NovelToon NovelToon
DEBU (DEMI IBU)

DEBU (DEMI IBU)

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cintapertama / Poligami / Keluarga / Healing
Popularitas:18.1k
Nilai: 5
Nama Author: Nana 17 Oktober

“Aku rela jadi debu… asal Ibu tetap hidup.”

Kevia rela ayahnya menikah lagi demi ibunya bisa tetap menjalani pengobatan. Ia pun rela diperlakukan seperti pembantu, direndahkan, diinjak, dianggap tak bernilai. Semua ia jalani demi sang ibu, wanita yang melahirkannya dan masih ingin ia bahagiakan suatu hari nanti.

Ardi, sang ayah, terpaksa menikahi wanita yang tak ia cintai demi menyelamatkan istri tercintanya, ibu dari putri semata wayangnya. Karena ia tak lagi mampu membiayai cuci darah sang istri, sementara waktu tak bisa ditunda.

Mereka hanya berharap: suatu hari Kevia bisa mendapatkan pekerjaan yang layak, membiayai pengobatan ibunya sendiri, dan mengakhiri penderitaan yang membuat mereka harus berlutut pada keadaan.

Agar Kevia tak harus lagi menjadi debu.

Agar Ardi tak perlu menjadi budak nafsu.

Tapi… akankah harapan itu terkabul?

Atau justru hanyut… dan menghilang seperti debu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

21. Siswa Baru

Kevia menghela napas panjang, menggenggam erat tali tasnya yang semakin menekan bahu. Langkahnya menapaki trotoar berdebu, pelan tapi pasti, seolah mengikuti irama gumaman dari bibirnya.

Buku catatan kecil di tangannya terbuka, halaman penuh coretan rumus yang ia hapalkan dengan sungguh-sungguh. Bibirnya bergerak cepat, hampir seperti bisikan doa.

“Alog(bc) sama dengan alog b ditambah alog c…,” ia bergumam lirih, mata tak lepas dari tulisan kecil yang nyaris pudar.

“Alog(b/c) sama dengan alog b dikurang alog c… alog(b pangkat n) sama dengan n kali alog b…”

Suara itu terus mengalun, terputus hanya oleh hembusan napas lelah yang mengiringi tiap langkahnya.

Sesekali Kevia berhenti sejenak, menatap kosong ke depan, lalu mengulang kembali hafalannya dengan lebih mantap, seakan rumus-rumus itu adalah mantra yang harus melekat di kepalanya hari itu juga.

Ia terus berjalan, larut dalam hafalan, seakan tak peduli pada lalu lalang kendaraan yang mulai padat. Angin sore mengibaskan rambutnya yang terlepas dari ikatannya, keringat tipis membasahi pelipis.

Ia begitu serius hingga tak memerhatikan kerikil di jalan.

“Ak—!” serunya terhuyung. Buku catatan yang ia pegang terlepas, terjatuh tepat di hadapan sepasang sepatu putih yang berhenti di depannya.

Kevia mendongak. Seorang pemuda berdiri tak jauh darinya, tubuhnya sedikit membungkuk saat meraih buku kecil yang sempat terjatuh. Wajahnya bersih, senyum tipis yang tercetak di bibirnya memancarkan pesona yang membuat waktu seolah berhenti.

“Ini punyamu?” suaranya rendah, jernih, dan menembus kesadaran Kevia, membuatnya refleks terpaku.

Pemuda itu menepuk ringan pundak Kevia, senyum berubah lebih lebar. “Hei! Aku tahu aku tampan. Tapi aku nggak suka bikin orang bengong.”

Kevia tersentak, darah menyerbu wajahnya hingga pipinya memanas. “Maaf…” bisiknya cepat sambil menunduk dalam-dalam.

“Ini bukumu.” Ia menyodorkan buku itu, sekilas melirik name tag di dada seragam Kevia.

“Terima kasih,” ucap Kevia lirih. Ia buru-buru mengambil bukunya, lalu melangkah pergi, menyusuri jalan raya yang ramai oleh deru kendaraan.

Pemuda itu berdiri mematung sejenak, menatap punggung Kevia yang menjauh. Senyum samar kembali muncul.

“Gadis polos,” gumamnya. Wajah cantik itu masih terbayang, sederhana namun alami, tanpa polesan apa pun.

Sementara itu Kevia melangkah cepat, memeluk erat bukunya di dada, berusaha menenangkan degup jantungnya yang berantakan.

“Ya ampun… malu sekali, kepergok bengong ngeliatin dia,” gumamnya dengan wajah merona.

Ia menghela napas kasar, mencoba menepis rasa malu yang masih menempel. Namun bibirnya tiba-tiba bergumam pelan, “Dia memang tampan… tapi nggak lebih tampan dari Om—”

Kevia berhenti mendadak. Kata itu lolos begitu saja, mengusik ingatannya. Seketika, bayangan tiga tahun silam kembali hadir. Seorang pria dewasa, dengan senyum hangat dan perhatian tulus, yang pernah menyelamatkan nyawanya. Wajahnya masih jelas tergambar, seakan tak pernah memudar dari benaknya.

“Kapan aku bisa bertemu dengan Om lagi…?” bisiknya lirih.

Ingatan itu menyalakan kembali suara pria itu, candaan yang selalu membuatnya salah tingkah:

“Kalau sampai kamu nggak punya pacar juga… ya nikah aja sama Om. Jadi sugar baby Om, gimana?”

Kevia tak bisa menahan senyum kecil yang merekah. “Sugar baby…” gumamnya, pipinya kembali bersemu merah hanya karena mengingatnya.

Namun senyum itu perlahan luntur. Napasnya terhembus kasar, sarat kecewa. “Om pasti sudah menikah, ya?” suaranya nyaris tenggelam dalam lalu lintas kota.

Sesampainya di rumah, Kevia langsung mencari ibunya. Setelah memastikan ibunya baik-baik saja, ia masuk ke kamar. Di meja belajarnya, ia membuka buku harian. Di antara lembarannya, terselip sketsa wajah pria itu. Wajah yang selalu hadir di mimpinya, dengan senyum yang entah kenapa masih mampu menghangatkan hatinya sampai hari ini.

***

Hari berganti pagi. Ketika ayam jantan baru tiga kali berkokok, Kevia sudah bangun. Ia segera melipat rapi selimut tipis di tempat tidurnya, lalu berjalan ke kamar mandi. Usai buang air kecil dan mencuci muka dengan air dingin yang membuatnya sedikit terperanjat, ia langsung menuju dapur.

Bi Iyem sudah lebih dulu sibuk di sana. Kevia segera ikut membantu menyiapkan sarapan. Setelah semua selesai, ia menyiapkan bekal untuk dirinya sendiri. Nasi putih, telur dadar, dan sebotol air minum yang ia masukkan ke tote bag lusuh.

"Masih untung aku diperbolehkan bawa bekal," batinnya getir. "Kalau tidak, aku bisa pingsan di sekolah karena lapar dan haus."

Usai mandi dan sarapan bersama ibunya, Kevia berpamitan. Ia melangkah cepat, menapaki jalan setapak hingga ke jalan raya, berjalan kaki menuju sekolahnya.

Bel tanda masuk berbunyi. Kevia baru saja duduk di bangkunya ketika wali kelas masuk, diikuti seorang siswa baru yang mengenakan masker. Kevia tak menoleh; ia sibuk menyiapkan buku tulis dan pena untuk pelajaran pertama.

Bisik-bisik kecil mulai terdengar di sudut kelas.

“Lihat, ada murid baru.”

“Pindahan dari mana, ya?”

“Eh, ganteng nggak sih?”

Kevia mengabaikannya. Namun perhatian kelas tersita ketika wali kelas mengangkat tangan, menenangkan suasana.

Riri dan Ani yang duduk tepat di depan Kevia melipat tangan di dada, tatapan mereka terpaku penuh minat pada sosok baru itu. Mereka berdua memang selalu bersama, dari SMP hingga SMA, duduk sebangku berkat uang dan koneksi orang tua mereka. Berbeda dengan Kevia, yang duduk di sini hanya berbekal otak dan kerja keras.

“Pagi, anak-anak,” sapa Bu Guru.

“Pagi, Bu!” serentak suara siswa.

“Hari ini, ada siswa baru yang akan bergabung di kelas kita,” ujar Bu Guru, lalu menoleh ke siswa di sampingnya. “Silakan perkenalkan dirimu. Lepas maskermu supaya teman-temanmu bisa melihat wajahmu.”

Siswa itu mengangguk sopan. “Perkenalkan, namaku Kevin,” katanya singkat, lalu menurunkan maskernya.

Kelas mendadak riuh.

“Astagaa… ganteng banget!”

“Ya ampun, mataku jadi jernih.”

“Aku jadi semangat sekolah tiap hari nih!”

Riri dan Ani ternganga, mata mereka berbinar tak berkedip.

Namun Kevia justru terperanjat. Jantungnya serasa berhenti sesaat.

“Dia? Bukankah dia… yang kutemui kemarin sore?” batinnya tercekat.

Seolah menjawab pikirannya, tatapan Kevin menembus kerumunan, langsung menemukan mata Kevia. Dan saat bibir pemuda itu melengkung tipis membentuk senyum samar, dunia Kevia seakan membeku.

Bu Guru mengangkat tangannya, telapak kiri tegak lurus di depan dada, sementara tangan kanan bertumpu di atas ujung jari-jari kirinya, gestur tegas yang langsung dikenal seluruh siswa.

“Diam, anak-anak.”

Suasana kelas mereda. Bisik-bisik lirih lenyap, hanya terdengar deru kipas angin tua di langit-langit. Semua mata kembali menatap ke depan.

“Kevin, kamu boleh memilih tempat duduk yang kamu suka,” ujar Bu Guru, tenang tapi penuh wibawa.

Kevin mengangguk sopan. “Baik, Bu.”

“Oke, Ibu keluar dulu. Sebentar lagi guru mapel kalian akan datang,” ujar Bu guru sebelum meninggalkan ruangan.

Begitu pintu menutup, Kevin melangkah masuk ke deretan bangku. Tubuhnya tegap, langkahnya mantap, dan tatapannya lurus ke depan, tak sekalipun menoleh ke kiri atau kanan.

Degup jantung siswa-siswi seakan mengikuti arah langkahnya. Tatapan mereka terpaku, bertanya-tanya kursi siapa yang akan ia pilih.

Riri dan Ani saling melirik cepat. Ani segera berdiri, berpindah ke bangku kosong. Ia menarik kursi kosong di sampingnya, sengaja menepuk-nepuk meja dengan senyum mengundang.

Suasana kelas menegang, seakan semua orang menahan napas menunggu putusan Kevin.

Namun Kevia merasa Kevin berjalan ke arahnya.

"Jangan bilang dia menuju ke arahku?" Kevia menelan ludah, jantungnya melompat tak karuan. "Oh Tuhan, jangan sampai dia duduk di sebelahku."

Namun semua tatapan akhirnya terhenti, ketika Kevin menarik kursi tepat di samping Kevia. Suara gesekan kaki kursi di lantai membuat suasana seketika riuh dengan bisik-bisik panas.

"Duh, kenapa harus di sini?" batin Kevia panik. "Dari dia buka masker semua sudah jatuh hati, dan sekarang… kalau dia duduk di sebelahku, aku bisa dimusuhi satu kelas."

Perlahan ia melirik teman-temannya. Tatapan iri dan tajam bertubi-tubi menusuknya, terutama dari Riri dan Ani yang wajahnya jelas tak bisa menyembunyikan rasa tidak suka.

Ani cepat-cepat berdiri lagi, suaranya dibuat manis tapi menusuk, “Kevin, duduk aja di sini sama aku. Jangan duduk sama orang miskin.”

Riri tak mau kalah, sengaja menambahkan racun di suaranya. “Iya, duduk sama aku aja. Lagian dia itu bau… soalnya ke sekolah jalan kaki.”

Ruangan kembali riuh. Semua mata kini bergantian menatap Kevin dan Kevia, menunggu keputusan yang akan membuat suasana semakin panas.

...🌸❤️🌸...

.

To be continued

1
Marsiyah Minardi
Ya ampun kapan kamu sadar diri Riri, masih bocil otaknya kriminil banget
septiana
dasar Riri mau lari dari tanggungjawab,tak semudah itu. sekarang ga ada lagi yg percaya sama kamu setelah kejadian ini.
naifa Al Adlin
yap begitu lah kejahatan tetep akan kembali pada yg melakukan kejahatan. bagaimanapun caranya,,, keren kevin,,,
asih
oh berarti Kevin Diam Diam merekam ya
Puji Hastuti
Riri lagu lama itu
Hanima
siram air comberan sj 🤭🤭
Anitha Ramto
bagus hasih CCTVnya sangat jelas dua anak ular berbisa pelakunya,dan sangat puas dengan lihat mereka berdua di hukum,Kevia merasa lega kalo dirinya jelas tidak bersalah...,Kevin tersenyum bangga karena telah menyelamatkan Kevia dan membuktikan kepada semua siswa/wi dan para guru jika Kevia bukanlah pelakunya hanya kirban fitnah dan bully...

tenang saja Kevia jika ada yang mengusikmu lagi Kevin tidak akan tinggal diam,,Kevin akan selalu menjadi garda terdepan untukmu..
Siti Jumiati
kalau pingsan dimasukkan aja ke kelas yang bau tadi biar cepat sadar...

rasain Riri dan Ani kamu harus tanggung jawab atas semua perbuatanmu

makanya jadi orang jangan jail dan berbuat jahat.

semangat kak lanjutkan makin seru aja...
Dek Sri
lanjut
abimasta
kevin jadi pwnyelamat kevia
abimasta
semangat berkarya thor
mery harwati
Cakep 👍 menolong tanpa harus tampil paling depan ya Kevin 👏
Karena bila ketauan Riri, nasib Kemala & Kevia jadi taruhannya, disiksa di rumah tanpa ada yang berani menolong 🤨
Marsiyah Minardi
Saat CCTV benar benar berfungsi semoga kebenaran bisa ditegakkan ya Kevia
anonim
Kevin diam-diam menemui wali kelas - melaporkan dan minta tolong untuk menyelidiki tentang Kevia yang di tuduh mencuri uang kas bendahara. Kevin yakin Kevia tidak melakukannya dan meminta untuk memperhatikan Riri dan Ani yang selalu mencari masalah dengan Kevia.
Wali kelas akan menyelidiki dengan minta bantuan pak Anton untuk mengecek CCTV.
Di Aula suasana semakin panas semua menghujat Kevia.
Wali kelas datang meminta Kevia untuk berkata jujur apa benar mencuri uang kas dan alasannya apa.
Kevia menjawab dengan menceritakan secara runtut kenapa sampai dituduh mencuri uang dan bukti bisa berada di dalam tasnya.
Kita tunggu rekaman CCTV
anonim
Bisa kebayang bagaimana hati dan perasaan Kevia saat dituduh mencuri uang kas dengan bukti yang sangat jelas - uang kas tersebut ada di dalam tasnya. Semua teman-teman percaya - tapi sepertinya Kevin tidak.
Siti Jumiati
ah kak Nana makasih... kak Nana kereeeeeeeen.... semoga setelah ini gk ada lagi yang jahatin kevia kalaupun ada semoga selalu ada yang menolong.
lanjut kak Nana sehat dan sukses selalu 🤲
asih
aku padamu Kevin mau gak jadi mantuku 🤣🤣😂
Puji Hastuti
Goodjoob Kevin
Anitha Ramto
bacanya sampai tegang ya Alloh Kevia😭kamu benar² di putnah dan di permalukan kamu anak yang kuat dan tinggi kesabaran,,insyaAlloh dari hasil CCTV kamu adalah pemenangnya dan terbukti tidak bersalah,berharap si dua iblis itu mendapatkan hukuman yang setimpal,balik permalukan lagi,,

Kevin tentunya akan melindungi Kevia dengan diam²,,demi menyelamatkan dari amukan si anak ular betina,,good Kevin biar dua anak ular itu di kira kamu benci sama Kevia...padahal sebaliknya Kevin sangat peduli sama Kevia dan akan melindunginya...

sabar banget Kevia...
orang sabar di sayang Alloh..
tse
ah keren sekali gebrakanmu Kevin...
menolong Kevia secara tidak langsung di depan 2 ulet bulu yang tidak sadar diri....mantap..
ayo mau di hukum apa nih jedua ulet bilu itu...
enaknya disruh ngapain ya...
bersihin kelas yang bau kali ya..kna seru tuh ngebayangin mereka berdua beraihin kelas sambil muntah2 ...
alhasil bersihin kelas plus muntahannya sendiri...
rasain tuh hukuman yang sangat setimpal Dan jnagan lupa hubungi kedua orang tuanya terus mereka berdua di skorsing selama 1 minggu....
cukup lah ya hukumannya.....
setuju ga ka....
Suanti: ani dan riri harus hukum setimpalnya jgn di beda kan hukaman nya karna ank org kaya
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!