Vandra tidak menyangka kalau perselingkuhannya dengan Erika diketahui oleh Alya, istrinya.
Luka hati yang dalam dirasakan oleh Alya sampai mengucapakan kata-kata yang tidak pernah keluar dari mulutnya selama ini.
"Doa orang yang terzalimi pasti akan dikabulkan oleh Allah di dunia ini. Cepat atau lambat."
Vandra tidak menyangka kalau doa Alya untuknya sebelum perpisahan itu terkabul satu persatu.
Doa apakah yang diucapkan oleh Alya untuk Vandra?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
Sudah enam bulan sejak Vandra resmi di penjara. Waktu yang panjang itu perlahan menyembuhkan luka Alya. Luka yang dulu menganga, kini mulai mengering, meski sesekali masih terasa perih bila tersentuh kenangan.
Kehidupan Alya berubah banyak semenjak menjadi janda beranak dua. Ia kini bukan lagi istri yang menunggu di rumah dengan hati cemas, tetapi seorang ibu tunggal yang kuat, mandiri, dan disegani. Ia membesarkan dua anaknya seorang diri sambil mengelola toko kue yang semakin dikenal banyak orang.
Banyak pria datang dengan niat baik. Ada yang menawarkan kerja sama bekerja di kantor perusahaan, ada pula yang terang-terangan ingin meminangnya.
Namun Alya menolak semua dengan lembut. Ia belum siap. Hatinya masih berlapis trauma dan yang paling utama ia tak mau anak-anaknya kehilangan sosok ibu karena dirinya sibuk mengejar hal lain.
“Bu Alya, pesan dua ratus lima puluh paket snack untuk hari Jumat, ya,” ucap seorang pelanggan sambil menyerahkan daftar menu acara kantor.
Alya tersenyum ramah. “Baik, Bu. Mau yang paket biasa atau premium?”
Ia membuka buku menu, memperlihatkan foto-foto kue kreasinya. Ada pastel goreng yang renyah, risoles lembut dengan isian ragout ayam, dan aneka bolu yang harum. Tangannya cekatan mencatat pesanan, sementara matanya tetap memperhatikan pelanggan dengan tatapan hangat.
Harga paket snack buatannya beragam, mulai dari lima belas ribu sampai dua ratus ribu rupiah. Prinsip Alya sederhana, agar semua orang dari kalangan mana pun, berhak mencicipi rasa bahagia dari kue yang dibuat dengan cinta.
Dulu, Alya bekerja sendirian. Ia menakar tepung, mengaduk adonan, hingga mengantar pesanan seorang diri. Namun kini, ia sudah punya enam belas karyawan, sebagian besar janda dan ibu tunggal dari kampung sebelah.
Mereka bekerja dengan semangat, bukan hanya karena upah, tetapi karena Alya memperlakukan mereka seperti keluarga.
“Bu Alya, oven kedua rusak lagi. Sepertinya elemen pemanasnya putus,” ujar Nilam, tangan kanan Alya yang sudah dianggap seperti kakak sendiri.
“Baik, nanti aku minta Ayah bantu carikan teknisi. Sekarang pakai oven satu dulu, ya. Jangan sampai pesanan Ibu Dinda terlambat,” jawab Alya lembut, tetapi tegas.
Nilam mengangguk. “Siap, Bu!”
Suasana dapur selalu riuh oleh suara mixer, aroma mentega, dan tawa ringan para pekerja. Alya sering kali ikut membantu, tangannya masih lincah menguleni adonan meski posisinya sudah jadi pemilik usaha.
Sore itu, setelah memeriksa laporan keuangan, Alya duduk di kursi depan toko sambil memandangi Vero dan Axel yang bermain bola di halaman. Axel berlari-lari kecil mengejar bola dengan tawa lepas, sedangkan Vero sesekali pura-pura kalah demi menyenangkan adiknya.
Pak Lukman, ayah Alya, datang membawa sekotak besar bahan kue.
“Alya, ayah bawa mentega tambahan. Sekalian mau ngomong sedikit,” katanya sambil duduk di bangku panjang.
Alya menatap ayahnya dengan lembut. “Ada apa, Yah?”
“Ayah pikir, sudah saatnya kamu pindah ke tempat yang lebih besar. Toko ini sudah penuh sesak. Pesanan makin banyak, dapurmu makin sempit. Ayah kebetulan lihat ruko kosong di dekat restoran ayah. Tempatnya strategis, dekat kantor pemerintah.”
Alya tersenyum kecil. “Aku juga kepikiran begitu. Tapi belum sempat survei.”
“Sudah ayah lihat dan cocok sekali. Kalau kamu setuju, ayah bantu urus kontraknya,” kata Pak Lukman.
Alya menatap ayahnya dengan mata berkaca-kaca. “Ayah, terima kasih. Kalau bukan karena ayah dan ibu, aku mungkin sudah menyerah.”
Pak Lukman menggeleng sambil menepuk bahunya. “Kamu hebat, Alya. Kamu jatuh, tapi berdiri lagi. Itu yang bikin ayah bangga.”
Axel tiba-tiba datang memeluk kaki kakeknya. Dengan bahasa bayinya yang masih cadel dia berkata, “Kek, Kakak tulang! Bola adik disembunyiin!”
Pak Lukman tertawa lepas. Axel termasuk anak yang cepat bisa bicara karena Alya dan beberapa pegawainya suka mengajak bicara dan mengajari beberapa kata. Dia juga sudah bisa berjalan dan berlari walau belum bisa mengatur keseimbangannya. Makanya suka nabrak sesuatu, beruntung anaknya tidak mudah menangis.
“Cucu kakek yang satu ini benar-benar bawel,” canda Pak Lukman sambil menggendong Axel.
Alya ikut tertawa. Namun di balik tawa itu, ada kehangatan yang ia syukuri. Dulu, setelah kepergian Vandra, rumahnya terasa sepi. Kini, tawa anak-anak dan pengunjung toko kue, membuat suasana rumah menjadi ramai.
***
Seminggu kemudian, toko baru Alya resmi dibuka. Etalase kaca berisi kue-kue cantik berjejer rapi, ada cheese cake mini, klepon modern, brownies kukus favorit pelanggan, dan berbagai macan kue lainnya. Ruangan toko bernuansa pastel, dengan wangi vanilla yang samar menenangkan siapa pun yang masuk.
Bu Laila, ibunya, datang dengan wajah sumringah membawa tumpeng. Pak Lukman menjadi juru foto yang mengabadikan momen itu.
Tak lama kemudian, Albiruni dan putranya, Ali, juga muncul membawa buket bunga.
“Selamat ya, Bu Alya!” kata Albiruni dengan senyum lebar. “Aku doain toko ini makin ramai!”
"Semoga Bunda juga sehat Sekali," lanjut Ali tersenyum lebar.
Alya berjongkok, memeluk bocah itu. “Aamiin, terima kasih, ya, Ali. Kamu selalu bikin hari bunda cerah.”
Bu Belinda, ibu Albiruni, juga hadir. Ia memeluk Alya hangat. “Kamu perempuan kuat, Nak. Tuhan pasti kasih kebahagiaan baru nanti.”
Alya hanya tersenyum, menahan haru. “Sekarang aku sudah bahagia, Bu. Melihat anak-anakku tertawa saja sudah cukup.”
Albiruni memandang Alya dengan kagum. “Usaha kamu cepat sekali berkembang. Kami di kantor sering pesan snack kamu. Karena semua orang bilang rasanya nggak ada tandingannya.”
Alya menunduk malu. “Alhamdulillah. Aku cuma berusaha kerja dengan hati.”
“Dan itu yang bikin beda,” balas Albiruni singkat.
Tawa dan percakapan memenuhi ruangan. Hari itu, toko kue Alya resmi beroperasi di tempat baru.
Kedua mertua Alya juga datang dan mendoakan kesuksesannya. Mereka sangat mensupport semua hal yang dilakukan oleh Alya. Baik itu dalam membesarkan anak-anaknya, ataupun usaha yang digelutinya.
Vero membantu meyambut pembeli dengan ramah. Sementara Axel sibuk memegang balon warna-warni sambil menyanyi.
Saat sore menjelang, pelanggan mulai berkurang. Alya duduk di kursi kasir, menghitung pendapatan hari ini. Namun, kegiatannya itu terganggu.
Vero berlari kecil menghampiri bundanya. “Bunda, ada orang yang mau ketemu.”
Alya menoleh. “Siapa, Kak?”
“Aku nggak tahu. Orangnya nunggu di depan toko. Katanya penting.”
Alya mengerutkan dahi. “Laki-laki atau perempuan?”
“Laki-laki,” jawab Vero singkat.
Hati Alya mendadak berdegup lebih cepat. Ia menatap pintu kaca toko yang dihiasi dengan logo toko miliknya.
Siluet seseorang tampak diam berdiri di luar dekat dinding pagar, seperti sedang menunggu. Tubuhnya tegap, tetapi wajahnya belum terlihat jelas karena memunggungi.
Alya menelan ludah, perasaan campur aduk.
"Siapa dia?"
"Pelanggan baru?"
"Atau seseorang yang sudah lama aku kenal?"
Langkah Alya perlahan menuju pintu, tangan dingin memegang gagang. Dari balik kaca, sosok itu sedikit menunduk seolah tahu ia sedang diperhatikan.
Vero menatap bundanya cemas. “Bunda kenal dia?”
Alya tidak menjawab. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu membuka pintu perlahan.
***
Aku ucapkan terima kasih banyak untuk doanya, teman-teman. Kemarin otakku mendadak blank sampai tidak bisa merangkai kata. Insya Allah, mulai hari ini rajin update lagi.
Sambil menunggu BAB selanjutnya, yuk, baca juga karya temanku ini.
Jangan bikin aq sedih lagi
Aseli sedih bocah 10 thn bisa bilang seperti itu 🩵🩵
pasti tau kalo Erika mantan simpanan...
😀😀😀❤❤❤
seiman..
baik..
sabar..
setia.
❤❤❤😍😙