Bima Pratama bukan sekadar anak SMK biasa.
Di sekolah, namanya jadi legenda. Satu lawan banyak? Gaspol. Tawuran antar sekolah? Dia yang mimpin. Udah banyak sekolah di wilayahnya yang “jatuh” di tangannya. Semua orang kenal dia sebagai Jawara.
Tapi di rumah… dia bukan siapa-siapa. Buat orang tuanya, Bima cuma anak cowok yang masih suka disuruh ke warung, dan buat adiknya, Nayla, dia cuma kakak yang kadang ngeselin. Gak ada yang tahu sisi gelapnya di jalan.
Hidup Bima berjalan di dua dunia: keras dan penuh darah di luar, hangat dan penuh tawa di dalam rumah.
Sampai akhirnya, dua dunia itu mulai saling mendekat… dan rahasia yang selama ini ia simpan terancam terbongkar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aanirji R., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertandingan Pertama
Pagi itu, suasana sekolah jauh berbeda.
Koridor dipenuhi suara bisik-bisik, wajah antusias, dan ekspresi tegang. Anak-anak dari berbagai kelas memenuhi arah menuju aula besar yang jarang sekali dipakai. Dan kali ini, aula itu sudah berubah total—di tengahnya berdiri sebuah ring besar dengan matras biru, pagar pembatas hitam kokoh mengelilinginya. Lampu sorot dipasang, dan bangku penonton diatur rapi, memberi kesan seperti kompetisi profesional sungguhan.
“Wih… gila, kaya nonton MMA beneran,” celetuk Raka dengan mata berbinar, berjalan di samping Bima.
Bima cuma mengangguk kecil, matanya menyapu ring, mencoba membiasakan diri dengan atmosfer baru ini.
Para calon perwakilan kelas dipanggil satu per satu untuk maju mengambil undian. Mereka nggak sendiri—masing-masing ditemani satu orang teman kelas untuk memastikan transparansi.
Saat giliran Bima dipanggil, Raka langsung jingkrak kecil.
“Gas, Bim! Tenang aja, tangan gua adem, bisa bawa hoki!” ujarnya sambil nyengir.
Bima menggeleng pelan, tapi tetap ikut tersenyum tipis. “Yaudah, jangan lebay.”
Bima memasukkan tangannya ke kotak undian. Kertas kecil diambil, dilipat rapi. Raka berdiri menunggu di sampingnya sambil pura-pura serius seperti manajer petarung profesional. Saat dibuka, nama lawannya muncul: Reno – kelas 1B.
“Lumayanlah, Bim. Masih kelas 1. Pemanasan doang,” bisik Raka.
Bima tidak menjawab, hanya menatap ring sejenak—ia tahu, di MMA, semua bisa jadi bahaya.
***
Andre maju setelahnya. Ditemani teman sekelasnya, tapi ekspresi Andre jelas pucat. Tangannya gemetar saat menarik undian, dan ketika dibuka—
Andre (2C) vs Dodi (3C).
Andre langsung bengong. “...Astaga.”
temen yang menemaninya menepuk bahunya, mencoba menenangkan, tapi wajahnya sendiri juga menegang.
Raka yang melihat dari jauh langsung nyeletuk dengan suara agak keras, “Wah, Andreee… abis lu! Baru seleksi udah jadi korban latihan Dodiii!”
Andre melotot panik. “RAKAAA!!!”
Seketika beberapa orang di sekitar tertawa, walaupun Andre makin keringetan dingin.
***
Nama demi nama diumumkan.
Bima (2B) vs Reno (1A)
Dodi (3C) vs Andre (2C)
Nando (1C) vs Fahri (3B)
Dimas (2A) vs Bagas (3A)
Rangga (3A) vs (Undian 2 orang)
Pak Arman kemudian berdiri di tengah aula dengan mikrofon, wajahnya serius.
“Undian sudah selesai. Pertandingan seleksi akan dimulai satu jam lagi. Peserta silakan kembali ke kelas masing-masing untuk mempersiapkan diri. Ingat, ini bukan tawuran jalanan. Gunakan teknik, gunakan otak, dan jangan sampai ada tindakan curang. Faham?”
“FAHAM, PAK!” teriak semua peserta serempak.
***
Bima kembali ke kelasnya bersama Raka. Suasana di kelas cukup ramai, beberapa temannya menyemangati, tapi Bima memilih duduk tenang di bangkunya. Pandangannya kosong, tapi dalam pikirannya, semua teknik yang Dodi ajarkan selama seminggu terakhir berputar kembali.
Kunci gerakan kaki.
Tangkisan cepat.
Kontrol jarak.
Dan yang paling dia fokuskan: one punch.
Bima mengepalkan tangannya perlahan, lalu menghembuskan napas. Dalam hatinya, ia berkata pada diri sendiri:
“Sekali kesempatan… sekali pukulan. Harus kena.”
***
Satu jam berlalu.
Suasana aula makin padat. Sorak-sorai penonton menggema, membuat ring di tengah aula terasa seperti arena pertarungan profesional. Siswa-siswi berdesakan di tribun, wajah-wajah penuh penasaran menunggu pertandingan pertama.
“Peserta pertama—Bima dari kelas 2B melawan Reno dari kelas 1A! Dimohon naik ke ring!” suara MC sekolah terdengar lantang lewat pengeras suara.
Bima berjalan pelan menuju ring dengan pakaian pertandingan—celana pendek hitam simpel, tubuhnya rileks tapi sorot matanya tajam. Raka yang paling heboh di belakangnya, seperti suporter pribadi.
“Gas, Bim! Lu gini banget aja udah bikin lawan gemeter! Jangan kasih kendor, broo!” teriak Raka sampai bikin beberapa penonton ngakak.
Di sisi lain, Reno juga sudah siap. Tubuhnya lebih kecil dari Bima, tapi otot tangannya terlihat keras. Sorot matanya penuh percaya diri. Ia sempat melirik Bima dengan senyum tipis yang jelas meremehkan.
Sebelum Bima naik ke ring, Dodi sudah berdiri menunggunya di pinggir ring. Tangan masuk ke saku, wajahnya tenang, seperti legenda yang sudah sering melihat ribuan pertarungan.
“Bim,” ucap Dodi pelan, mencondongkan badan sedikit. “Ingat, jurus pamungkas. Cari timing. Sekali pukul… selesai.”
Bima menatapnya, lalu mengangguk. “Siap.”
***
Bel ronde pertama berbunyi.
Reno langsung maju tanpa ragu, kakinya ringan, tangannya cepat bagai bayangan.
Bukk! Bukk! Bukk! serangan jab cepat dilayangkan, bertubi-tubi ke arah kepala dan badan Bima.
Penonton bersorak, beberapa kaget melihat Reno begitu agresif.
“Woy gila! Cepet banget tangannya!”
“Bima kewalahan tuh!”
Tapi Bima tidak melawan. Ia bergerak gesit, menghindar, memiringkan tubuh, melangkah mundur. Pukulan Reno hanya mengenai udara.
“Apaan tuh? Kok si Bima malah kabur-kaburan?” celetuk seorang penonton.
“Wah, jangan-jangan Bima cuma jago di jalanan doang, di ring kaku?” yang lain menyahut.
Mendengar bisik-bisik itu, Reno makin pede. Senyum sinis muncul di wajahnya.
“Mana katanya jawara sekolah? Lemah gini?” ucap Reno, lalu kembali menghujani dengan pukulan cepat.
Bukk! Bukk! Deshh!
Bima terus menghindar, matanya tajam mengikuti setiap gerakan Reno. Dadanya naik turun, ia menahan diri untuk tidak terburu-buru.
Raka yang nonton di pinggir ring mulai panik. “Bim! Jangan jadi samsak hidup, bro! Gue deg-degan sumpah!”
Reno semakin percaya diri, ia mendekatkan wajah ke Bima sambil terus menekan. “Lu udah tamat.”
***
Sepuluh detik terakhir ronde pertama.
Bima melihat celah. Reno melangkah terlalu dalam, tangannya sedikit terbuka setelah mengayun hook.
Mata Bima langsung menajam. Ini saatnya.
Kakinya menapak mantap, bahunya ikut berputar, dan—
BUUUGGGGHHHH!!!
Satu pukulan telak menghantam dagu Reno.
Waktu seakan berhenti sepersekian detik. Penonton terdiam.
Lalu tubuh Reno jatuh keras ke matras. DOORRR!
Tak bergerak.
Sorakan langsung meledak di seluruh aula.
“WOOOOOOO!!!”
“ONE PUNCH!!!”
“Gila! Knock out, bro! KO ronde pertama!”
Raka sampai loncat-loncat di pinggir ring. “WOY BIMAAA!!! GILA BRO, LU KEREN BANGET! GUA JADI MERINDING NIH!!!”
Bima hanya menghela napas, lalu menunduk sebentar pada lawannya sebagai bentuk respek, sebelum turun dari ring. Teman-teman sekelasnya langsung menyambut dengan tepukan dan sorakan.
Dari kejauhan, Dodi hanya tersenyum tipis, matanya berbinar kecil, puas melihat murid sekaligus rivalnya itu bisa mengeksekusi teknik pamungkas dengan sempurna. Ia tidak ikut bersorak, hanya berbalik pergi dengan tenang untuk mempersiapkan pertandingannya sendiri.
Sementara itu, Reno masih tak sadar dan segera digotong tim medis keluar ring.
Bima berjalan keluar ring, Raka merangkul bahunya sambil terus ngoceh.
“Bro, sumpah… sumpah demi apa pun… kalo lu punya fans club, gua daftar nomor satu!”
Bima hanya terkekeh kecil, keringat menetes di pelipisnya.