Dalam diamnya luka, Alina memilih pergi.
Saat menikah satu tahun lalu, ia dicintai atau ia pikir begitu. Namun cinta Rama berubah dingin saat sebuah dua garis merah muncul di test pack-nya. Alih-alih bahagia, pria yang dulu mengucap janji setia malah memintanya menggugurkan bayi itu.
"Gugurkan! Aku belum siap jadi Ayah." Tatapan Rama dipenuhi kebencian saat melihat dua garis merah di test pack.
Hancur, Alina pun pergi membawa benih yang dibenci suaminya. Tanpa jejak, tanpa pamit. Ia melahirkan seorang anak lelaki di kota asing, membesarkannya dengan air mata dan harapan agar suatu hari anak itu tahu jika ia lahir dari cinta, bukan dari kebencian.
Namun takdir tak pernah benar-benar membiarkan masa lalu terkubur. Lima tahun kemudian, mereka kembali dipertemukan.
Saat mata Rama bertemu dengan mata kecil yang begitu mirip dengan nya, akhirnya Rama meyakini jika anak itu adalah anaknya. Rahasia masa lalu pun mulai terungkap...
Tapi, akankah Alina mampu memaafkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rere ernie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter - 15.
“A-alina?” suara Rama serak, seperti tercekiik waktu.
Alina menahan nafas, dadanya sesak oleh gelombang emosi yang sulit dijinakkan. Untuk pertama kalinya setelah lima tahun penuh luka dan diam, akhirnya ia bertatapan langsung dengan Rama. Lelaki yang pernah ia cintai sepenuh hati, namun juga lelaki yang telah menghancurkan dunia kecilnya. Tak sepatah kata pun terucap dari bibirnya. Lidahnya kelu, seolah kata-kata tak cukup kuat menahan beban yang ada di dadanya.
Dulu, ia sering membayangkan bagaimana jika takdir mempertemukan mereka kembali? Dalam benaknya, skenario itu muncul dalam banyak rupa. Tangisan, amarah, mungkin juga pelukan. Namun kini, lebih sering berubah menjadi mimpi buruk yang membangunkannya di tengah malam.
“Bunda… siapa Om itu?” suara kecil menyela, jernih dan polos. Daffa, menarik ujung kebaya ibunya dengan tatapan penasaran. Wajah yang pernah ia lihat samar-samar di layar ponsel ibunya, kini hadir nyata di hadapannya.
Rama juga menatap ke arah anak itu.
Ada jeda hening yang panjang, sebelum akhirnya langkahnya maju secara perlahan seolah tubuhnya ditarik oleh kekuatan yang lebih besar dari dirinya sendiri. Rama berlutut, menatap wajah mungil itu dari dekat dan saat itulah... dunia seakan berhenti berputar.
Sepasang mata bulat dan jernih menatap balik padanya, dengan sorot yang tenang namun penuh ketegasan, sorot yang nyaris identik dengan miliknya. Bahkan bentuk wajahnya, hidungnya, garis rahangnya… segalanya terasa seperti cermin yang memutar ulang masa lalu.
“Ya Tuhan… dia… dia sangat mirip denganku…” bisik Rama, nyaris tak terdengar.
Alina masih berdiri tegak, meski air di pelupuk matanya mulai menggenang. Suaranya tenang, namun tajam dan penuh luka. “Tentu saja dia mirip denganmu, karena dia anakmu. Tapi sayangnya… dulu, kamu menyuruhku untuk menggugurkannya.”
Kata-kata itu seperti pisau tajam, begitu dingin dan menghujam tepat di jantung Rama.
Pria itu tak sanggup bicara, tak bisa menyangkal. Tak bisa melarikan diri dari kebenaran yang kini berdiri di hadapannya dalam wujud seorang anak laki-laki berusia lima tahun.
'Apakah aku salah? Apa Alina tak pernah mengkhianatiku? Dan anak ini… benar-benar darah dagingku?'
Matanya memanas, dadanya terasa diremuk dari dalam. Untuk pertama kalinya, Rama mencicipi rasa sesal yang tak bisa dibendung. Rasa bersalah yang datang seperti badai, liar dan tak berbelas kasih.
“Maafkan aku…” gumamnya lirih.
Bukan hanya kepada Alina, namun juga pada bocah kecil yang kini menatapnya tanpa dosa, anak yang pernah ia tolak bahkan sebelum sempat menghirup udara dunia.
Daffa memiringkan kepala kecilnya, lalu berbisik lirih. “Om... siapa?”
Dada Rama terasa sesak, seperti dihimpit ribuan beban yang tak kasat mata. Jemarinya terangkat pelan, ingin menyentuh pipi anak itu… tapi ia ragu. Tangannya gemetar, hatinya tak kalah goyah.
“A… ku…” Suaranya parau, nyaris tak terdengar. “Ayahmu.”
Daffa memandang Alina sejenak, seolah mencari jawaban dari mata ibunya. Dan ketika Alina mengangguk pelan, anak itu mengalihkan pandangan ke Rama.
Namun yang ia lakukan berikutnya, mengejutkan semua orang.
“Tapi, Ayah Daffa adalah Ayah Davin,” ucapnya polos.
Tanpa ragu, Daffa melangkah dan memeluk erat pinggang Davin. Lelaki itu membalas pelukan si kecil dengan lembut, lalu mengangkatnya ke gendongan. Ia menciumi wajah anak itu dan saat itu juga, rasa takut kehilangan menyusup diam-diam ke dalam hatinya.
Rama tertegun.
Bagai dihantam godam besar, tubuhnya tak bergerak. Sakit yang tak berdarah mengoyaak habis jiwanya, air mata jatuh tanpa aba-aba. Ia ingin menahan, tapi terlalu banyak luka yang menyeruak dalam diam.
“Kembalikan anakku…” desisnya, berubah jadi raungan yang nyaris tak terkendali.
Langkahnya maju, ingin merebut Daffa.
Namun Davin dengan tenang menyerahkan Daffa pada Tuan Yudistira. Lalu ia berbalik menghadap Rama, tatapannya dingin dan tajam seperti pecahan es.
“Anakmu?” katanya, datar namun menghantam. “Anak yang kau ragukan keberadaannya? Yang kau suruh ibunya untuk menggugurkan nya?!”
Degh!
Jantung Alina seakan dihantam sesuatu, dunia seolah berhenti berdetak.
Alina menoleh, menatap Rama seolah tak percaya. “Kau… meragukan anakmu sendiri?”
Rama tak menjawab, hanya helaan nafas beratnya yang terdengar menjadi satu-satunya pengakuan.
Amarah Alina membuncah, ia menarik kerah kemeja Rama dengan paksa.
“Jawab aku, Mas! Apa maksudmu meragukan anak yang aku kandung?!”
Sebuah tangan tiba-tiba menarik Alina, itu Erika. “Lepaskan Rama! Kau yang salah karena mengkhianati Rama, Alina! Sekarang kau ingin menghakimi dia?!”
“TUTUP MULUTMU, ERIKA!” bentak Rama, Ia menyentak tangan Erika, mendoroong wanita itu hingga hampir terjerembab ke belakang.
Alina terpaku, lalu menatap Rama lebih dalam.
“Jadi… itu alasannya? Kau pikir aku berselingkuh? Dengan siapa?“ tanyanya pelan namun menusuk. Matanya gemetar, hatinya mulai menyusun kepingan kebenaran yang selama ini disembunyikan. “Zidan...?“
Rama tertunduk, diamnya membenarkan segalanya.
Tawa miris keluar dari bibir Alina, begitu penuh kepahitan.
“Aku pernah bertanya, apa aku pernah bersalah padamu sampai kau berubah sedingin itu padaku. Dan kini aku tahu... ternyata saat itu hatimu telah di isi prasangka, bukan lagi cinta.”
Alina menatap Rama dengan luka yang tak terucap. “Saat aku bertemu Zidan lagi, aku bahkan menjauh. Aku tak pernah menerima ajakannya untuk bertemu. Aku menghormati mu, Mas. Aku menjaga cintaku dan harga dirimu... juga pernikahan kita.”
Rama akhirnya mendongak, suaranya pecah di tengah diam yang menyesakkan.
“Kau bilang kau tak pernah bertemu dengannya, tapi Zidan masuk ke rumah kita! Kalian tidur bersama di ranjang kita, tanpa sehelai kain pun! Aku menarik tubuhnya, melemparnya keluar rumah sebelum kau terbangun! Dan ketika kau membuka mata… kau bersikap seolah tak ada yang terjadi…”
Wajah Alina memucat, matanya membelalak tak percaya.
“Kau pikir… aku serendah itu?” bisiknya, nyaris tak bersuara. “Kau pikir aku… perempuan murahaan yang bisa tidur dengan siapa saja?”
Tubuhnya berguncang hebat, Alina terhuyung. Davin sigap menangkapnya, sebelum wanita itu tumbang dengan kebenaran yang menyesakkan.
Rama pun sempat hendak menangkap tubuh Alina, namun ia kalah cepat.
Alina menoleh pelan, suaranya bergetar tapi tetap terdengar tegas seperti seseorang yang telah melewati neraka dan keluar hidup-hidup.
“Cintamu… ternyata tak sebesar yang kubayangkan. Kau ingin aku menggugurkan kandungan demi kau bisa memaafkan kesalahan yang tak pernah kulakukan…”
Davin menatap Rama tajam dan ikut bicara. “Aku sudah bertemu Zidan. Dia mengaku, saat datang ke rumahmu... dia tiba-tiba saja tak sadarkan diri. Saat terbangun, ia berada di ranjang, tak berpakaian dan memeluk Alina. Dia mengira... sesuatu terjadi.”
Rama mengepalkan tangannya.
“Aku berhasil memulihkan rekaman CCTV di rumah kalian dulu, aku memasukkan seseorang ke rumah mu untuk mencari bukti. Ternyata, seseorang sengaja merusaknya. Aku tidak tahu kau pernah memeriksa kejadian itu dengan mencari kebenaran dalam rekaman Cctv atau tidak. Tapi, aku duga... pikiran mu sudah terhasut dan menuduh Alina berselingkuh.“
Alina menggeleng pelan, matanya memejam.
“Yang aku ingat, saat itu... aku sedang bicara dengan Erika lalu mendadak kepalaku pusing. Saat sadar, aku sudah di ranjang. Tapi, aku bahkan tidak tahu Zidan datang…”
Kini giliran tubuh Rama yang limbung, ia berbalik menatap Erika.
Tatapan matanya kini berubah.
Bukan luka… melainkan kemarahan yang membara. Tatapan seseorang yang telah kehilangan wanita yang dicintainya dan mungkin, kini dia akan benar-benar kehilangan segalanya.
Jadi gugatan cerai tetap berjalan sesuai keinginan Galang. Tapi sekarang bukan kelegaan yang Galang dapatkan, hanya penyesalan yang dia raih.