Ziyanada Umaira, biasa dipanggil Nada jatuh cinta untuk pertama kalinya saat dirinya berada di kelas dua belas SMA pada Abyan Elfathan, seorang mahasiswa dari Jakarta yang tengah menjalani KKN di Garut, tepatnya di kecamatan tempat Nada.
Biasanya Nada menolak dengan halus dan ramah setiap ada teman atau kakak kelas yang menyatakan cinta padanya, namun ketika Abyan datang menyatakan rasa sukanya, Nada tak mampu menolak.
Kisah mereka pun dimulai, namun saat KKN berakhir semua seolah dipaksa usai.
Dapatkan Nada dan Biyan mempertahankan cinta mereka?
Kisahnya ada di novel ''Kukira Cinta Tak Butuh Kasta"
Selamat membaca!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lailatus Sakinah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bahagia Yang Masih Tersembunyi
Suasana ruang cleaning service di lantai B1 pagi itu jauh dari biasanya. Bukan karena alarm kebakaran berbunyi atau tamu VIP mengamuk karena keset basah. Tapi karena satu nama, Ziyanada Umaira baru saja resmi diumumkan sebagai staf administrasi hotel Nirwana.
“Naaaadaaaa!” teriak Rosa sambil melompat kecil dan memeluk sahabatnya yang baru turun dari lift, membawa map biru bertuliskan ‘HRD’. Nada tertawa lepas,
“Kamu ngagetin banget sih!” Rosa langsung menarik Nada ke tengah ruangan di mana sudah berkumpul hampir seluruh tim cleaning service, dari Bu Darmi yang paling senior sampai Dimas yang baru dua minggu kerja.
“Selamat ya, Ziya! Akhirnya naik jabatan juga!” seru Bu Darmi sambil mengelus kepala Nada seperti anak sendiri.
“Keren! Temen satu tim kita sekarang orang kantor, loh!” celetuk Dimas bangga. Nada tersipu.
"Makasih semuanya. Aku juga masih kaget sih… Rejeki nggak ke mana, ya,” ucapnya merendah, tapi rona bahagia di matanya tak bisa dibohongi.
Seisi ruangan bertepuk tangan. Lalu dari belakang, Pak Wawan, cleaning leader yang biasanya galak, malah muncul membawa kardus nasi bungkus.
“Ini ide Bu Darmi. Katanya kita rayain kecil-kecilan. Biar sejarah!” katanya dengan senyum yang langka.
Nada terharu. Ia menatap teman-temannya satu per satu. Mereka bukan sekadar rekan kerja. Mereka keluarga dalam diam.
“Aku juga mau traktir kalian nanti. Beneran, ya! Jangan nolak!” ucapnya.
“Ditraktir di mana, Zi? Jangan hotel bintang lima juga dong, kita minder,” Dela tertawa. Nada ikut tertawa.
“Tenang, ada kafe dekat kosan. Tempat langganan aku. Murah, enak, dan banyak diskonan.” Sorak sorai menggema.
Malam harinya, mereka berkumpul di kafe sederhana. Kursi kayu, lampu temaram, dan tawa mengalir seperti kopi hangat di gelas. Nada duduk di tengah, dikerubungi ucapan selamat, guyonan, dan pelukan.
“Kamu tuh inspirasi kita, Nad,” ujar Rosa.
"Dari cleaning, sekarang masuk administrasi. Berarti yang kerja keras tuh, bisa naik kelas!” Nada menahan air mata.
“Kita semua kerja keras, Ros. Aku cuma kebetulan dapat kesempatan. Tapi aku tetap Nada yang sama. Yang masih akan bantu bersihin kamar kalau kalian kekurangan orang.” Tiba-tiba semua hening.
“Jangan bikin kita nangis dong…” kata Bu Darmi, dan tisu mulai berpindah dari tangan ke tangan.
Keesokan malamnya, Nada baru saja membuka pintu kosan usai lembur mengecek berkas-berkas di kantor barunya. Rambutnya kusut, langkahnya berat, tapi hati tetap hangat.
Sampai ia membuka pintu kosan… dan menemukan kejutan.
Lampu dimatikan. Tiba-tiba nyala lilin menyala dari atas meja di ruang tengah. Di tengahnya, ada cake mungil dengan tulisan:
“Selamat atas pencapaianmu, Nada.”
“Rosa?” panggil Nada pelan. Tadi sang sahabat izin pulang duluan karena ada urusan katanya.
Ternyata bukan Rosa yang muncul dari balik pintu kamar mandi. Melainkan… Abyan.
“Selamat ya, Nada,” katanya dengan senyum tenang.
Nada membeku. Tidak menyangka sama sekali.
“Ini... dari Abang?” Abyan mengangguk.
“Aku tahu kamu mungkin gak suka hal-hal begini. Tapi kamu pantas dirayakan. Kamu hebat.” Nada tertawa kecil.
"Aku bukan siapa-siapa, Abang. Cuma staf baru, bukan manajer.”
“Tapi kamu naik bukan karena koneksi. Kamu lulus murni. Di antara seratusan pelamar, cuma kamu yang lolos. Itu bukan cuma hebat. Itu luar biasa.”
Nada menatap Abyan dalam diam. Dalam hatinya, ada bunga yang mekar. Tapi bibirnya tetap menjaga batas.
“Terima kasih,” katanya, lembut.
"Dan… makasih juga sudah nggak ikut campur. Seleksi ini berjalan adil.” Abyan berjalan pelan, meletakkan satu kotak kecil di meja.
“Ini bukan apa-apa. Cuma pen holder dari kayu. Aku bikin sendiri,” katanya.
Nada membuka kotaknya. Di dalamnya ada tempat pensil mungil bertuliskan namanya. Kayunya diukir sederhana, tapi terasa istimewa.
“Lucu,” gumam Nada. Abyan diam beberapa detik.
“Nada... kamu senang?”Nada mengangguk pelan.
"Senang. Tapi aku juga tetap khawatir.”
Tentang ancaman itu.
Tentang kakek Abyan.
Abyan membaca keraguan di mata gadis itu. Tapi Nada tidak ingin membuka luka.
“Jangan takut,” kata Abyan tiba-tiba.
“Kalau sesuatu terjadi… aku akan berdiri di pihakmu.” Nada menggeleng pelan, lalu tersenyum.
“Aku nggak ingin Abang berdiri di pihak manapun. Aku cuma pengen Abang tetap jadi Abyan. Yang tenang, yang adil, dan yang tahu mana yang benar.” Abyan menatapnya dalam.
“Kamu luar biasa, Nad.” Nada hanya menjawab dengan senyuman.
Hari-hari berikutnya, kehidupan Nada berubah drastis. Ia kini memiliki ruang kerja sendiri, meja kerja sendiri, dan akses sistem hotel yang sebelumnya hanya bisa ia pandangi dari balik ruang cleaning service.
Tapi kesibukan juga meningkat. Apalagi dengan sidang skripsi yang sudah dijadwalkan bulan depan.
“Eh Nad, jangan lupa istirahat ya. Jangan sampai kamu tumbang,” kata Rosa saat mampir ke kantor administrasi membawakan dokumen laundry tamu.
“Aku tidur kok, Ros. Cuma nggak lama,” Nada tertawa kecil. Rosa mendesah.
“Kamu itu, semua dikejar. Hotel iya, kuliah iya, seblak juga masih sempat bikin bumbu.” Nada tertawa.
“Iya dong, pegawai seblakku dua orang kasihan kalau aku tinggal. Nanti Rosa nggak punya kerjaan kalau seblaknya tutup!” Rosa manyun.
“Yee... enak aja!”. Nada kembali tertawa, tapi pikirannya masih tak bisa lepas dari satu nama.
Kakek Akbar.
Ancamannya waktu itu belum juga terbukti. Tapi justru itu yang membuat Nada tak tenang. Ia tahu, badai kadang datang tanpa aba-aba.
Sementara itu, di kediaman keluarga Abyan, Indira meremas gulungan kertas di tangannya. Itu adalah salinan pengumuman penerimaan staf baru yang ditempel di papan HRD hotel Nirwana.
“Dia… masih di sana?” gumamnya geram. Tidak hanya tidak dipecat, Nada malah naik jabatan.
“Kakek terlalu lembek kali ini,” katanya geram sambil menatap cermin. Ia berdiri dan melempar kertas itu ke dalam tong sampah dengan amarah yang mendidih.
Indira menatap bayangannya sendiri di cermin, matanya penuh api.
“Aku sudah cukup baik. Tapi sekarang, aku akan tunjukkan siapa yang pantas berdiri di samping Abyan. Dan siapa yang harus ditendang keluar dari hidupnya.”
Suatu siang yang tenang, saat Nada tengah duduk di ruang kerjanya menyusun jadwal cuti karyawan, Rosa mengetuk pintu sambil membawa satu surat undangan.
“Nad, ini ada kiriman buat kamu.” Nada menerimanya. Matanya sempat menyipit curiga. Tidak ada nama pengirim.
Hanya tulisan:
"Buka dan pikirkan baik-baik."
Dengan jantung berdebar, ia membuka surat itu. Isinya… foto. Bukan foto dirinya. Tapi foto yang sudah diedit.
Seseorang membuat seolah-olah Nada menerima uang dari tamu hotel. Dalam amplop cokelat. Dengan cap hotel Nirwana di belakangnya. Nada membeku. Surat itu disertai pesan:
“Masih yakin kamu akan bertahan lama di sana?”
Rosa yang melihat ekspresi Nada ikut panik.
“Kenapa? Surat apa itu, Nad?” Nada buru-buru menyimpan surat itu ke dalam laci.
"Nggak apa-apa. Cuma… spam. Hehe.”
Tapi dalam hatinya, Nada tahu ini bukan spam. Ini awal dari rencana yang lebih besar.
Malamnya, Nada duduk di kosan dalam diam. Menatap langit-langit kamar yang mulai mengelupas catnya. Hatinya campur aduk.
Ketika Abyan mengirim pesan:
“Kamu sibuk malam ini? Aku cuma mau kasih semangat. Katanya, sidangmu tinggal sebulan lagi ya?”
Nada menjawab dengan sederhana.
“Terima kasih. Iya, doakan ya"
Dan itu saja cukup membuat Abyan menatap layar ponselnya lama. Bertanya-tanya, apa yang sebenarnya sedang dipendam Nada?
terimakasih double up nya kak🥰
kira kira apa lagi rencana indira
lanjut kak