Pernikahan siri antara Nirmala Wongso dan juga Seno Aji Prakoso membuahkan hasil seorang anak laki-laki yang tidak pernah diakui oleh Seno, karena ia takut keluarga besarnya akan tahu tentang aibnya yang diam-diam menikahi gadis pelayan di club malam.
Setelah dinyatakan hamil oleh dokter Seno mulai berubah dan menyuruh Nirmala untuk menggugurkan kandungannya jika masih tetap ingin menjadi istrinya.
Namun Nirmala memilih jalan untuk mempertahankan buah hati dan meninggalkan kemewahannya bersama dengan Seno.
Penasaran?? ikuti jalan kisah Nirmala yang penuh dengan lika-liku kehidupan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayumarhumah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4
Keesokan paginya, suara angin di waktu subuh terdengar syahdu membawa hawa sejuk ke dalam rumah, sisa rintik-rintik hujan masih terdengar bau tanah basah masih terasa, di sini dengan penuh semangat seorang ibu mulai memasak, mencemplungkan ikan-ikan ke dalam gorengan dengan minyak yang sudah panas.
Suara percikan minyak yang disertai gelembung-gelembung panas, turut menjadi saksi betapa leganya wajah seorang ibu yang akhirnya bisa memberikan menu yang layak untuk sang anak.
"Akhirnya pagi ini anakku bisa sarapan dengan layak," ucap Nirmala dengan senyum tulusnya.
Selesai dengan masak memasaknya, wanita itu langsung ke kamar sang anak yang masih terlelap di dalam tidurnya. Udara sejuk di pagi hari masuk melalui celah jendela kayu yang sudah lapuk, sejenak Nirmala mulai tersenyum tipis melihat wajah polos Alaska di saat sedang terlelap seperti ini, garis rahang yang tegas hidung mancung, semua yang ada di dalam fisik sang anak sama seperti ayah biologisnya.
"Wajahmu begitu mirip Nak," ucap Nirmala dengan senyum getirnya.
Sejenak wanita itu mulai membereskan selimut yang ada di sisi ranjang, tatapannya mulai tertunduk, kepada kertas lusuh yang terlihat separuh terselip di bawah bantal, tangan Nirmala langsung terulur dengan rasa penasaran yang cukup tinggi, karena tidak seperti biasanya sang anak menyembunyikan sesuatu darinya.
"Kertas apa ini ya?" tanya Nirmala.
Kemudian Nirmala langsung membuka lipatan kertas yang sedikit lusuh itu, tulisan tangan Alaska terpampang jelas meskipun kata-katanya masih belum sempurna namun mampu membuat tangan Nirmala bergetar.
Tuhan ... jika ada waktu aku ingin sekali melihat wajah ayahku yang bernama Seno Aji Prakoso.mp
Deg!!
Jantung Nirmala berdetak keras, mata yang awalnya teduh kini berubah berkaca-kaca, hatinya terasa sakit melihat semua ini seolah dunianya berhenti berputar, tulisan sederhana itu mampu merobek-robek hatinya.
"Maafkan Ibu Nak ... yang sudah membawamu kedalam masalah pelik ini, sungguh Ibu tidak ada maksud untuk membuatmu menahan rindu seperti ini," ucapnya dengan suara yang mulai serak tenggelam bersama tangisannya.
Nirmala segera menyudahi tangisnya ia langsung membangunkan sang anak, dengan cepat. "Nak ... ayo bangun sudah jam lima."
Perlahan Alaskan mulai menggetarkan kelopak matanya sebelum akhirnya ia mengerjapkan matanya. "Hah sudah jam lima Bu," sahutnya dengan terkejut.
"Iya Sayang."
"Baiklah Laska mau shalat subuh dulu ya Bu," ucap sang anak lalu mulai beranjak dari tempat tidurnya.
Nirmala hanya bisa melihat punggung anaknya yang semakin jauh dari pandangannya, setelah itu ia langsung menaruh kembali lipatan kertas tadi di bawah bantal sang anak.
Satu jam kemudian, Nirmala sudah menyajikan sarapan pagi untuk sang anak di atas meja kayu berukuran kecil dengan penuh semangat tangan lentiknya itu mulai menata makanan sebaik mungkin.
Dan tidak lama pula Alaska keluar dari kamar dengan seragam sekolah yang sudah membalut tubuhnya, terlihat sangat tampan dan rapih meskipun Alaska tumbuh di dalam keluarga yang sangat sederhana.
"Wah ... sepertinya pagi ini Ibu masak ikan nih!" seru Alaska sambil menghampiri sang Ibu.
"Iya Sayang, Alhamdulillah Ibu dapat rejeki, jadinya ya hari ini Ibu masak ikan untuk kamu Nak," sahut Nirmala.
Sejenak anak kecil itu mulai terdiam senyumnya yang tapi mekar tiba-tiba hilang dalam sekejap. "Bu, kalau hari ini kita makan ikan, besok apa Ibu masih ada sisa uang untuk masak?" tanya sang anak yang tiba-tiba membuat hati Nirmala terenyuh.
"Nak, kamu kok bertanya seperti itu sih?" ucap Nirmala.
"Gini Bu, kan untuk sekarang dan besok Ibu masih belum ada pekerjaan, seharusnya tadi Ibu masak tempe saja, kan uangnya bisa buat besok dan besoknya lagi, Laska gak masalah jika harus memakan nasi sama tempe yang penting Ibu tidak bingung untuk memikirkan besok masak apa."
Nirmala langsung mengusap air mata yang tiba-tiba lolos dari pelupuk mata, sebagai orang tua dia merasa bersalah karena selalu mengajak anaknya itu hidup dalam kesederhanaan, sampai-sampai sang anak berpikir keras ketika dirinya mulai memasak lauk yang cukup layak.
"Nak, jangan berpikiran seperti itu Rejeki kita sudah ada takarannya, Ibu melakukan ini semua, agar anak Ibu juga bisa merasakan lezatnya ikan laut, jadi kamu gak harus makan tempe saja," jelas Nirmala.
"Makasih ya Bu, baiklah kalau begitu aku makan dulu ya," sahut Alaska.
Tidak lama kemudian Alaska menikmati sarapan paginya dengan menu yang sudah terhidang, meskipun nampak sederhana, tapi menu kali ini cukup istimewa di mata seorang anak yang setiap harinya selalu menahan lapar.
☘️☘️☘️☘️
Selepas sang anak berangkat sekolah tadi, Nirmala mulai berpikir keras untuk mencari pekerjaan yang bisa menghasilkan uang, dengan gigih ibu satu anak itu mulai pergi ke ladang, mencari sayur mayur yang bisa ia jual.
Kebetulan saat ini musim penghujan, dan hal itu digunakan Nirmala untuk mencari jamur liar yang biasanya selalu tumbuh di ladang ketika musim penghujan seperti ini.
Dengan hati-hati langkah kakinya melewati jalan yang licin dan lembab karena tetesan hujan masih menetes di jas hujan yang ia pakai, suaranya sedikit keras seperti ritme alam yang menemani perjalanannya.
Seketika matanya menangkap sesuatu di antara semak basah, beberapa jamur kecil berjejer, tumbuh agak berjauhan. Jumlahnya tak banyak, namun cukup membuat hati Nirmala berbunga. Dengan cekatan ia merunduk, jemarinya yang kurus hati-hati memetik jamur-jamur itu dan memasukkannya ke dalam keranjang bambu yang sudah ia siapkan dari rumah.
"Wah jamurnya lumayan!" serunya dengan penuh semangat.
Setelah memetik jamur-jamur yang ia temukan, langkah kakinya terus saja menyusuri jalanan lembab yang dipenuhi lumpur, dan meninggalkan bekas jejak kakinya, mata Nirmala kembali terpanah disaat melihat jamur-jamur yang berjejeran kembali, tubuhnya mulai merunduk kembali tangan kecilnya dengan cepat memetik, beberapa jamur tanpa peduli guyuran hujan semakin keras terdengar.
"Hujannya begitu lebat, tapi jamur-jamur itu terlalu sayang untuk dilewatkan," ucapnya sendiri.
Tanpa terasa keranjangnya sudah dipenuhi oleh bermacam jenis jamur, ia pun segera memutuskan untuk pulang di tengah lebatnya hujan yang mengguyur pagi ini. Jalanan licin berlumpur tak jadi kendala, kakinya seolah sudah terlatih melewati jalan yang cukup curam ini.
"Akhirnya aku sudah melewati jalanan berlumpur itu," ucapnya ketika sudah keluar dari ladang.
Saat ini Nirmala sudah sampai di perkampungan warga, hujan yang tadinya lebat sekarang sudah sedikit reda meskipun gerimis halus masih menetes, ia tidak gentar semangatnya masih membara untuk menjajakan jamur-jamur itu ke warga sekitar yang mau membelinya.
"Jamur ... jamur ...," ucapnya menggema.
Salah satu warga ada yang keluar membuka pintu rumahnya ketika mendengar suara Nirmala yang menjajakan dagangannya.
"Mbak Mala, jualan jamur liar ya?" tanya seorang warga itu.
"Iya Bu, kebetulan baru saja dipetik tentunya masih segar nih," sahut Nirmala.
"Satu keranjang itu berapa?" tanya calon pembelinya itu.
"30 ribu saja Bu, soalnya jamurnya banyak kalau satu kilo saja mungkin lebih," sahut Nirmala.
"Iya deh aku ambil, soalnya suamiku suka jamur liar ketimbang jamur budi daya," ucap pembeli itu sambil menyodorkan uang pecahan 20 ribuan dua.
"Bu, aku gak ada kembaliannya harus pulang dulu," sahut Nirmala.
"Sudah ambil saja, lain kali kalau dapat jamur liar lagi bawa saja ke rumahku," sahut ibu itu yang diangguki oleh Nirmala.
Nirmala langsung melanjutkan langkahnya untuk pulang, di dalam perjalanan ia menatap langit mendung, dengan tatapan teduhnya.
"Akhirnya aku dapat juga rejeki untuk memasak di esok hari," ucapnya penuh senyum syukur.
Bersambung ....
😂😂😂😂