NovelToon NovelToon
HAMIL ANAK CEO : OBSESI IBU TIRI

HAMIL ANAK CEO : OBSESI IBU TIRI

Status: sedang berlangsung
Genre:Ibu Mertua Kejam / Ibu Tiri / Pelakor jahat / Nikahmuda / Selingkuh
Popularitas:876
Nilai: 5
Nama Author: EkaYan

Dikhianati sahabat itu adalah hal yang paling menyakitkan. Arunika mengalaminya,ia terbangun di kamar hotel dan mendapati dirinya sudah tidak suci lagi. Dalam keadaan tidak sadar kesuciannya direnggut paksa oleh seorang pria yang arunika sendiri tak tahu siapa..

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EkaYan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Menghindari Drama

Flashback 

Pramudya Baskoro, pria berdarah Jawa dengan tinggi lebih dari 180 cm dan tubuh atletis hasil rutinitas gym yang tak pernah terlewat. Wajahnya tegas, berkulit sawo matang, rahang kokoh yang terlihat semakin jelas saat ia menggertakkan giginya karena emosi. Matanya tajam seperti elang, dengan sorot yang bisa membuat siapa pun mengkerut hanya dengan satu tatapan. Pram adalah tipikal pria yang karismatik, namun menyimpan sisi gelap yang tak semua orang tahu.

Malam itu Pram berada di sebuah bar ia capek dengan semua tekanan dalam hidup nya , Pram mabuk berat dan seperti biasa dia akan melampiaskan kekesalannya dengan memesan wanita , Lalu ia menghubungi Roy sahabat sekaligus asisten nya.

Kilasan malam itu kembali berputar di benak Pram, seperti kaset rusak yang terus mengulang adegan yang sama. Aroma alkohol bercampur parfum murahan masih samar tercium di ingatannya.

Paradise Hotel, Kamar 207.

Cahaya rembulan yang menyelinap masuk dari celah gorden menyoroti sosok rapuh yang terbaring di ranjang. Pram, dengan kepala pening dan pandangan kabur, menghampiri tubuh di bawah selimut itu.

"Ini dia?" gumamnya pada diri sendiri, suaranya serak. Ia mencoba menggoyangkan bahu wanita itu pelan, namun tak ada respons. Hanya dengkus halus yang lolos dari bibirnya.

Kerutan di dahi Pram semakin dalam. Ada yang aneh. Biasanya, wanita-wanita bayarannya akan langsung menyambutnya dengan senyum menggoda. Tapi gadis ini... terlalu diam.

Dengan gerakan kasar, Pram menarik selimut itu hingga terlepas sepenuhnya. Matanya memicing, berusaha fokus pada pemandangan di hadapannya. Tubuh polos seorang gadis tergeletak tak berdaya. Kulitnya putih pucat diterpa cahaya bulan, kontras dengan rambut hitamnya yang tergerai di bantal.

Napas Pram tercekat. Ada sesuatu yang berbeda dari gadis ini. Ada aura polos yang tak bisa ia abaikan, meskipun otaknya sudah dipenuhi alkohol. Namun, rasa penasaran dan kebutuhan untuk meredakan tekanan yang menghimpitnya mengalahkan segala keraguan.

Ia tidak peduli mengapa gadis ini tidak sadarkan diri. Yang ada di benaknya saat itu hanyalah bagaimana caranya melupakan masalah-masalah yang membuatnya mencari pelarian di tempat seperti ini.

Jari-jarinya yang besar dan kasar mulai menjelajahi lekuk tubuh gadis itu. Sebuah desahan lolos dari bibirnya tanpa bisa dicegah. Cantik. Sangat cantik. Kehangatan kulitnya terasa membakar di ujung jarinya.

Meskipun ada secuil rasa janggal di hatinya, Pram terus melakukannya. Ia larut dalam kegelapan malam dan hasrat sesaat, tanpa menyadari konsekuensi mengerikan yang akan timbul di kemudian hari.

Wajah polos Arunika di bawah rembulan menjadi saksi bisu malam kelam yang akan mengubah hidup banyak orang.

Kembali ke masa kini.

Pram mengusap wajahnya kasar, berusaha menghapus bayangan malam itu dari benaknya. Rasa bersalah dan panik mulai menyeruak. Ia tidak menyangka bahwa 'barang baru' Mami Santi adalah seorang gadis yang... polos. Dan sekarang, gadis itu datang menagih pertanggungjawaban atas perbuatan yang bahkan tidak sepenuhnya ia sadari.

"Sial," umpat Pram pelan, giginya menggeretak. Ia harus bertindak cepat. Ia tidak bisa membiarkan masalah ini merusak reputasi dan kehidupannya yang sudah susah payah ia bangun. Arunika... ia harus segera menemukan cara untuk 'menyelesaikan'wanita itu.

Seminggu telah berlalu, dan seperti yang ia janjikan, Arunika kembali mendatangi Blue Moon Cafe. Wajahnya menunjukkan campuran kecemasan dan tekad. Ia melangkah masuk, matanya langsung mencari sosok Roy. Namun, kali ini Roy tidak sendiri. Setelah melihat Arunika, Roy segera memberi isyarat padanya untuk naik ke lantai atas, ke ruang kerjanya.

Arunika mengikuti Roy dengan langkah ragu. Di dalam ruangan, Pramudya Baskoro, seorang pria dengan perawakan tinggi dan wajah tegas, sudah duduk di belakang meja kerja Roy. Arunika merasakan aura dominan dari pria asing ini. Sorot matanya tajam, seolah bisa menembus apa pun.

"Roy," sapa Arunika, suaranya sedikit bergetar. Ia melirik Pramudya dengan tatapan bertanya.

Roy, yang sejak tadi gelisah, segera berdiri. "Arunika, ini Pram. Dia... dia atasan saya." Roy memperkenalkan, namun ada keraguan dalam nada suaranya.

Arunika mengernyitkan dahi. Atasan? Mengapa atasan Roy harus ada di sini? Ia merasakan firasat buruk.

Pramudya bangkit dari duduknya, tinggi badannya menjulang di hadapan Arunika. Matanya yang tajam menatap Arunika tanpa ekspresi. "Jadi, Anda Arunika?" suaranya berat dan datar.

Arunika sedikit terkejut dengan nada bicara Pramudya. "Ya, saya. Dan Anda... Apa kepentingan anda disini?"

Pramudya mengangguk singkat. "Duduklah," katanya, menunjuk kursi di hadapannya.

Arunika ragu sejenak, lalu duduk. Roy ikut duduk kembali, tampak semakin tidak nyaman.

"Saya sudah tahu semua ceritanya dari Roy," ucap Pramudya, langsung ke intinya. "Mengenai kehamilan Anda, dan klaim Anda bahwa Roy adalah ayah dari anak itu."

Arunika menatap Pramudya dengan bingung. "Klaim? Ini bukan klaim, ini kenyataan. Dan Roy sendiri yang memesankan kamar di Paradise Hotel itu."

Pramudya menghela napas pendek. "Begini, Arunika. Ada sedikit kesalahpahaman di sini. Roy memang yang memesankan kamar. Tapi dia bukan pria yang bersama Anda malam itu."

Arunika terdiam. Jantungnya berdegup kencang. Ia menatap Roy, lalu kembali ke Pramudya. "Apa maksud Anda?"

Pramudya menatapnya lurus. "Pria yang bersama Anda malam itu adalah saya, Arunika."

Mendengar pengakuan itu, dunia Arunika terasa runtuh. Ia menatap Pramudya tak percaya, lalu melirik Roy yang menunduk dalam-dalam. Semua kepingan teka-teki mulai terhubung. Nama di bukti reservasi kamar, Roy, dan sekarang pria ini, Pramudya, yang mengakui bahwa dialah yang bersama Arunika malam itu.

Rasa marah, kecewa, dan malu bercampur aduk dalam dirinya. Jadi selama ini ia salah orang? Ia telah menuntut pertanggungjawaban dari Roy, padahal pelakunya adalah pria di hadapannya ini.

"Anda... Anda yang...?" suara Arunika tercekat, tidak sanggup melanjutkan kalimatnya.

Pramudya mengangguk dingin. "Ya. Apakah anda yakin kalau itu anak saya ?

" Anda tahu saya wanita seperti apa, karena andalah orang pertama yang menjamah tubuh saya , tapi jika memang anda tidak percaya ..lakukan tes DNA setelah anak ini lahir."

Pramudya menatap Arunika lama, seakan ingin menggali kebenaran dari setiap kata yang keluar dari bibirnya. Matanya tak berkedip, namun sorotnya mulai goyah, tidak lagi setajam tadi. Untuk pertama kalinya, Pram terlihat kehilangan kendali atas situasi.

Roy hanya bisa menunduk, tampak ingin lenyap dari tempat itu. Ia tahu, kebohongannya telah memperkeruh keadaan. Tapi ia juga tidak menyangka Pram akan mengakui semuanya secepat itu.

Suasana ruang kerja itu mendadak sunyi. Hanya suara pendingin ruangan yang mendesir pelan di tengah ketegangan yang menggantung.

Akhirnya, Pram menarik napas dalam-dalam. Ia menyandarkan tubuh ke sandaran kursi, lalu menatap Arunika dengan wajah lebih tenang.

“Kalau begitu, kita tunggu sampai anak itu lahir. Saya akan tanggung jawab… jika memang itu anak saya,” ucap Pram, nadanya datar, namun sorot matanya menyiratkan kehati-hatian.

Arunika menggigit bibirnya, menahan air mata yang mulai menggenang. “Saya tidak butuh belas kasihan Anda. Saya datang karena saya ingin kejelasan, bukan dituduh dan dianggap pembohong.”

Pram mengangguk, kali ini lebih pelan. “Saya tidak menganggap Anda pembohong. Tapi saya juga punya kehidupan yang harus saya jaga. Banyak yang bergantung pada saya.”

“Dan saya?” Arunika menatapnya tajam. “Saya harus menanggung semuanya sendiri?”

Diam. Tidak ada jawaban dari Pramudya.

Roy yang sejak tadi diam, akhirnya angkat suara. “Arunika, biar saya bantu semampu saya. Saya yang membawa kamu ke situasi ini...”

“Cukup, Roy,” potong Pram dengan nada tegas. “Mulai sekarang, gue yang akan tangani ini.”

Pram bangkit dari kursinya dan berjalan mendekati Arunika. Ia berdiri tepat di hadapannya, membuat gadis itu sedikit menegang.

“Berapa bulan kandunganmu?” tanyanya tanpa basa-basi.

“tiga,” jawab Arunika pelan, masih menunduk.

"Baik saya akan bertanggung jawab. Tapi dengan cara saya."

"Apa maksud Anda dengan 'cara Anda'?" tanya Arunika, nada suaranya mengeras, berusaha menyembunyikan keterkejutannya. Ia merasa harga dirinya sedikit terinjak karena telah menuntut orang yang salah.

Pramudya menatapnya dingin. "Saya akan menafkahi anak itu, dan semua kebutuhannya akan saya tanggung. Tapi jangan harap saya akan menikahi Anda, apalagi menjadikan Anda bagian dari kehidupan saya."

Dada Arunika bergemuruh. "Anda pikir saya meminta itu?" bentaknya, emosinya mulai meledak. "Saya hanya ingin Anda bertanggung jawab! Saya tidak pernah meminta Anda menikahi saya!" Ia ingat Roy mengatakan bahwa Pramudya belum menikah, tetapi sikap skeptis Pramudya terhadap pernikahan dan komitmen terasa jelas.

"Bagus kalau begitu," jawab Pramudya datar, sama sekali tidak terpengaruh oleh ledakan emosi Arunika. "Itu membuat semuanya lebih mudah." Ia mengeluarkan sebuah buku cek dari saku jasnya. "Berapa yang Anda inginkan? Sebutkan saja jumlahnya. Saya akan pastikan Anda dan anak itu tidak akan kekurangan."

Arunika menatap cek di tangan Pramudya dengan nanar. Ia merasa seperti sedang ditawar, diperlakukan seperti barang. Kemarahannya memuncak. "Anda pikir semua bisa diselesaikan dengan uang?" suaranya bergetar. "Saya tidak butuh belas kasihan Anda! Saya hanya ingin Anda mengakui anak ini dan memberinya hak sebagai seorang anak!"

"Dengan uang, semua bisa diselesaikan," balas Pramudya tajam. "Pengakuan itu akan datang bersama dengan nafkah. Saya tidak akan menolak mengakui anak itu, asalkan Anda tidak mengganggu kehidupan saya. Terutama tidak ada drama yang melelahkan." Matanya beralih ke Roy, seolah memperingatkan.

Roy menunduk semakin dalam, merasa serba salah.

"Jadi, Anda mau membeli anak saya?" Arunika berdiri, tangannya mengepal erat. "Anda mau membungkam saya dengan uang? Begitu?"

Pramudya mengangkat bahu acuh tak acuh. "Anggap saja begitu jika itu membuat Anda lebih nyaman. Saya tidak punya waktu untuk drama. Saya punya kehidupan, dan Anda punya pilihan. Ambil uang itu, atau Anda urus sendiri anak ini."

Kata-kata Pramudya menusuk hati Arunika. Ia merasa sangat terhina. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya, namun ia berusaha keras menahannya agar tidak tumpah di hadapan pria arogan ini.

"Saya tidak akan mengambil uang Anda!" seru Arunika, suaranya tercekat oleh emosi. "Saya tidak akan menjual anak saya!"

"Lalu apa yang Anda inginkan?" tanya Pramudya, nada suaranya sedikit meninggi, mulai kehilangan kesabarannya. "Anda mau saya menikahi Anda? Mengakui Anda di depan umum? Begitu?"

"Saya hanya ingin Anda bersikap seperti seorang ayah!" Arunika berteriak, air mata akhirnya mengalir membasahi pipinya. "Saya ingin anak ini tahu siapa ayahnya! Saya ingin Anda ada untuknya!"

Pramudya terdiam sejenak, menatap Arunika yang kini terisak. Ada sedikit kerutan di dahinya, seolah kata-kata Arunika mengusik sesuatu dalam dirinya. Kilas balik singkat muncul di benaknya tentang masa lalunya.

Ekspresi Pramudya kembali datar. Pengalaman pahit di masa lalu telah membentuk dinding tebal di hatinya.

"Saya akan ada untuknya dalam batas tertentu," jawab Pramudya, suaranya kembali dingin. "Setiap bulan, uang akan ditransfer ke rekening Anda. Jika ada kebutuhan mendesak yang tidak bisa ditutupi uang bulanan, Anda bisa menghubungi Roy. Dia yang akan jadi perantara."

Arunika menggelengkan kepala, terisak-isak. "Saya tidak mau itu! Saya tidak mau anak saya hanya mengenal ayahnya melalui uang!"

"Itu adalah yang terbaik yang bisa saya tawarkan," kata Pramudya tegas. "Ini adalah batasan saya. Terima atau tidak, itu terserah Anda."

Arunika menatap Pramudya dengan kebencian. Ia tahu ia tidak punya banyak pilihan. Di satu sisi, ia membutuhkan nafkah untuk anaknya. Di sisi lain, harga dirinya memberontak terhadap perlakuan Pramudya.

"Saya butuh waktu untuk memikirkannya," ucap Arunika lirih, mencoba menstabilkan napasnya.

Pramudya mengangguk. "Baik. Tapi jangan terlalu lama. Saya tidak suka masalah berlarut-larut." Ia kembali duduk, seolah pembicaraan telah selesai.

Arunika menatap Roy yang masih menunduk, lalu kembali menatap Pramudya dengan pandangan terluka. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun lagi, ia berbalik dan berjalan keluar dari ruang kerja Roy, menuruni tangga, dan meninggalkan Blue Moon Cafe dengan hati hancur.

Roy mengangkat wajahnya, menatap kepergian Arunika. "Pram, apa... apa tidak ada cara lain?" tanyanya hati-hati.

Pramudya menatap Roy tajam. "Ini cara terbaik, Roy. Wanita itu akan mendapatkan uang, dan gue terhindar dari drama yang lebih besar. Lo jangan ikut campur lagi. Urusan gue dengan wanita itu akan gue selesaikan seperti yang gue mau."

Roy menghela napas, ia tahu ia tidak bisa membantah Pramudya. Namun, rasa bersalah dan iba terhadap Arunika masih menghantuinya. Ia tahu, masalah ini jauh dari kata selesai, dan dampaknya bisa lebih besar dari yang Pramudya bayangkan.

1
partini
wah temen lucknat
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!