“Menikahlah denganku, Jia.”
“Berhentilah memikirkan masa lalu!! Kita tidak hidup di sana!!”
“Jadi kamu menolakku?”
“Apa yang kamu harapkan?? Aku sudah menikah!!!!”
Liel terdiam, sama sekali tidak menunjukkan keterkejutan. Sorot matanya yang tajam itu kembali lagi. “Aku tahu kamu sudah bercerai. Pernikahan macam apa yang sehari setelah menikah sudah tidak tinggal satu atap?”
Sebelas tahun lebih, mereka memutuskan untuk menyerah dan melupakan satu sama lain. Namun, secara ajaib, mereka dipertemukan lagi melalui peristiwa tidak terduga.
Akan kah mereka merajut kembali tali cinta yang sudah kusut tak berbentuk, meski harus melawan Ravindra dan anaknya Kay, wanita yang penuh kekuasaan dan obsesi kepada Liel, atau justru memilih untuk menyerah akibat rasa trauma yang tidak pernah sirna.
Notes : Kalau bingung sama alurnya, bisa baca dari Season 1 dulu ya, Judulnya Beauty in the Struggle
Happy Reading ☺️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Avalee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berharap Mati
Pintu kamar terbuka lebar saat Jia dan Tony masuk. Mereka menghampiri Liel yang masih meracau. Meski panik dan diliputi rasa kekhawatiran, Jia berusaha untuk tenang.
Dia segera memeriksa suhu tubuh Liel dengan termometer digital, dan ya, suhu tubuhnya mencapai 42,1 derajat Celcius.
“Apa dia mengalami Hiperpireksia?”
“Hah? A–apa itu Nona? Apa itu semacam demam tinggi?” tanya Tony kebingungan.
“Semacam itu. Bahkan bisa mengancam nyawa. Jadi, bisakah kamu membantuku?” ucapnya tenang
Tony mengangguk. Dia terlihat cemas melihat tuannya mengalami penurunan kesadaran, terkapar dan tidak berdaya.
Jia segera memerintahkan Tony untuk membasahi handuk kecil dan menaruhnya di baskom kecil. Sementara Jia memasang infus di tangan kiri Liel.
“Ha–us … a–air …” gumam Liel, nyaris tidak terdengar.
“Dia mengalami dehidrasi.”
Tony terlihat panik, lagi. Rasa khawatir menguasainya, dan itu terlihat jelas dari raut wajahnya.
“Tidak apa-apa, sementara cairan infus ini berguna menggantikan cairan tubuh yang sempat hilang dari tubuhnya.” Jia menempelkan plester agar jarum infus menempel sempurna di punggung tangan Liel.
Meskipun Jia fokus mengurus Liel, namun tidak dengan matanya yang menjelajah, menatap ke segala arah, berharap Kay meninggalkan jejak, agar Jia memiliki alasan kembali, untuk membalaskan dendamnya.
Namun, tidak kunjung dia dapatkan. Hingga matanya tertuju pada warna merah di sudut bibir dan bekas kecupan di dada Liel.
“Haaa … dasar gila!! Apa yang dilakukannya pada orang yang sedang sakit?? Andai aku bergerak lebih cepat!!”
Tony panik. “Si–siapa yang mencium Tuan muda?!”
“Mungkin … kucing liar,” ucap Jia datar, namun hatinya panas, terbakar api asmara.
Seketika Tony menatap heran setelah mendengar jawabannya. Jia yang hatinya remuk, mengetahui bahwa Kay tidak waras. Tapi dia tidak pernah menyangka bahwa sampai saat ini, Kay masih bertindak seperti itu.
“Tony, sebelum kamu membersihkannya noda merah itu, foto saja sebagai bukti, agar saat Liel sadar, dia mengetahuinya,” ucapnya lagi.
Kemudian saat Tony meminta ijin mengambil minuman di ruang sebelah, pikiran buruk tentang Liel serta Kay pun semakin tak terkendali, membuat imajinasi liar berkembang dengan cepat di otaknya.
Meski menjengkelkan setengah mati, dengan sekuat tenaga, Jia menepis pikiran itu. Baginya, pertolongan pertama untuk Liel lebih penting daripada yang lain.
Jia menatap lekat wajah Liel. “Aku membencimu!! Ya, sangat mem-ben-ci-mu!”
Sambil mengomel, Jia dengan gerakan gesitnya menyuntikkan obat penurun demam dan mengompres dahinya. Dia melakukan hal itu berulang kali, hingga 3 jam berlalu, saat waktu menunjukkan pukul 23:22 WIB, suhu tubuh Liel mulai menurun.
Kini Liel dapat tertidur dengan nyenyak tanpa meracau lagi. Jia yang masih dalam posisi duduk, mulai kelelahan. Tangan kirinya menopang dagunya, sedangkan tangan kanannya, memegang tangan Liel.
Jia mengusap lembut tangan Liel. “Untung saja kamu selamat … aku tidak akan membiarkanmu mati, Liel. Apabila harus mati pun, aku bersedia menggantikanmu. Aku selalu menunggu akan hal itu. Perasaan ingin mati ini, selalu menyiksaku.”
Kemudian Jia mengambil handuk kecil basah yang ada di dahinya. Dia merapikan rambut Liel, menyisir pelan dengan tangannya, agar terlihat rapi.
Ya, dia tidak pernah suka rambut gelombang Liel yang berantakan. Dia begitu membencinya, sebab itu mengingatkan Jia pada masa SMA nya, di mana Liel menyakitinya. (Beauty in The Struggle, Season I)
“Meski depresi berat mungkin menghalangiku, namun tidak dapat ku pungkiri, bahwa kamu salah satu yang menerangi duniaku, akhir-akhir ini, merci,” lanjutnya lagi.
(*merci adalah bahasa prancis, yang artinya terima kasih)
Di sisi lain, Tony yang bermaksud merekam momen manis tersebut untuk di perlihatkan kepada tuannya, tidak sengaja mendengar semua perkataan Jia.
Air matanya menetes. Ternyata, di balik badan tinggi, kuat dan besar itu, terdapat hati yang lembut. Tony merasa iba terhadap Jia.
Tony yang melihat Jia akan segera berdiri dari kursinya itu, segera mematikan rekaman video dan menyeka air matanya.
“Nona Jia, ijinkan saya mengantar Anda sampai di depan resort.”
“Tidak perlu. Tolong jaga Liel. Cek juga setiap cctv di depan lorong kamar Liel, mungkin kalian akan menemukan bukti di sana, aku pergi dulu.”
Nyesek gak sih, lihat Jia dengan perasaannya yang rumit ini?
Mana dia tetap mau ngerawat Liel meskipun penyakit mentalnya datang 😭😭
Kalau kalian sayang Jia, please semangatin author supaya bikin dia tetap “HIDUP” dengan tinggalkan jejak seperti LIKE, KOMEN, DAN SUBSCRIBE ✨
Saranghaeyoo readers 😍