima tahun lalu. Kini bukan hanya dewasa, tapi lebih tegas, lebih matang, dengan ketenangan yang memancarkan wibawa. Mustahil Kevia salah mengenali.
Tangannya bergetar. “Kamu… berdarah…” suaranya pecah, penuh kepanikan.
Tanpa pikir panjang, Kevia meraih ponselnya, tangan nyaris terpeleset karena gemetar. Ia menekan nomor darurat, menjerit ke dalam telepon:
“Tolong! Ada kecelakaan di pertigaan Jalan Bugenvil! Cepat kirim ambulance!”
Matanya terus menatap pria itu yang melemah. Hatinya berdegup tak karuan.
Orang yang pernah menyelamatkannya… kini terkapar di depannya.
Dan kali ini, giliran Kevia yang harus menyelamatkan dia.
Kevia berlutut di samping tubuh pria itu. Ia melepaskan sweater tipisnya. Tangannya gemetar saat meraih gunting kecil yang kebetulan ia bawa dari sekolah. Seharusnya gunting itu untuk membuat kerajinan, bukan untuk keadaan darurat seperti ini. Dengan cepat ia menggunting sweaternya, matanya terbelalak melihat darah segar yang terus merembes dari lengan dan kepala sang pria
“Ya Tuhan…” bisiknya panik.
Kevia berusaha mengikat luka di lengan dan kepala itu sekuat tenaga. Jari-jarinya berlumur darah, tetapi ia tetap menahan napas, menekan kuat agar pendarahan berhenti. Sesekali, tangannya menyeka wajah pria itu yang berlumuran darah, nyaris tak terlihat rautnya.
“Jangan pingsan, Om… dengar aku, tolong jangan tidur…” suaranya bergetar, penuh kekhawatiran.
Tatapan pria itu samar, buram oleh darah yang mengalir dan kesadarannya yang kian menipis. Kepalanya terkulai lemah, namun matanya masih terbuka, seolah berusaha bertahan. Ia tak lagi mampu berbicara, hanya mendengar samar suara Kevia yang memanggilnya.
Sirene meraung di kejauhan. Ambulans datang, lampu merah-biru berputar menerangi suasana. Petugas medis segera mengambil alih, tapi Kevia tak bergeser sedikit pun. Ia ikut naik ke dalam ambulans, menggenggam erat tangan pria itu sepanjang jalan, seakan ketakutan jika melepaskannya.
“Bertahanlah, Om…” suaranya lirih, nyaris tenggelam oleh deru sirine. Bibirnya bergetar, antara takut dan penuh harap.
Di depan ruang UGD, ia menunggu, hatinya mencelos tiap kali pintu menutup. Lalu, dua orang perawat keluar.
"Pria itu butuh donor darah segera," kata salah satunya.
Yang lain menambahkan, "Sepertinya stok darah O kita habis. Keluarganya belum datang."
Kevia sontak berdiri. “Ambil darah saya. Golongan saya O.”
Kedua perawat saling lirik. Salah satunya menegaskan, “Kau yakin, Nak? Minimal kami perlu cek cepat dulu.”
Kevia mengangguk mantap, meski wajahnya pucat. “Jika darah saya bisa menyelamatkan nyawa orang lain, saya rela.”
Tanpa banyak bicara lagi, mereka segera menggiring Kevia ke ruang donor.
Jarum menembus kulitnya, darahnya mengalir demi menyelamatkan nyawa pria yang hingga kini masih mampu menghangatkan hatinya. Tubuhnya mulai melemah, namun senyum tipis tetap terukir di wajahnya.
Sampai akhirnya, ketika semua selesai, Kevia tanpa sengaja menoleh ke jam dinding di ruang itu. Seketika matanya membelalak. Hampir malam.
“Nyonya Rima…” gumamnya cemas. Ia tahu, wanita itu pasti marah besar. Ia tak ingin ibunya kena imbas kemarahan Rima.
Dengan langkah terburu, Kevia meninggalkan ruang itu. Tubuhnya masih lelah, tangannya perih bekas jarum, tapi ia tak punya pilihan.
Namun sebelum benar-benar pergi, ia sempat berhenti sejenak di depan rumah sakit. Menatap bangunan itu, matanya berkaca-kaca.
"Semoga Om selamat… aku akan kembali besok," bisiknya lirih. Lalu ia membalikkan badan dan pergi.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Si Om di bawa ke rumah sakit Kevia ikut serta. Sampai tak ingat waktu - selesai Kevia mendonorkan darahnya untuk si Om yang kebetulan sama - Kevia segera pulang.
Rima bakal menghukum Kevia kah ???
Rima egois sekali merasa dengan uangnya bisa menguasai Ardi - menyiksa anak dan istrinya. Rima benar-benar biadap. Kapan Rima mendapat karma ya...
ato si Om itu Papahnya Kevin..ah masih menebak² nih dan masih penasaran
Wah si anak ular sudah membolak balikan Fakta,fitnah Kevia lagi di rumahnya..,hey kamu Rima datanglah kesekolah tanyakan ada pihak sekolah apa yang telah anakmu lakukan di sekolah sehingga di skor dan di hukum..jangan langsung mrnghakimi Kevia yang tidak bersalah kamu siksa
Kevin ayo kirim orang ke rumah si Riri untuk menyamar jadi pelayan,untuk mengawasi keadaan Kevia dan keluarganya yang di siksa terus sama dua Iblis...
lawan saja Pak Ardi jangan takut dan jangan mau kalah
pengen liat Kevia bisa cari kerja diluar