Naia Seora 25 tahun, pengantin baru yang percaya pada cinta, terbangun dari mimpi buruk ke dalam kenyataan yang jauh lebih mengerikan yaitu malam pertamanya bersama suami, Aryasatya, berakhir dengan pengkhianatan.
Naia dijual kepada pria bernama Atharva Aldric Dirgantara seharga dua miliar. Terseret ke dunia baru penuh keangkuhan, ancaman, dan kekerasan psikologis, Naia harus menghadapi kenyataan bahwa kebebasan, harga diri, dan masa depannya dipertaruhkan.
Dengan hati hancur namun tekad menyala, ia bersumpah tidak akan menyerah meski hidupnya berubah menjadi neraka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 32
Benturan keras terdengar memekakkan telinga. Mobil mereka terpental ke sisi jalan, menghantam pepohonan, lalu terguling beberapa kali sebelum akhirnya berhenti dalam posisi miring.
Debu dan asap mengepul dari kap mobil yang ringsek.
“Argh... tidak...” hanya itu yang sempat keluar dari bibir Rasyid sebelum pandangannya gelap.
Galuh menjerit pelan, namun suaranya tertelan oleh dentuman terakhir saat mobil benar-benar berhenti. Keduanya tak sadarkan diri, sementara suara klakson yang terus berbunyi menandakan bahaya telah terjadi.
Warga sekitar yang melihat langsung kejadian kecelakaan itu segera berhamburan ke lokasi.
Beberapa orang berlari membawa air mineral, sementara yang lain menelpon ambulans dengan panik.
Mobil yang dikendarai Rasyid dan Galuh tampak ringsek parah di pinggir jalan. Suara tangisan dan teriakan saling bersahutan di tengah suasana malam yang mendadak mencekam.
“Cepat, tolong keluarkan mereka! Masih bisa diselamatkan, kan?” teriak seorang pria sambil berusaha membuka pintu mobil yang sudah penyok.
Beberapa warga lain ikut membantu, tapi wajah-wajah mereka berubah ngeri saat melihat kondisi di dalam.
Dua anak kecil yang duduk di kursi belakang sudah tak bergerak, tubuh mungil mereka berlumuran darah.
“Ya Allah... anak-anaknya...” bisik seorang ibu dengan mata berkaca-kaca.
Rasyid sendiri ditemukan dalam keadaan tidak bernyawa di balik kemudi. Sementara Galuh, istrinya, masih menunjukkan adanya tanda-tanda kehidupan nafasnya tersengal, wajahnya pucat pasi.
“Cepat! Bawa yang perempuan ini ke rumah sakit! Alhamdulillah kondisinya Masih hidup!” seru salah seorang warga.
“Astaghfirullahaladzim, innalillahi wa innailaihi rojiun beliau gurunya anakku di sekolah Pak Rasyid kalau nggak salah namanya,” ucap salah satu warga yang mengenali Rasyid.
Tanpa menunggu lama, Galuh segera dilarikan ke rumah sakit kabupaten dengan mobil warga. Harapan tipis masih tersisa malam itu.
Sedangkan di tempat lain…
Tak seorang pun mengetahui kabar duka tentang kecelakaan yang menimpa Galuh, suaminya, serta kedua anak mereka yang masih kecil. Mobil yang mereka tumpangi terguling di jalan raya, dan berita itu belum sampai ke telinga siapa pun di rumah Naia.
Sementara itu, di rumah bersalin desa Pulosari, suasana penuh rasa haru dan syukur menyelimuti ruangan tempat Naia berjuang melahirkan. Setelah proses panjang yang menegangkan, akhirnya Naia berhasil melahirkan keempat bayi kembarnya dengan selamat, tanpa melalui operasi.
Semua orang bersyukur melihat kondisi ibu dan bayi dalam keadaan sehat. Keempat bayi itu lahir dengan berat badan cukup, sehingga tidak perlu masuk inkubator.
Tangis mereka bergantian terdengar memenuhi ruangan, seperti lagu kemenangan setelah perjuangan panjang dan sangat melelahkan penuh pengorbanan.
Beberapa warga yang datang ikut mengucapkan selamat dan mendoakan keselamatan Naia serta anak-anaknya. Suasana menjadi hangat, penuh ucapan syukur dan tawa kecil yang menenangkan hati.
Leni yang sejak tadi membantu mengatur tamu, berdiri di tengah ruangan sambil tersenyum lelah namun tulus.
“Makasih banyak sudah menyempatkan waktunya untuk hadir di sini. Saya mewakili Naia mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya,” ujarnya dengan suara yang sedikit serak karena menahan haru.
Damar yang berdiri di sampingnya menambahkan, “Kedatangan kalian semua sangat berarti. Mohon maaf Mbak Naia belum bisa menyapa satu per satu, karena beliau masih butuh istirahat setelah proses persalinan tadi.”
Beberapa warga mengangguk maklum, lalu pamit satu per satu dengan wajah bahagia.
Sementara itu, di dalam kamar, Bu Halimah tampak sibuk menimang keempat bayi mungil itu dengan penuh kasih.
Sesekali ia tersenyum melihat wajah polos mereka yang begitu mirip satu sama lain.
“Aydena Zahra Dirgantara, Kayden Azfar Dirgantara, Zayden Arsya Dirgantara, dan Rayden Athar Dirgantara,” gumamnya pelan sambil menyebut satu per satu nama yang telah disiapkan oleh Naia.
“Masya Allah… indah sekali nama-namanya.” pujinya.
“Alhamdulillah, selamat ya Bu Naia. Masya Allah, empat bayi sekaligus! Semoga semuanya tumbuh sehat dan jadi anak saleh salehah.” ucap Bu Ratna, bidan desa yang membantu persalinan.
“Selamat, Mbak Naia! Ibu dengar kabarnya kamu melahirkan normal, luar biasa sekali. Semoga kamu selalu diberi kekuatan, ya,” ujar Bu Minah sambil menepuk bahu Leni yang berdiri di samping ranjang.
“Subhanallah, empat malaikat kecil datang sekaligus! Semoga jadi pembawa rezeki dan kebahagiaan untuk ibunya,” tambah Pak RT dengan wajah berseri-seri.
“Naia, kamu hebat sekali! Empat bayi lahir normal, itu mukjizat Allah. Aku sampai nangis bahagia dengarnya,” kata Bu Halimah dengan suara bergetar karena haru.
“Selamat ya Mbak Naia, semoga nanti Aydena, Kayden, Zayden, dan Rayden tumbuh sehat dan jadi kebanggaan ibunya,” ucap Leni sambil menatap keempat bayi mungil itu dengan senyum lembut.
“Selamat atas kelahirannya, Mbak Naia, semoga Allah menjaga ibu dan anak-anaknya. Kalau butuh bantuan, jangan sungkan ya,” ujar Pak Damar, supir yang sudah dianggap keluarga.
“Masya Allah, semoga mereka tumbuh dalam kasih sayang dan jadi anak-anak yang berbakti,” tutur seorang warga perempuan sambil menyerahkan bingkisan kecil berisi popok dan kain bedong.
“Selamat, Naia, semoga kamu cepat pulih dan kuat menyusui keempat bayimu. Lihat, semuanya mirip banget sama kamu,” sahut seorang ibu muda sambil tertawa kecil.
“Empat anak sekaligus itu anugerah besar. Jangan lupa bersyukur terus, ya, Naia. Kami semua ikut bahagia,” ujar Pak Lurah dengan senyum bangga.
“Selamat ya, semoga rumahmu selalu dipenuhi tawa anak-anak ini,” ucap salah satu tetangga sambil menepuk bahu Leni pelan.
Namun kegembiraan itu perlahan berubah menjadi kebingungan. Leni, Damar, dan Bu Halimah saling pandang dengan wajah canggung.
Mereka baru teringat satu hal penting — siapa yang akan mengadzani keempat bayi itu?
Damar menggaruk tengkuknya yang tak gatal. “Apa sebaiknya kita tanya langsung ke Mbak Naia? Siapa yang diserahi tanggung jawab untuk mengadzani bayi-bayi ini?” tanyanya hati-hati.
Leni menghela napas panjang sambil memijit pelipisnya. “Nggak mungkin kan kita panggil... Daddy dari bayi-bayi ini kesini?” katanya lirih, nada suaranya terdengar getir.
Damar mengangguk pelan. “Andaikan saja Tuan Muda Atharva mau bertanggung jawab dan datang, mungkin kita nggak akan sepusing ini.”
Suaranya pelan tapi sarat kecewa. Ia sudah lama mengenal Naia, dan bagi Damar, perempuan itu sudah seperti kakaknya sendiri.
Ruangan itu mendadak hening. Hanya suara lembut tangis bayi-bayi itu yang terdengar. Sampai tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat dari arah pintu.
“Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.”
Suara bariton itu memecah keheningan. Semua menoleh hampir bersamaan.
Seorang pria berpakaian seragam polisi berdiri di ambang pintu, wajahnya tenang namun matanya memancarkan ketegasan.
“Kalau tidak keberatan,” lanjutnya dengan nada hormat, “bolehkah saya yang mengambil amanah itu mengadzani bayi-bayi ini?”
Leni terperanjat, matanya membulat kaget melihat pria yang selalu terang-terangan menyatakan cintanya kepada Naia meskipun ditolak.
“Pak Adiwira Mahesa?” ujarnya tak percaya.
“Kenapa Bapak bisa ada di sini? Dapat kabar dari mana?” Tanyanya Leni yang keningnya saling bertautan.
Pak Adiwira tersenyum tipis. “Saya kebetulan sedang bertugas di sekitar sini, lalu dapat kabar dari petugas pos jaga bahwa ada seorang ibu yang baru melahirkan empat bayi sekaligus. Saya hanya mengikuti panggilan hati, Mbak.”
Bu Halimah yang baru muncul saling berpandangan dengan adiknya Damar. Ada rasa lega, sekaligus haru baginya Damar, sedang Leni menganggap perhatian pak Adiwira Mahesa karena ada maunya.
Damar dan Bu Halimah berfikir mungkin Allah memang sudah mengutus seseorang di waktu yang tepat untuk mengatasi kegelisahan mereka.
“Maaf, sebaiknya saya konfirmasi dulu kepada Naia,” ucap Leni dengan nada hati-hati. “Bagaimanapun juga, Naia adalah ibu dari keempat bayi kembarnya.”
Selesai berkata demikian, Leni melangkah pelan menuju kamar perawatan tempat Naia dirawat. Bau lembut obat-obatan dan aroma bayi yang baru lahir memenuhi ruangan itu.
Dari balik tirai putih yang setengah terbuka, tampak Naia masih terbaring lemah di ranjang, wajahnya pucat namun matanya berbinar penuh kasih saat menatap empat boks bayi di sampingnya.
Leni mendekat perlahan. “Naia…” sapanya lembut. “Bagaimana perasaanmu sekarang? Sudah agak baikan?”
Naia menoleh perlahan dan tersenyum tipis. “Alhamdulillah, Len. Masih sedikit lemas, tapi aku bahagia mereka sehat semua, kan?”
Leni mengangguk sambil tersenyum. “Sehat, Naia. Semuanya sehat dan cantik-cantik, ganteng-ganteng. Kamu mau lihat lebih dekat?”
Naia mengulurkan tangan lemah, ingin menyentuh salah satu boks bayi di dekatnya.
Matanya bergetar menahan haru. Ia menatap satu per satu wajah mungil yang baru beberapa jam menghiasi hidupnya.
“Ini yang pertama, ya?” tanya Leni sambil menunjuk bayi perempuan yang terlelap dengan bibir mungilnya sedikit terbuka.
Naia mengangguk pelan. “Namanya Aydena,” ucapnya lirih.
“Dia mirip sekali dengan ayahnya. Lihat, matanya agak sipit, bola matanya abu keemasan, kulitnya putih seputih pualam, dan rambutnya pirang muda persis seperti Tuan Muda Atharva.” ucapnya Naia.
Leni tersenyum sendu, menahan rasa haru sekaligus pilu mendengar nama itu.
“Kalau yang ini?” tanyanya lagi, menatap bayi laki-laki di sebelahnya.
“Kayden,” jawab Naia sambil menatapnya penuh kasih. “Dia mirip aku kulitnya sawo matang, rambutnya hitam bergelombang. Wajahnya tenang sekali, ya?”
Leni mengangguk, kemudian menunjuk bayi ketiga. “Kalau yang ini?”
Naia tersenyum lagi. “Itu Rayden. Dia matanya agak sipit seperti Aydena, tapi ekspresinya lebih kalem. Rambutnya agak tebal juga.”
Dan akhirnya, Naia menatap bayi terakhir yang masih meringkuk di boksnya. “Yang terakhir Zayden,” ucapnya dengan nada pelan dan lembut.
“Dia yang paling mirip bule di antara semuanya. Matanya biru keabu-abuan, kelopak matanya tegas, rambutnya cokelat muda. Seolah keempatnya punya ciri khas masing-masing.”
Leni mengelus lembut punggung tangan Naia. “Mereka luar biasa, Naia. Empat anugerah kecil yang akan jadi penguatmu nanti.”
Naia tersenyum haru, menatap bayi-bayinya bergantian. “Aku nggak minta apa-apa lagi, Len. Cukup mereka tumbuh sehat dan bisa merasakan kasih sayang meski tanpa sosok ayahnya.”
Leni menunduk, hatinya ikut sesak mendengar kalimat itu. Ia tahu betul betapa besar luka yang sedang disembunyikan sahabatnya di balik senyum lemah itu.
Ketahuan kan.. ❤️❤️❤️❤️❤️