Tiga tahun Arunika rela menjadi istri yang sempurna. Ia bekerja keras, mengorbankan harga diri, bahkan menahan hinaan dari ibu mertua demi menyelamatkan perusahaan suaminya. Namun di hari ulang tahun pernikahan mereka, ia justru dipaksa menyaksikan pengkhianatan paling kejam, suami yang ia cintai berselingkuh dengan sahabatnya sendiri.
Diusir tanpa belas kasihan, Arunika hancur. Hingga sosok dari masa lalunya muncul, Rafael, pria yang dulu pernah dijodohkan dengannya seorang mafia yang berdarah dingin namun setia. Akankah, Rafael datang dengan hati yang sama, atau tersimpan dendam karena pernah ditinggalkan di masa lalu?
Arunika menyeka air mata yang mengalir sendu di pipinya sembari berkata, "Rafael, aku tahu kamu adalah pria yang kejam, pria tanpa belas kasihan, maka dari itu ajari aku untuk bisa seperti kamu!" tatapannya tajam penuh tekad dan dendam yang membara di dalam hatinya, Rafael tersenyum simpul dan penuh makna, sembari membelai pipi Arunika yang basah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
18. Arunika
Dua malam berturut-turut setelah hari itu Rafael tidak pulang ke mansion. Arunika mulai resah. Setiap kali ia bertanya, jawaban para pelayan selalu sama, “Tuan Rafael masih di luar, Nyonya.” Akhirnya, sore itu ia memberanikan diri menemui Marco yang baru saja kembali membawa berkas dari luar.
“Marco,” panggilnya. Pria itu menoleh, sedikit terkejut mendengar suara lembut Arunika yang biasanya menjaga jarak.
“Di mana Rafael? Dua hari ini dia tidak pulang. " Nada bicara Arunika tenang, tapi matanya tajam menuntut jawaban.
Marco menghela napas, terlihat ragu. “Tuan sibuk, Nyonya. Ada proyek baru yang harus diawasi langsung. Pembangunan gedung dan investasi besar. Beliau tidak bisa mempercayakan itu pada orang lain.”
“Proyek apa?” Arunika menekan.
Marco menatapnya sejenak, lalu menjawab singkat. “Kerja sama dengan perusahaan keluarga Arummuda.” Jantung Arunika berdetak lebih cepat. Itu bisa jadi celahnya, untuk bergabung langsung dalam perusahaan, Arunika mengangguk tipis, menyimpan informasi itu dalam hati.
“Maka aku akan pulang ke rumah Arummuda. Aku ingin bicara langsung dengan Ayah.” Marco hanya menunduk, tidak berani mencegah.
Malam mulai turun ketika mobil Arunika berhenti di depan rumah besar keluarga Arummuda. Rumah itu tampak sepi, hanya beberapa pelayan yang masih lalu-lalang. Begitu masuk, seorang pelayan mendekat.
“Tuan ada di lantai atas, Nona. Di ruang kerjanya.”
Arunika langsung melangkah menaiki tangga. Namun, begitu sampai di depan ruang kerja Roman, langkahnya terhenti. Suara berat Roman terdengar samar dari balik pintu yang sedikit terbuka.
“Zhilo,” suara Roman tegas, dingin. “Kau harus melenyapkan Arunika segera. Selama dia ada, Rafael akan tetap jadi duri dalam daging. Kita tidak akan pernah bisa melawan dia.”
Arunika menahan napas, tubuhnya gemetar. Roman melanjutkan, “Pulau Trilon sudah di tangan Rafael. Kita hanya butuh satu tanda tangan untuk mengambilnya. Dan kuncinya ada di wanita yang dia sembunyikan di paviliun tua itu. Wanita itu harus segera kita rebut. Arunika juga alasan untuk kita tak bisa bergerak,"
Zhilo menjawab rendah, “Baik, Kak. Aku akan awasi dia. Jangan khawatir, aku punya cara.”
Arunika mundur perlahan, matanya melebar mendengar nama paviliun tua. Jadi benar, ada seseorang yang disembunyikan Rafael di sana. Dan lebih pahit lagi, orang yang selama ini ia panggil Ayah, ternyata merencanakan kematiannya. Namun, kalimat berikutnya yang keluar dari mulut Roman benar-benar menghancurkan hatinya.
“Arunika bukan darah dagingku. Dia bukan anakku. Jadi kalau dia mati, aku tidak akan meneteskan air mata sedikit pun.” Darah Arunika serasa berhenti mengalir. Ucapan Roman barusan menusuk lebih dalam daripada seribu belati. 'Bukan anakku kalau dia mati, aku tidak akan meneteskan air mata sedikit pun'. Kalimat itu berulang-ulang bergema di kepalanya, membuat dadanya sesak.
Tangannya bergetar, tubuhnya seperti kehilangan tenaga. Dunia seakan berputar, hancur bersama bayangan masa kecilnya yang selama ini ia peluk erat. Ayah yang ia banggakan, tempat ia pulang setelah tiga tahun menghilang tetapi ternyata hanyalah topeng. Sakitnya begitu nyata, seolah-olah dadanya diremas dari dalam. Namun, Arunika tahu satu hal, ia tidak boleh runtuh di depan mereka.
Prang!
Vas kristal terjatuh, membuatnya tersentak. Nafasnya memburu, jantungnya berdegup kencang seperti hendak meloncat keluar. Panik merayap, tapi dengan cepat ia paksa dirinya untuk waras. Dengan langkah tergesa ia menuruni tangga, lalu mengatur napas sedalam mungkin. Tatapannya cepat mencari arah lain yaitu ruang tamu, majalah yang ada di atas meja langsung ia ambil agar dia terlihat tenang, seolah tidak pernah tahu apa-apa.
Ketika Roman dan Zhilo muncul dengan wajah penuh curiga, Arunika sudah duduk santai, lembar majalah terbuka di tangannya. Senyum manis tergambar di wajahnya, seolah hatinya tidak sedang dirobek-robek.
“Ayah, aku rindu,” ucapnya lembut, lalu mendekat dan memeluk Roman. Hanya sebentar, cukup untuk menutupi matanya yang nyaris berlinang air mata. Dalam pelukan singkat itu, ia merasakan dinginnya tubuh pria yang selama ini ia panggil Ayah tetapi kini dingin dan asing.
"Aku dengar, Ayah dan Rafael telah merencanakan proyek baru? Aku ingin bergabung di dalamnya," ucap Arunika dengan suara nyaris terbata, menahan sesak di dada. Roman menatapnya, senyumnya tipis, dan penuh kepalsuan.
“Baiklah, kalau itu maumu, buktikan kamu pantas.”
Arunika menunduk, menahan perih yang menyalak dalam dadanya. “Aku akan buktikan, Ayah.”
Namun, dalam hati ia berbisik getir, penuh tekad, 'kau boleh merencanakan kematianku, tapi aku yang akan memastikan kau berlutut di hadapanku terlebih dulu.'
Mansion Pentronas.
Malam itu, kamar Arunika di mansion terasa lebih sunyi daripada biasanya. Hanya bunyi detik jam dinding yang terdengar menusuk, seolah ikut menghitung tiap detik kegelisahan dalam dadanya. Arunika, duduk di tepi ranjang, tatapannya kosong menembus kegelapan. Kata-kata Roman kembali terngiang di telinganya, menghantam tanpa henti.
'Arunika bukan darah dagingku. Kalau dia mati, aku tidak akan meneteskan air mata sedikit pun.'
Sakitnya begitu parah, tapi di antara rasa perih itu, muncul pertanyaan baru yang membuat kepalanya semakin berat.
'Kalau Roman bukan ayahku … lalu siapa? Siapa sebenarnya orang tuaku?'
Keningnya berkerut, ingatannya melayang ke masa kecil. Tidak pernah ada foto keluarga lengkap di rumah Arummuda. Tidak ada gambar seorang ibu yang menemaninya tumbuh. Hanya ada potret dirinya bersama Roman, dengan senyum yang kini terasa palsu. Semua terasa aneh, tapi dulu ia terlalu kecil untuk mempertanyakannya. Tangannya mengepal di atas seprai.
'Selama ini aku buta. Selama ini aku dibohongi. Kalau benar ada sesuatu yang disembunyikan, aku akan menemukannya.'
Ponselnya bergetar di nakas. Nama Rafael muncul di layar, panggilan masuk yang terus berulang. Arunika hanya melirik sekilas, lalu membiarkannya berdering tanpa dijawab. Ia tidak ingin siapa pun melihat dirinya dalam keadaan rapuh. Air matanya menetes tanpa ia sadari, jatuh membasahi tangannya sendiri. Arunika menghapus cepat, mengangkat dagunya, tatapannya mengeras.
Sebuah pesan masuk membuat kening Arunika berkerut saat membacanya.
[Jangan melakukan apapun diluar kendaliku. Jika kau berani melewati batas, kau akan tau akibatnya!]
"Heh?!" seringai menghiasi bibir Arunika setelah membaca pesan tersebut.
Salam sehat ttp semangat... 💪💪😘😘
Salam kenal Thor.. 🙏🏻
mikir nihh