Alam Dongtian berada di ambang kehancuran. Tatanan surgawi mulai retak, membuka jalan bagi kekuatan asing.
Langit menghitam, dan bisikan ramalan lama kembali bergema di antara reruntuhan. Dari barat yang terkutuk, kekuatan asing menyusup ke celah dunia, membawa kehendak yang belum pernah tersentuh waktu.
Di tengah kekacauan yang menjalar, dua sosok berdiri di garis depan perubahan. Namun kebenaran masih tersembunyi dalam bayang darah dan kabut, dan tak seorang pun tahu siapa yang akan menjadi penyelamat... atau pemicu akhir segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YanYan., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mengambil Tindakan
Kesadaran kembali perlahan, namun kabur seperti embun pagi yang mengambang di pegunungan. Pria tua itu mengerjapkan matanya, napasnya tersengal. Ruangan megah yang asing berdiri di hadapannya, langit-langit tinggi berlapis ukiran awan dan kilau kristal spiritual yang menari lembut. Bau dupa harum menusuk hidung, membuat kesadarannya kembali sepenuhnya—meski tubuhnya seperti hancur.
“Di… mana aku…?” gumamnya lirih. Ia mencoba bangkit dari tempat tidur yang empuk, tapi rasa nyeri yang menusuk dari setiap tulang dan otot menjatuhkannya kembali. Suara parau lolos dari tenggorokannya—jiwanya terasa terbelah, rusak… seolah sebagian dari hidupnya tercerabut dalam kehampaan.
Langkah kaki mendekat. Pintu besar terbuka, memperlihatkan barisan orang yang membawa hawa dominan dan keagungan. Di antara mereka, dua pria gagah berjalan di depan—auranya seperti langit dan petir yang menari liar namun terkendali. Di belakang mereka, seorang pemuda dengan rambut hitam panjang dan tatapan dalam menyapu seisi ruangan. Di sekelilingnya, para tetua mengenakan jubah perak dengan simbol enam sayap, masing-masing membawa tekanan spiritual yang berbeda-beda.
Duan Muzhao menatap mereka dengan lemah. “Kalian… siapa…?”
Ming Rui melangkah ke depan. Suaranya dalam dan tegas. “Kami adalah dewan pelindung dari Benua Tengah. Tempat ini adalah Istana Sayap Kebebasan, di atas Lautan Utara.”
Wajah Duan Muzhao menegang. Ia menggerakkan bibirnya perlahan. “Benua Tengah…? Jadi aku benar-benar berhasil menyeberangi… Samudera Petaka….”
Zhang Wei menyipitkan mata. “Kau tahu betapa sulitnya itu. Tidak ada yang bisa terbang melintasinya.”
Duan Muzhao mengangguk pelan, lalu berkata dengan suara serak, “Aku tidak melintasinya secara langsung… aku dilempar oleh rekanku kedalam formasi teleportasi… mereka mungkin telah dihabisi oleh Peng Shao.”
Nama itu membuat udara ruangan seolah membeku.
Rong Fan dan Ming Rui saling bertukar pandang. Para tetua di belakang mereka mulai bergumam pelan. Zhang Wei menatap lurus ke arah pria tua yang sekarat itu.
Duan Muzhao menarik napas dalam, meski tubuhnya bergetar. Ia menatap semua yang hadir, lalu berseru lirih, “Namaku Duan Muzhao… aku adalah salah satu pilar terakhir Benua Barat… atau… yang dulu dikenal sebagai Benua Barat. Kini… tempat itu telah menjadi tanah kematian…”
Ia menggenggam seprai kasurnya erat. “Peng Shao… dia bukan sekadar Kaisar Agung. Dia adalah raja siluman… yang diwarisi oleh darah kegelapan dari zaman purba. Dia… dia telah menaklukkan seluruh sekte besar. Tidak ada satu pun kekuatan manusia yang bertahan. Kaisar-kaisar lama telah dibantai… dan istana mereka kini menjadi kandang siluman.”
Ketegangan menggumpal di ruangan itu.
“Dia… sedang membangun pasukan,” lanjut Duan Muzhao dengan suara getir. “Pasukan siluman, monster, dan manusia yang dicuci pikirannya. Dia tidak akan berhenti di Benua Barat. Tujuannya… adalah dunia ini. Empat benua lainnya… akan segera menjadi sasaran. Dia hanya menunggu waktu untuk mengirim kekuatannya ke Benua Tengah.”
Suasana sunyi. Tak seorang pun berbicara. Bahkan para tetua pun tak mampu mengeluarkan sepatah kata.
Zhang Wei menggertakkan giginya, wajahnya tegang. “Kalau begitu… Benua Utara—”
Namun sebelum ia selesai bicara, Rong Fan mengangkat tangan, menghentikannya. “Jangan khawatir, Wei'er. Di Benua Utara… ada seseorang yang menjaga keseimbangan. Seorang Kaisar Agung yang mempunyai kekuatan misterius.”
Zhang Wei menoleh, namun tetap diam.
Ming Rui akhirnya berkata, suaranya tegas namun berat, “Berarti dunia kita berada di ambang bencana baru. Dan ini… bukan ancaman biasa.”
Duan Muzhao menatap mereka, darah menetes dari sudut mulutnya.
“Tolong…” ucapnya lirih. “Benua Tengah harus bersiap. Jika tidak… kegelapan akan melahap segalanya.”
***
Angin dingin dari Lautan Utara meniupkan hembusan yang menusuk tulang hingga ke ruang-ruang terdalam Istana Sayap Kebebasan. Di ruang strategis utama, para tetua sudah bergerak. Setelah semua fakta mengerikan tentang Peng Shao diungkap oleh Duan Muzhao—tentang bagaimana sosok mengerikan itu menaklukkan seluruh Benua Barat, tentang bagaimana dia mungkin bukan hanya seorang raja siluman biasa, tapi manifestasi kehendak kegelapan itu sendiri—para tetua seakan tersadar bahwa dunia benar-benar sedang menuju ambang kehancuran.
Sesuai arahan dari Rong Fan dan Ming Rui, mereka segera mengambil alih komando pertahanan. Formasi pelindung langit disiapkan, armada laut diperkuat, dan semua pasukan elit dipanggil dari seluruh pelosok. Suasana mendadak berubah menjadi kesibukan perang besar. Dunia akan terbakar. Dan pertahanan Benua Tengah akan menjadi benteng terakhir.
Namun, transisi ke dalam ruang tahta utama mengungkap suasana yang berbeda.
Tak ada kegaduhan. Hanya ketegangan yang menggantung. Tiga sosok berdiri di dalamnya. Zhang Wei, masih belum pulih sepenuhnya, berdiri di dekat jendela batu kristal yang menghadap ke barat. Di balik sana, langit mulai menghitam, seolah pertanda sesuatu tengah bergerak dari kejauhan. Rong Fan duduk dengan mata terpejam, sementara Ming Rui berdiri tegak di depan proyeksi tak berwujud dari peta dunia.
“Kekuatannya tak normal,” ucap Ming Rui lirih namun penuh tekanan. “Seorang kaisar agung yang baru lahir seharusnya tak mampu menaklukkan satu benua penuh dalam waktu sesingkat itu. Ini bukan kebangkitan biasa… Pasti ada kekuatan besar yang menyokongnya.”
“Entah kehendak jahat dari luar dunia ini, atau salah satu iblis purba yang telah lama tidur. Peng Shao bukan hanya ancaman, dia adalah kutukan,” sambung Rong Fan, matanya terbuka kini, menatap lurus ke arah Zhang Wei. “Apa pun yang mendorong kebangkitannya, itu bukan sesuatu yang bisa dianggap sepele.”
Zhang Wei menggenggam lengan jubahnya dengan erat. Napasnya tak teratur. Kekhawatirannya bukan hanya pada dunia, tapi pada kaum elf. Pada rumah yang telah menerimanya. Pada jiwa-jiwa yang pernah mempercayakan takdir mereka kepadanya.
“Benua Utara...” gumamnya, suaranya nyaris tak terdengar. “Jika dia bergerak ke sana... Aku takut para elf akan celaka. Mereka baru saja bangkit dari belenggu takdir mereka... mereka belum siap.”
Rong Fan berdiri, menghampirinya dan menepuk bahu keponakannya dengan tenang.
“Tenanglah, Zhang Wei. Di Benua Utara, masih ada seorang kaisar agung yang menjaga stabilitas. Tempat itu takkan ditaklukkan dengan mudah.”
“Tapi... bagaimana kalau mereka tak cukup kuat?”
“Kalau itu terjadi, kita semua akan tahu. Dan kita tak akan diam,” ucap Ming Rui mantap.
Namun ketegangan belum berakhir. Kali ini giliran Rong Fan yang mengangkat isu baru.
“Justru yang paling membuatku tak tenang adalah Benua Selatan...”
Ming Rui langsung mengangguk. “Jika Peng Shao memutuskan bergerak ke selatan sebelum menyeberang ke Benua Tengah... ada kemungkinan dia akan menemukan makam Bibi Zhao.”
Zhang Wei mengangkat kepalanya. Nama itu membuat dadanya terasa sesak.
Zhao Ruyun... sosok legendaris, Kaisar Agung Bulan Hitam. Salah satu pendiri pertama Organisasi Sayap Kebebasan. Bibi angkat dari Ming Rui dan Rong Fan. Dan lebih dari itu—adik seperguruan sang master tercinta, Lian Xuhuan.
Dulu, Zhao Ruyun mengorbankan hidupnya untuk menyegel salah satu iblis purba yang dikurung di kedalaman Gurun Kuno Benua Selatan. Jika segel itu rusak... jika iblis itu bangkit bersamaan dengan Peng Shao...
“Rong Fan dan aku saja tidak akan cukup,” ucap Ming Rui dengan suara dingin.
“Kalau hanya Peng Shao dan pasukan abadinya, meski berat, kita masih bisa menahan. Tapi jika makhluk itu ikut bangkit... maka ini bukan hanya perang biasa.”
Ruang itu menjadi sunyi kembali. Zhang Wei menunduk, bahunya gemetar. Dia ingin berbuat lebih. Tapi mereka semua tahu, selama dia belum mencapai Deific Realm, tidak akan ada ritual kebangkitan untuk Lian Xuhuan. Dunia terus bergerak menuju kiamat, sementara satu-satunya harapan mereka masih terbelenggu oleh batas kultivasi.
“Kita harus membuat pilihan...” bisik Rong Fan. “Apa yang lebih dahulu? Menahan Peng Shao... atau membangkitkan Paman Lian?”
Tak ada yang menjawab. Karena jawaban itu terlalu berat, bahkan bagi tiga pendekar tertinggi sekalipun.